Berjibaku melawan terik mentari, menerobos peleton hujan dan hingar-bingar bising perkotaan dalam ruangan yang sempit, adalah kebiasaan baru yang mereka gauli. Ruang gerobak sempit yang kurang-lebih berukuran 1 x 3 meter itulah tempat pengasingan nyata yang baru.
Lantas apa yang mereka jual? Hampir semua kebutuhan primer, skunder dan tersier dijajakan di sana. Seperti halnya kopi, rokok, sabun cuci, shampo, handbody lotion, mie instan dan lain sebagainya.
Coba saja kita bayangkan, mereka setiap hari menempati ruangan sempit itu dengan penuh kesungguhan hati demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Anak-isteri tercinta. Itu pun hampir setiap Minggu mereka harus melakukan pengiriman uang dan barang-barang pokok kebutuhan hidup tertentu via trevel.
Dalam kasus yang lebih sarkastik dan praktis, menjadi masyarakat urban ini ditandai dengan menikahnya salah seorang warga kampung dengan pujaan hatinya yang merupakan murni warga keturunan perkotaan. Hingga akhirnya boyongan  status kependudukan pun tidak dapat dipungkiri.
Sementara dalam konteks manusia yang mulai modern, dapat dilihat dari berubahnya mekanisme interaksi sosial, status, stratifikasi dan deferensiasi sosial, budaya, Â pendidikan dan gaya hidup.
Mereka-mereka yang terkategorikan ke dalam manusia yang mulai modern dapat diibaratkan layaknya pusaran spiral yang terus berkembang. Awalnya hanya segelintir orang, namun kemudian beranakpinak menjadi kebiasaan dan standaritas baru dalam menjalani kehidupan.
Standaritas baru dalam tatanan kehidupan itu dapat dilihat dari adanya taraf pendidikan yang terus meningkat. Jika awalnya pendidikan hanya dipandang cukup tinggi sampai sekolah menengah atas sederajat, maka pandangan itu kini telah berbalik arah sembilan puluh derajat. Di mana menjadi sarjana dipandang lebih menjanjikan untuk merubah haluan hidup.
Diasumsikan seorang sarjana mempunyai kesempatan yang leluasa untuk mencapai apa-apa yang disebut dengan "kebahagiaan". Entah itu dari segi kelayakan hidup, penghasilan dan terjaminnya masa depan yang lebih baik.
Paradigma itu selanjutnya berpengaruh pada status dan derajat sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat yang kian terkotak-kotak dan terus bergejolak dalam kompetisi sengit ekonomi-matrealistik, perebutan jabatan kekuasaan di lingkungan sekitar hingga cara menjalani hidup.
Jika diperhatikan dengan serius, tidak sedikit dari mereka (red; manusia yang mulai modern) berani ngos-ngosan untuk mencukupi kebutuhan kuliah sang anak. Sawah, ladang dan kebun yang biasanya digarap secara perlahan-lahan mulai habis terjual.
Hewan ternak pelipurlara penat pun luput dari jamahan sengkarut yang bernama kebutuhan mendadak. Apalagi, perhiasan emas yang biasanya sesekali membuat menawan pemakainya dan sesekali di simpan di bawah dipan, terus menyusut hingga sirna tergadaikan.