Keberadaan komunitas LGBT (Lebian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang sekarang ini menjadi polemik di Indonesia seringkali menjadi lingkaran diskriminasi dalam berbagai ranah sosial, hak-hak dasar mereka sebagai warga negara seringkali dihiraukan, dan bahkan hinaan, cercaan dan perlakuan keji sering dilampiaskan kepada mereka, sekalipun mereka tidak melakukan tindakan kriminalitas yang mengganggu ketertiban sosial.
Komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kerap mendapat stigma sebagai manusia abnormal karena diangggap menyalahi kodrat sebagai manusia. Oleh tafsir agama konservatif, kelompok LGBT dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental (Fadhilah, 2015).
Di lingkungan kita saat ini, ada dua pandangan yaitu, pandangan Heteronormavitas dan Heteroseksisme yang menyatakan bahwa komunitas LGBT sebagai komunitas manusia yang abnormal karena menyalahi kodrat mereka sebagai manusia.
Pandangan Heteronormativitas melihat segala persoalan tentang seksualitas dalam kacamata heteroseksual yang menganggap bahwa orientasi seksual yang benar dan tidak menyalahi norma agama dan sosial adalah heteroseksual.
Sedangkan dalam pandangan Heteroseksisme merupakan suatu keyakinan bahwa heteroseksual itu lebih unggul, lebih superior, yang didukung oleh budaya dan praktik-praktik institusi di masyarakat. Termasuk juga asumsi bahwa semua orang yang heteroseksual dan bahwa heteroseksual adalah benar dan normal (Fadhilah, 2015).
Adanya stigma yang menganggap komunitas LGBT sebagai manusia yang menyalahi kodrat manusia memberikan label ataupun persepsi yang menganggap mereka sebagai manusia abnormal.
Hal inilah yang membuat mereka selalu berada di dalam cengkraman diskriminasi dalam berbagai aspek yang sebenarnya mereka layak menikmati hak-hak mereka sebagai manusia tanpa diskriminasi.
Tidak terlepas dari hak mereka menikmati hidup tanpa tekanan, bebas dari berbagai bentuk tindakan kekerasan, bebas berbaur dengan linkungannya, bebas berpendapat mengungkapkan jati dirinya dan layak menerima apa yang menjadi hak dasar mereka sebagai manusia pada umumnya, serta berekspresi bebas di lingkungannya. Akan tetapi, perlakuan sebaliknya yang kerap mereka terima.
Berbagai kabar di media massa turut mewarnai berita-berita diskriminasi terhadap komunitas LGBT. Dalam data dua tahun terakhir terdapat 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah alami kekerasan.
Seperti, penggerebekan tempat-tempat yang dianggap rawan sebagai tempat komunitas LGBT (Erdianto, 2016), diskriminasi dalam dunia pendidikan dengan adanya larangan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M Nasir yang menegaskan, kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) tidak boleh masuk kampus karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang ada (Batubara, 2016), penggerebekan dan ditutupnya sejumlah salon kecantikan di Aceh yang dianggap sebagai kawasan para waria, dan kasus lainnya yang mengecam penyandang LGBT kehilangan pekerjaannya dan harus menjadi pelampiasan tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Kasus di atas cukup mewakili kondisi bagaimana reaksi dan sikap masyarakat Indonesia terhadap setiap gesekan permasalahan yang sedang terjadi, khususnya menanggapi polemik proses legalisasi LGBT. Situasi ini juga semakin memuncak akan adanya oleh anggapan masyarakat bahwa pemerintah dinilai belum memiliki perhatian terkait maraknya peristiwa kekerasan dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia (Erdianto, 2016).
Dengan dua kondisi inilah, sudah seharusnya saya dan anda sebagai masyarakat Indonesia yang menjungjung tinggi ideologi Pancasila sebagai dasar negara kita dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bercermin kembali apakah tindakan diskriminasi, kekerasan, dan penangkapan yang kita lakukan terhadap komunitas LGBT mencerminkan nilai-nilai pengamalan ideologi dan semboyan negara kita sebagai pedoman kita dalam hidup berbagsa dan bernegara.
Dan bagaimana kita, mendukung setiap proses dan langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi setiap polemik yang ada, dengan tidak selalu berkomentar bahwa pemerintah "tutup mata".
