Mohon tunggu...
Agus Susilo Saefullah
Agus Susilo Saefullah Mohon Tunggu... Guru Ngaji di SDIT ALHIKMAH & Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon -

Hormat Abah jeung Ema

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ramadhan Momen Memanusiakan Manusia

19 Mei 2018   15:48 Diperbarui: 19 Mei 2018   15:58 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: www.idezia.com

 

Di dalam struktur makhluk ada yang disebut dengan "Nafs" yang bisa diartikan sebagai diri, jiwa (self). Dalam Kitab Dirasah Nafsiyah Inda Ulama'ul Muslimin disebutkan bahwa Ibnu Sina mendefinisikan "Nafs" sebagai unsur pertama yang membuat makhluk bernama manusia memiliki kemampuan berfikir, kinestetik dan kemampuan-kemampuan lainnya.

Manusia di dalam Al-Qur'an disebut di dalam tiga kosa kata yaitu al-basyar sebanyak 27 kali, an-Nas sebanyak 240 kali dan al-insan sebanyak 73 kali . Al-basyar dapat diartikan sebagai manusia dalam konteks fisik atau anatomi tubuh. An-nas berarti manusia sebagai makhluk yang senantiasa bergerak aktif (eksist). Adapun al-Insan dapat diartikan manusia dalam konteks psikologi dan kesempurnaan potensi di atas makhluk-makhluk lainnya.

Ibnu Sina membagi nafs atau jiwa dalam tiga kategori. Yaitu jiwa tumbuhan, jiwa hewani, dan jiwa insani.

  • (Ruhul Banat) Jiwa Tumbuhan, yaitu insting alamiah sehingga sebatang tumbuhan memiliki kemampuan untuk tumbuh, berreproduksi, serta makan minum.
  • (Ruhul Hayawan) Jiwa Hewani, yiatu meliputi aspek jiwa tumbuhan plus kemampuan kinestetik.
  • (Ruhul Insan) Jiwa Insani, meliputi aspek jiwa tumbuhan dan hewani ditambah dengan kemampuan melakukan (1) pengambilan persepsi dari gejala-gejala yang difahami secara empiris dan logis serta menghasilkan suatu kesimpulan dan tindak lanjut (2) memiliki kemampuan mengendalikan diri.

 

Taqwa sebagai tujuan Shaum

Dalam Firmannya Allah memberitahukan kewajibannya kepada kita semua "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa" (QS. Al Baqarah: 183)

Di dalam ayat di atas tersimpan rumusan peritah Ilahi bahwa seseorang yang beriman diseru untuk mendayagunakan imannya sebagai modal melalui usaha yang disebut dengan shaum sehingga menghasilkan keuntungan yang teramat besar bernama ketaqwaan. Taqwa dalam ayat ini berposisi sebagai hasil dari usaha shaum yang juga berfungsi kembali sebagai alat untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas keimanan. Jadi antara iman dan taqwa akan saling menguatkan. Jika salah satunya cedera akan mencederai pula yang lainnya.

Imam Al-Ghazali menyampaikan ada tiga klasifikasi orang-orang dalam melaksanakan shaum. (1) Shaumul-amm yaitu shaum orang-orang yang hanya sekedar menahan lapar dan dahaganya saja, (2) Shaumulkhusus yaitu orang yang selain mampu menahan lapar dan dahaga juga mampu mengendalikan dirinya dari nafsu-nafsu yang merugikan baik merugikan diri sendiri ataupun orang lain, (3) Shaumul khususil khusus yaitu shaum-nya para Nabi dan salafushalih.

Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda "Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga." (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir).

Taqwa adalah kahatian-hatian

Umar bertanya kepada Ubay, "Wahai Ubay, apa makna takwa?" Ubay yang ditanya justru balik bertanya. "Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?"

Umar menjawab, "Tentu saja pernah." "Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?" lanjut Ubay bertanya. "Tentu saja aku akan berjalan hati-hati," jawab Umar. Ubay lantas berkata, "Itulah hakikat takwa."

Shaum adalah aktivitas fisik secara dzahir, tetapi sesungguhnya Allah  juga menghendaki kita untuk shaum dalam artian shaum khusus yaitu tidak hanya menahan lapar dan dahaga melainkan juga menahan segala hawa nafsu yang membelenggu diri. Sehingga shaum yang kita lakukan benar-benar mampu mewujudkan jiwa insan yaitu jiwa kemanusiaan yang paripurna. Jiwa yang paripurna ini adalah jiwa yang mampu mengendalikan dirinya karena mendayagunakan akal dan hatinya sebagaimana tuntunan Allah dalam kehati-hatian. 

Di dalam taqwa ada kesadaran bahwa ia diciptakan, dipelihara dan akan kembali pada-Nya. dalam taqwa ada tingginya social responsibility pada lingkungannya. Itulah taqwa, manusia yang memanusiakan dirinya sendiri.  ***

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun