[caption id="attachment_342821" align="alignleft" width="647" caption="kompasioner purworedjo"][/caption]
M edia massa memiliki peran yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan sudah tidak diragukan lagi baik yang berdampak positif maupun negatif, walau kerap dipandang secara berbeda namun tidak ada yang menyangkal atas perannya yang signifikan dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Media massa adalah “a mirror of in event of society and the word, implying a faithful reflection” . Cerminan berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya seringkali pengelola media merasa tidak “bersalah” jika isi media dipenuhi oleh konflik, kekerasan, pornografi dan berbagai keburukan lainnya, kerena menurutnya realitas yang terjadi adalah demikian faktanya. Sejatinya media massa, diharapkan mampu berperan dalam upaya turut merekonstruksi kondisi masyarakat kearah yang lebih baik bukan sebaliknya
Sifat komunikasi massa yang ada di mana-mana (ubiquity ) sekaligus hadir di mana-mana (omnipresence ), pada realitasnya seringkali menempatkan khalayak semata sebagai objek, yang akhirnya membuat khalayak sekedar menjadi konsumen dari produk komunikasi massa. Khalayak menjadi pihak yang tak berdaya menghadapi derasnya terpaan pesan-pesan yang disampaikan melalui berbagai media. Sehingga diperlukan upaya kita bersama untuk memberdayakan khalayak media massa dalam menghadapi terpaan pesan-pesan komunikasi yang setiap hari menghampirinya, selain dalam rangka pemberdayaan juga diperlukan agar media massa juga mampu bekerja berdasarkan kerangka kerja khalayaknya, dalam melaksanakan fungsi hakikinya sebagai media informasi, edukasi dan rekreasi bukan kerangka kerja media yang kerap memperdayakan, bukan memberdayakan, khalayaknya.
Realitas media merupakan upaya untuk mentransformasikan sebuah realitas sosial kepada khalayak publik (pembaca). Dalam melaksanakan upayanya tersebut, media dilingkupi oleh berbagai keterbatasan, baik keterbatasan ruang, waktu, karakter pembaca hingga tingkat profesionalitas wartawannya. Maka dalam praktiknya, media harus melakukan penafsiran, penyaringan, pemilihan hingga simbolisasi terhadap realitas, yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan dalam hal objektivitasnya , apakah berita yang ditulis dan dikemas oleh wartawan sama atau berbeda dengan realitas yang sesungguhnya.
Dalam perspektif klasik pesan menjadi “roh” komunikasi. Yang akhirnya, pesan menjadi “medan pertempuran” pengaruh antara pihak yang dominan dan didominasi. Jarang terjadi dialog pertukaran makna dalam proses komunikasi, melalui media massa, lantaran khalayak seringkali dipandang sebagai makhluk pasif. Sehingga diasumsikan pasti khalayak menerima dan terpengaruh oleh pesan apapun yang disampaikan melalui media. Tidak mengherankan bila kemudian berkembang kondisi komunikasi yang manipulatif. Penguasaan pengetahuan atas aspek sosiologis dan psikologis manusia ditambah dengan kepiawaian dalam mengemas pesan, melahirkan apa yang dinamakan Michael Parenti dengan nama “metode manipulasi oleh media” . Melalui cara-cara sebagai berikut :
(1) meringkas dengan menghilangkan bagian tertentu;
(2) menyerang dan menghancurkan sasaran;
(3) pelabelan;
(4) lebih dulu menetapkan asumsi;
(5) menyiarkan begitu saja; (6) meremehkan isi/substansi; (7) keseimbangan semu;
(8) membuat kerangka;