Dengan demikian, tujuan saya menulis esai ini adalah ingin mengajak masyarakat Indonesia menanamkan sikap empati terhadap komunitas LGBT yang saat ini hidup dalam lingkaran kekerasan, tekanan, dan diskriminasi yang terkadang hal ini mengindikasikan mereka seolah-olah tidak layak hidup di negara kita.
Kemudian juga, saya ingin mengedukasi masyarakat Indonesia memiliki keyakinan dan kepercayaan terhadap pemerintah bahwa pemerintah tidak seolah-olah "tutup mata" terhadap setiap permasalahan yang ada di negara kita.
MIRIS....
Dikucilkan, ditolak, kekerasan fisik dan mental, dipermalukan, bahkan dalam menikmati dunia pendidikan dan pekerjaan mereka sulit diterima demikianlah kondisi komunitas LGBT di negara kita sekarang. Adanya berbagai tindakan diskriminasi inilah yang terkadang memaksa mereka memakai "topeng" yang seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah pribadi manusia normal agar dapat diterima di lingkungannya dan bebas dari berbagai bentuk tekanan.
Bagi mereka yang berani memutuskan untuk coming out atau proses di mana seorang homoseksual memberitahukan orang lain mengenai orientasi seksualnya (Fadhilah, 2015).
Kondisi ini adalah perkara yang sulit dihadapi di mana mereka akan menerima kemungkinan adanya gunjingan atau penolakan dari keluarga mereka sendiri dan tidak bisa berekspresi secara bebas ketika berada di lingkungan terbuka, serta mendapatkan judgemental dari masyarakat.
Saya percaya, jika saya dan anda berada diposisi mereka bahkan untuk pergi makan malam keluar rumah saja adalah sebuah keberuntungan jika kita dapat menikmati makan malam dengan tenang dan tehindar dari berbagai bentuk tekanan dan tindakan kekerasan.
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran komunitas LGBT (Lebian, Gay, Biseksuak, Transgender) mengundang banyaknya reaksi pro dan kontra masyarakat. Pendukung LGBT menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan mereka dengan menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi manusia bagi mereka sebaliknya, pihak-pihak yang kontra terhadap LGBT, menilai bahwa LGBT sebagai bentuk penyimpangan, dan tidak masuk dalam konsepsi HAM (Santoso, 2015).
Saya pribadi memposisikan diri sebagai pihak yang kontra terhadap legalisasi keberadaan dan praktek-praktek LGBT di Indonesia. Akan tetapi, tidak dengan motif karena melihat mayoritas pihak yang kontra terhadap LGBT atau motif kebencian terhadap mereka. Dengan kata lain, saya mengajak anda sebagai warga negara yang baik atas dasar menjunjung tinggi pengamalan nilai-nilai Panacasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pedoman untuk kita memiliki sikap empati terhadap mereka.
Artinya, kita memposisikan diri sebagai pihak yang kontra tanpa mendiskriminasi mereka, karena disaat kita mengakui sebagai masyarakat yang beragama maka, sudah seharusnya kita memiliki sikap empati atau sikap memahami keberadaan dan penderitaan mereka.
Dengan demikian, kita mencerminkan menghargai keberagaman ciptaan Tuhan dimuka bumi ini. Akan tetapi, saya tidak menekankan bahwa Tuhan secara sengaja menciptakan keberadaan mereka, Karena pada dasarnya Tuhan menciptakan segala sesuatunya adalah baik. Termasuk LGBT, Tuhan tidak menciptakan mereka dengan keberadaan yang kita anggap adalah "penyakit mental" atau kelainan kejiwaan.
Akan tetapi, didalam keberlangsungan pertumbuhan dan perkembangan pribadi mereka menjadi pribadi yang dewasa dalam menemukan jati diri, tidak dapat dipungkiri oleh penanaman nilai dan prinsip hidup yang salah, pola asuh dan latar belakang keluarga yang kurang baik, tekanan fisik dan batin, pengaruh lingkungan dan media, faktor pertumbuhan biologis yang kurang diperhatikan, pengalaman pribadi dan faktor lainnya yang mendorong mereka terjerumus kepada hasrat orientasi seksual yang salah.
