Kata denial kian familiar di kalangan kaum milenial. Denial berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti penyangkalan. Kata denial atau penyangkalan juga digunakan untuk mekanisme pertahanan psikologis yang dikemukakan oleh tokoh dan ahli psikologi, Sigmund Freud.Â
Seseorang yang melakukan denial tidak bisa menerima atau menolak kejadian yang dirasa akan membuatnya terluka dan menyakitkan.Â
Sehingga melakukan penyangkalan dan mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Kata denial cocok untuk menggambarkan kaca mata politik kaum milenial saat ini.Â
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan, sebanyak 64,7 persen anak muda menilai partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat (m.merdeka.com, 21/03/2021).Â
Bahkan isu-isu politik mendapat tanggapan lebih intoleran jika dibanding isu keagamaan. Sebanyak 39 persen anak muda menyatakan keberatan jika orang non-Muslim menjadi presiden, sedangkan anak muda yang tidak keberatan 27 persen, dan tergantung 28 persen (republika.co.id, 21/03/2021).Â
Dari hasil survei tersebut juga menunjukkan ada lebih banyak anak muda yang cukup sering mempertimbangkan nilai agama ketika membuat keputusan penting bagi hidup (47,8 persen) dan 31.5 persen menjawab selalu/sangat sering.Â
Namun, disisi lain 49,4 persennya mendesak adanya penanganan persoalan radikalisme untuk segera ditangani. Kemudian, sebesar 41,6 persen anak muda menyatakan persoalan radikalisme harus menjadi perhatian serius pemerintah karena sangat mengancam kehidupan bermasyarakat di Indonesia (republika.co.id, 21/03/2021).Â
Sudah menjadi rahasia umum jika radikalisme senantiasa disematkan pada kaum muslim yang taat. Kaum muslim yang menjadikan Islam bukan hanya sebagai ritual ibadah, tetapi juga dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari berpakaian, makanan, sosial, hukum hingga berpolitik.Â
Berdasarkan survei tersebut, kaum milenial masih mempertimbangkan nilai agama ketika membuat keputusan penting bagi hidupnya. Namun, di sisi lain justeru mendesak penganan radikalisme yang mengacu pada kaum muslim itu sendiri. Dua pemikiran yang sangat bertolak belakang.Â
Pemikiran yang saling bertolak belakang ini lahir akibat penerapan sistem sekuler. Di mana makna ibadah mengalami penyempitan, agama hanya ada di ruang ibadah saja.Â
Padahal agama secara keseluruhan merupakan ibadah. Maka segala aktivitas kehidupan manusia yang disandarkan pada agama merupakan ibadah.Â
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu." (QS. adz-Dzariyaat: 56)Â
Penyempitan pemahaman ibadah berdampak pada pelaksanaan ibadah yang dianggap sebagai ritual belaka, meremehkan manusia atas ibadah-ibadah lainnya, memperhatikan sisi individualisme dan meremehkan sisi-sisi sosial, memposisikan ibadah sebagai sebuah kerja dan mencukupkan diri dengan formalitas-formalitas belaka (Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah).Â
Akibat paling buruknya adalah aktivitas politik yang meliputi pengawasan umat terhadap aktivitas penguasa, aktivitas memberikan saran, usaha untuk menerapkan syariah dan realisasi keadilan ke alam nyata tidak masuk dalam kategori ibadah dalam pemahaman ibadah yang sempit tersebut.
Padahal Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi/pokok-nya (ushul) sedangkan penguasa adalah penjaganya. Apa-apa yang tidak ada pondasinya maka dia akan runtuh. Sedangkan apa-apa yang tidak memiliki penjaga maka dia akan lenyap. Maka aktivitas politik tidak bisa dipisahkan dari umat Islam.Â
Karena memisahkan politik dari umat Islam sama saja dengan mengantarkan malapetaka pada kaum muslim. Tidak ada penjaga harta, kehormatan dan jiwa kaum muslim. Akhirnya kaum muslim jauh dari gelar yang disematkan kepadanya 'umat terbaik'.Â
Belum lagi label negatif yang sengaja disematkan oleh Barat kian membuat ragu untuk mengambil Islam kaffah sebagai solusi permasalahan. Barat sengaja mengelompokkan kaum muslim untuk menekan kebangkitan Islam dengan dalih memerangi terorisme yang kini berubah menjadi memerangi radikalisme.Â
Pengelompokkan tersebut ada dalam sebuah dokumen lembaga think tank AS, RAND Corporation yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, yang ditulis Cheryl Benard pada 2003, dan Building Moderate Muslim Network pada 2007.Â
Dalam dokumen tersebut dijelaskan pula karakteristik Islam yang patut diterima masyarakat. Yaitu Islam yang mendukung demokrasi, mengakui HAM (kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum yang nonsektarian dan menentang terorisme. Islam ini biasa disebut dengan Islam moderat.Â
Sedangkan Islam radikal/fundamentalis merupakan Islam yang tidak dipatut diterima apalagi dibiarkan berkembang.Â
Ada pun karakteristiknya, yaitu sosok yang intoleran, cenderung radikal dalam konotasi memaksakan kehendak, brutal, memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah melalui tegaknya khilafah islamiyah, menolak demokrasi berikut derivatnya, termasuk anti-Barat.Â
Guna mewujudkan perang melawan radikalisme, sejumlah aturan digunakan. Baik melalui kebijakan moderasi bergama hingga langkah hukuman.Â
Meski diduga kuat tidak relevan dengan kasus yang ditimpakan. Salah satunya UU ITE yang kerapkali digunakan untuk menjerat aktivis yang berbicara vokal. Kemudian yang paling baru adalah kasus kerumunan yang dituduhkan kepada salah satu ulama besar.Â
Wajar jika kaum milenial masih galau antara melihat perlunya perubahan politik. Hingga kini pun masih banyak milenial--khususnya dan masyarakat umum--pada umumnya yang masih belum paham terhadap sistem politik alternatif, yaitu Islam.Â
Alhasil, meski mereka sadar bahwa politisi dan parpol tidak mampu menyelesaikan permasalahan. Namun mereka masih menaruh harapan pada sistem demokrasi sebagai solusi hakiki.Â
Adanya kesadaran politik di kalangan milenial ini patut mendapat apresiasi. Namun, di sisi lain perlu adanya upaya untuk mengenalkan politik Islam yang merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt. agar para milenial tidak terjebak denial akan syariat Islam.Â
Tidak perlu galau lagi antara meninggalkan demokrasi dan mendapat label radikal atau bertahan pada demokrasi tetapi terbukti tidak mampu memberi solusi bagi permasalahan.Â
Sikap sebagai seorang muslim hendaknya mengembalikan segala urusan pada standar yang benar. Dalam pembukaan surah Al-Baqarah telah ditegaskan, bahwa Al-Qur'an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Maka apabila kita termasuk bagian orang yang beriman hendaknya menjadikan Al-Qur'an serta as-sunah sebagai panduan, bukan yang lainnya. Wallahu'alam bishshawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI