Sangat kentara sekali, orangtua berani bangkrut demi tersematnya gelar sarjana dalam diri sang anak. Pikirnya, semua itu akan mudah kembali normal tatkala salah satu di antara anggota keluarga mereka berhasil mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Lantas satu-dua orang perwakilan dari masing-masing keluarga yang termasuk dalam jenis manusia modern tidak segan-segan untuk mulai menguliahkan anak-anaknya di perguruan tinggi. Entah itu menjadi mahasiswa di kampus swasta ataupun negeri ternama, dalam pandangan mereka sama saja. Tidak ada bedanya.
Lulusan perguruan tinggi serta-merta diklaim dan dicap  sebagai sosok yang akan mampu membawa pada angin segar yang disebut perubahan. Perubahan yang signifikan dalam segala lini kehidupan. Perubahan yang dinanti-nanti oleh khayalak ramai untuk menuju pada kesejahteraan.
Dalam carut-marut pusaran kehidupan masyarakat yang dipenuhi gejolak kompetisi itulah kedua orangtuaku mewarisi tradisi sikap fakir (red; berani survive) dan bertekad bulat dalam upaya menyikapi samudera kehidupan dengan gigih.
Mereka memang bukan seorang PNS ataupun memiliki profesi sebagai kepanjangan tangan dari aparatur negara. Bapakku hanya seseorang wiraswasta; petani sekaligus pedagang kaki lima di kota. Terkadang sebulan berdagang di kota, sebulan lagi menjadi petani.
Sementara ibu, sosok perempuan tangguh yang super supel. Â Bagaimana tidak coba? Selain memiliki peran domestik sebagai ibu rumah tangga, beliau juga kerap menjadi buruh tani, tukang pijat dan menjadi kepala keluarga tatkala Bapak sedang di luar kota.
Meski demikian bukan berarti di sini bermaksud menihilkan kasab kedua orangtuaku, acuh dalam meletakkan fundamentalis terkait membaca dan menulis. Justru, di waktu senggang dari aktivitas kesehariannya itu mereka kerap mengajariku membaca dan menulis.
Setidaknya, membimbing aku untuk membaca deret tulisan yang ada di buku bekas pegangan kakak pertamaku dan menuliskan kembali ceceran kalimat yang ada dalam suhuf itu pernah beliau ajarkan kepada anak keduanya ini. Bahkan, beliau berdua lebih kerap mengajariku untuk membaca hikmah melalui tindakan-tindakan yang riil dilakukan seketika.
Lantas sejak kapan aku suka membaca dan menulis? Gerangan bagaimana mungkin aku melatah diri menggeluti dunia literasi yang tak pernah mampu terkuasai?.
Bersambung.
Tulungagung, 27 Juli 2020.