Pernyataan diatas, tidak hanya semata-mata argumen belaka tanpa pengetahuan dan sumber-sumber yang mendukung. Jika kita menelusuri dan mengkritisi dengan baik, sejarah legalisasi LGBT di negara Amerika Serikat.
Maka akan terlihat fakta sebernarnya bahwa LGBT adalah penyakit mental. Dengan banyaknya aktivis gay pada saat itu yang memprotes konvensi American Psychiatric Association (APA) di San Francisco, kemudian didesak oleh banyaknya keributan dan pembelaan, hingga pada intimidasi dan berbagai terror terhadap American Psychiatric Association yang dilakukan oleh kelompok LGBT.
Sehingga pada akhirnya, keputusan yang harus diambil American Psychiatric Association menghadapi kondisi yang sangat terdesak itu adalah menghapus kasus LGBT dari daftar penyakit jiwa dan menggannggap LGBT adalah hal yang normal dan legal tanpa adanya hasil ilmiah yang mendukung LGBT merupakan penyakit genetis yang secara hukum negara harus melindungi hak asasi manusia mereka sebagai warga negara. Sebanyak 55 % anggota American Psychiatric Association sepakat dengan keputusan ini.
Banyak opini beredar di masyarakat, ada yang menganggap bahwa LGBT merupakan penyakit genetis yang dibawa sejak lahir. Isu inilah terkadang digunakan pembelaan bagi komunitas LGBT bahwa kondisi mereka adalah takdir Tuhan dan bukan kemauan mereka sendiri dan sudah seharusnya negara melindungi hak mereka sebagai manusia yang juga merupakan ciptaan Tuhan.
Di sisi lain juga, masyarakat menganggap LGBT adalah penyakit gangguan jiwa atau mental seseorang, di mana homoseksual menjadi orientasi seksualnya, inilah yang kontra saat ini yang dianggap "sampah" yang meresahkan masyarakat. Menurut Dr. Danardi, berpedoman dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan PPDGJ III (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) bahwa lesbian, gay, biseksual termasuk dalam kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan transgender masuk orang dengan ganguan jiwa (ODGJ).
Proses diagnosis ODMK ini tidak hanya berfokus pada orientasi seksual, akan tetapi fokus diagnosis ini adalah apabila terjadinya gangguan psikologis dan juga gangguan perilaku pada kelompok lesbian, gay, dan biseksual.
Di mana gejala perilaku ini bisa terjadi dari berbagai hal, apakah itu aspek biologis, aspek psikologi, bisa aspek sosialnya. Dengan kata lain, kelompok lesbian, gay, dan biseksual masuk dalam klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual
Dengan kata lain, menanggapi proses legalisasi LGBT yang sekarang ini menjadi bagian dari perdebatan yang sangat kontras antara masyarakat yang mendukung dan menolak keberadaan komunitas LGBT. Akan tetapi, yang menjadi keprihatinan saya dan anda sebagai warga negara yang baik dengan memegang prinsip nilai Pancasila sudah seharusnya kita bersikap lebih bijaksana dalam menanggapi setiap polemik yang sedang terjadi di negara kita.
Bagi saya prinsip menjadi warga negara yang baik adalah satu individu yang baik akan menciptakan keluarga yang baik, satu keluarga yang baik akan menciptakan masyarakat yang baik, dan satu masyarakat yang baik akan menciptakan kehidupan warga negara yang baik. Dengan kata lain, jika saya dan anda masih bertindak anarkis terhadap LGBT tanpa berusaha belajar mencari tahu kebenaran, mungkinkah saya dan anda dikatakan indvidu yang baik bagi negera kita?
Diakui atau tidak, faktanya yang sedang terjadi di negara kita adalah seringkali dalam menggapi setiap permasalahan saya dan anda selalu terjebak dalam berbagai tindakan-tindakan yang anarkis, brutal, egois, dan emosional tanpa mencerminkan landasan jati diri bangsa kita yang menjungjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Seringkali terjebak ke dalam konsep kebenaran yang relatif, yang menganggap segala sesuatu "salah" diluar keyakinan kita yang, akhirnya sulit kita mentolerir dengan bersikap empati terhadap polemic atau permasalahan yang sedang terjadi.
