Mohon tunggu...
Ahmad Saukani
Ahmad Saukani Mohon Tunggu... Administrasi - pensiun bukan lantas berhenti bekerja

pensiun bukan lantas berhenti bekerja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Masjid Kami Berspanduk "Tempat Ibadah Bukan untuk Kampanye"

12 Februari 2019   13:33 Diperbarui: 12 Februari 2019   13:55 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
masjid al-ikhlas/dok pribadi

Saya baru ngeh kalau ternyata Masjid dimana biasa saya sholat Jum'at, mengikuti pengajian setiap malam Kamis kadang juga malam Senin ada dipasangi spanduk. 

Spanduk tersebut yang cukup besar tersebut dipasang di pagar Masjid. Spanduk tersebut dari yang tersurat intinya berisikan menolak tempat ibadah digunakan untuk kepentingan Kampanye, Issue hoaks, Sara dan Radikalisme.

Dan rupanya pemasangan spanduk tersebut sudah menjadi kesepakatan antara pemuka agama dan Uamaro di wilayah kami, di Jakarta Barat. Entah di wilayah lain adakah hal serupa, saya tak tahu. Sebagai warga yang berusaha baik saya pribadi menerimanya. Agar tidak ada wasangka diantara kita.

Cuma merasa aneh saja. Jamaah di Masjid tersebut rerata sudah renta seperti saya, Pak Haji Nurdin, Pak Haji Luqman dan banyak lagi bahkan lebih renta dari saya. Yang sedang belajar berusaha untuk istiqomah dalam beribadah.

Soal Kampanye seperti yang tertulis di spanduk tersebut. Tahun ini memang tahun politik dimana masyarakat Indonesia akan melaksanakan pesta besar, Pesta Demokrasi dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden. 

Jadi memang saatnya para peserta Pileg dan Pilpres untuk berkampanye. Tapi seingat saya belum pernah ada peserta Pileg atau Timses dari peserta Pilpres yang berkampanye memanfaatkan Masjid kami.

Soal issue hoaks yang juga tertulis di spanduk tersebut. Baik sholat Jum'at maupun pengajian yang saya ikuti rasanya tidak pernah ada issue hoaks yang dihembus. 

Bagaimana mungkin hoaks, seperti tiap malam Kamis pengajian yang saya ikuti yang saya dapati adalah pemberitaan-pemberitaan dari Al-Qur'an dan Al-Hadits dari Rosululloh SAW. Dari dua kitab yang dibahas malam itu keduanya kitab Fiqih. Riyadhus Shalihin dan Fathul Ila yang dibimbing oleh Ustadz Ahmad.

Ustadz Ahmad yang membimbing kami di setiap malam Kamis tersebut di musim Pileg dan Pilpres ini rasanya tidak pernah ada saya dengar menyinggung hal yang beraroma kampanye, hoaks, sara dan radikalisme.

Untuk masalah sara juga tertulis di spanduk tersebut. Jangankan di Masjid, dimanapun mestinya tidak pantas dan aib berbicara yang mengandung unsur Sara.

Terakhir soal Radikalisme dicetak paling akhir di spanduk tersebut. Radikal itu sendiri apa sih? Pengertian sederhana saya radikal adalah fanatik atau berlebihan dalam menyikapi sesuatu. Padahal sesuatu yang berlebihan adalah hal yang dilarang termasuk dalam hal beribadah, kacuali seperti yang diajarkan oleh Rosululloh SAW.

Tapi untuk yang satu ini suka tidak suka harus saya akui. Tapi hal ini cuma berkaitan dengan diri saya sendiri, saya tidak tahu persisnya dengan pak Haji Nurdin atau Pak Haji Luqman. Saya sendiri memang bisa begitu radikal. 

Radikalisme saya bisa tumbuh mendadak kalau sudah berhadapan dengan nasi uduk atau nasi Kebuli. Semisal seusai pengajian ada hidangan nasi Uduk apalagi nasi Kebuli seperti yang kerap saya hadiri pada malam Rabu, sontak radikalisme saya mencuat, sampai Ustadz dihadapan sejenak terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun