Revolusi tak akan pernah mati, jiwa dan nadiku selalu mengerti. Hamparan jutaan rakyat yang tertindas. Pulau Indonesia yang tergerus disetiap tahunnya, perkampungan berubah menjadi perumahan, perkotaan dipenuhi dengan volusi yang mencekam.
Semangatku semakin bekorbar dan membara. Panasnya terik matahari, tak akan mampu membakar tubuh dan langkah kakiku. Nyawa rakyat berada ditangan anak-anak Pemuda Bangsa, mereka yang teriakan Merdeka beberapa puluh tahun lamanya.
Ribuan rakyat yang mengungsi bukan sebab musibah cuaca alam, tetapi ulah para politisi dan korporasi, pembangunan Negara setidaknya lebih hati-hati, jika Demokrasi bukan milik politisi yang selalu mengorbankan anak-anak Negeri sendiri.
Dinginnya angin tengah malam, tak membuatku redup di medan pertarungan. Derasnya hujan, tak membuatku tenggelam di era pasca orde baru, membangkitkan semangat baru menuju Negara kemanusiaan dan keadilan.
Tatkala cebong dan kampret mulai saling serang. Demokrasi telah sirna tanpa makna, malah berbalik arah tak terukur bentuknya. Kedok Agama dimainkan, kelompok ras dibenturkan, media sosial dibeli dan kuasai, para aktivis dihabisi, suara rakayat tidak teradili, akan kah Indonesia menjadi Negara yang hanya dimiliki oleh sekelompok elit yang selalu menindas dengan dalih pembangunan.
Pertarungan ekonomi global menjadikan konsep liberalisasi pertukaran dan akumulasi modal yang berlebihan, pasar-pasar tradisional mulai menjamur, pasar-pasar baru mulai masuk di perkampungan, pedesaan, bahkan lingkungan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H