Tidak terkecuali polemik proses legalisasi LGBT yang sedang marak di negara kita. Berbagai macam bentuk tindakan kekerasan dan diskriminiasi dalam berbagai aspek cenderung menjadi pelampiasan terhadap komunitas minoritas ini. Dikucilkan, ditolak lingkungannya, dan tertekan secara fisik, psikis, dan batin menjadi gambaran kondisi yang mereka alami saat ini.
Saya yakin, kita semua turut ambil bagian dalam tindakan ini, sederhananya dengan perasaan emosi kita seringkali menanamkan sikap kebencian terhadap keberadaan mereka dan berharap mereka dapat musnah dari muka bumi ini.
Karena, kembali lagi penyebabnya kita selalu bertahan pada keyakinan dan kebenaran relatifnya kita dan tidak mau tau segala sesuatu di luar pandangan kita. Kita selalu berhenti dalam ranah LGBT itu salah menurut agama kita, LGBT itu tidak sesuai dengan kultur budaya kita, LGBT itu tidak sesuai dengan ideologi dan semboyan negara kita, LGBT itu dapat merusak generasi bangsa kita, dan komentar-komentar lainnya yang hari demi hari menciptakan neraka bagi mereka.
Sehingga, kita selalu tidak pernah bersikap empati terhadap mereka dengan mencari tahu lebih dalam tentang latar belakang mereka dan dengan demikian berusaha belajar memahami keberadaan mereka.
Oleh karena kita juga, adalah mayoritas masyarakat yang kontra terhadap mereka, sewenang-wenang mendiskriminasi mereka. Pada akhirnya juga, kondisi inilah yang mendorong kita melakukan demonstrasi anarkis terhadap kebijakan pemerintah menganggap selama ini lalai atau mungkin berpangku tangan dalam polemik ini. Sehingga, dengan mudahnya kita selalu memberikan kartu kuning atau peringatan terhadap pemerintah karena mereka lambat meresponi aspirasi yang kita berikan.
Keyakinan saya adalah dengan munculnya berbagai stigma dan persepsi antara pro dan kontra, baik itu anggapan yang salah atau benar seringkali kita kehilangan prinsip saling mengasihi khususnya terhadap mereka.
Salah satunya adalah kebanyakan diantara kita seringkali kehilangan perasaan dan sikap empati terhadap mereka. Menanamkan sikap empati, perasaan senasib-sepenanggungan, sebuah perasaan yang membayangkan bahwa orang-orang yang disebut bagian dari LGBT itu tak berbeda dengan saudara kita sendiri, prinsip inilah yang menolong kita semangat untuk memahami dan menolong korban atau komunitas LGBT dengan kekurangan mereka.
LGBT adalah penyakit kelainan jiwa, jika kita mencermati bagaimana proses legalisasi hukum LGBT di Amerika Serikat, bahwa dapat dikatakan LGBT dikatakan "terpaksa" dilegalkan oleh banyaknya teror dan desakan dari komunitas LGBT terhadap American Psychiatric Association yang akhirnya memutuskan LGBT adalah seperti manusia pada umumnya dan menghapus LGBT dari daftar penyakit kelainan jiwa, tanpa didasari bukti penelitian ilmiah.
Kemudian, jika kita berpedoman dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan PPDGJ III (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) bahwa lesbian, gay, biseksual termasuk dalam kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan transgender masuk orang dengan ganguan jiwa (ODGJ).
Berdasarkan dua fakta diatas,memang sudah seharusnya kita berada dalam area yang kontra terhadap legalisasi komunitas LGBT di negara kita. Dengan catatan, kita tidak toleransi terhadap perasaan emosional yang cenderung mendorong kita bersikap anarkis terhadap mereka mereka sama halnya dengan kita sebagai manusia. Akan tetapi, yang membedakan adalah kondisi mereka yang sedang "sakit".
Dengan prinsip inilah kita sudah seharusnya bersimpati atau perasaan senasib-sepenanggungan terhadap kondisi mereka saat ini, bukan berarti kita kompromi atau menerima setiap paktek-prakter mereka.
Artinya, marilah kita berusaha memahami keberadaan mereka dan kita percayakan serta doakan setiap kebijakan pemerintah dalam mengatasi polemik yang terjadi di negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H