Mohon tunggu...
Manal Ilham Al Mazid
Manal Ilham Al Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Merupakan mahasiswa dari Program Studi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengklaim Hak Nafkah Anak terhadap Bapak Pasca Perceraian

12 April 2023   23:07 Diperbarui: 12 April 2023   23:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebuah kasus tentang perceraian dan ketidakbertanggungjawaban seorang ayah dalam pemenuhan hak nafkah atas anaknya. Kasus ini dialami oleh sebuah keluarga di salah satu daerah di Jawa Timur. Perceraian yang terjadi pada tahun 2012 silam yang mana harus menjadikan 3 orang anak sebagai korban perceraiannya. Saat itu anak-anaknya berusia 12 tahun, 9 tahun, dan 4 tahun. Pasca bercerai Anak pertama dan kedua dibawa oleh bapaknya dan yang terakhir yang berusia 4 tahun dibawa oleh ibunya. Sejak awal perceraian hingga akhirnya mereka memiliki keluarga masing-masing, si anak yang berusia 4 tahun tadi yang dibawa oleh ibunya itu sama sekali tidak pernah dikasih nafkah sepeserpun oleh bapaknya. Padahal seorang bapak itu wajib hukumnya menafkahi dan memenuhi segala kebutuhan serta pendidikannya hingga anak-anaknya dewasa atau berusia sekitar 21 tahun. Alhasil anak tersebut dinafkahi dan dibiayai segala kehidupannya oleh bapak sambungnya.

Si ibunya ini merasa malu, karena anak tersebut yang seharusnya mendapatkan nafkah dari bapak kandungnya malah mendapatkan nafkah dari orang yang merupakan bukan tanggung jawabnya. Ibunya ini menunggu iktikad baiknya si bapak kandung untuk menafkahi dan membiayai pendidikan hingga sekarang ini 2023. Jadi sekitar 11 tahunan sudah si bapak ini lari dari tanggung jawabnya. Alih-alih menafkahi, si bapak selalu merasa kehidupannya kurang terus, padahal si bapak ini memiliki sawah dan tanah yang masih dikelolanya. Dia lebih memikirkan kehidupannya sendiri bersama istri barunya. Sawah tersebut padahal bisa kan diserahkan ke orang yang mengasuh anaknya untuk kemudian membiayai hidupnya selama belum berusia 21 tahun. Tapi si bapak ini takut akan terjadi penyalahgunaan sawah tersebut jika diserahkan kepada istri lamanya atau ibu dari anaknya tadi. Bapaknya memiliki ketakutan akan penyalahgunaan sawahnya, tapi dia juga tidak sadsar akan tanggungjawabnya sebagai bapak kepada anaknya tadi.

Kemudian untuk nasib anak yang dibawa oleh bapaknya tadi, mereka mendapatkan nafkah dan biaya pendidikan yang cukup. Namun 2 tahun belakangan ini, si bapak juga mulai tidak memikirkan anaknya itu, alasanya si anak yang pertama memang sudah menikah dan sudah tidak ada hak lagi untuk dinafkahi. Namun si anak yang kedua yang kini masih berumur 19 tahun dan masih menempuh pendidikan, dia sudah tidak dipikirkannya lagi oleh si bapak. Si bapak selalu bilang hidupnya kekurangan, tapi bukan berarti kekurangan lepas dari tanggung jawabnya kan?. Lagi-lagi si ibu harus ikut memikirkan nasib anaknya yang kedua ini, masa iya tidak menafkahi anaknya yang terakhir tanpa tanggung jawab si bapak dan masih harus memikirkan anak keduanya. Disini si ibu bingung sekali, bagaimana harus menyadarkan bekas suaminya itu akan tanggungjawabnya sebagai seorang bapak.

Solusi Untuk Perkara Ditinjau Dari Hukum Positif

Solusi untuk perkara tersebut adalah seorang ibu berhak mengajukan gugatan hak nafkah kepada seorang bapak terhadap anaknya. Gugatan tersebut diajukan ke pengadilan agama ataupun negeri. Baik gugatan tersebut menang dipihak ibu atau bapak tergantung keputusan hakim. Namun untuk menyelesaikan perkara tersebut pihak ibu dapat mengajukan gugatannya.

Sejalan dengan kewajiban suami untuk bertanggung jawab atas keluarganya, termasuk atas urusan nafkah, ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan menerangkan bahwa istri berhak untuk mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan jika seorang suami tidak menafkahi keluarganya (anak dan istri) sebagaimana kewajibannya.

Kewajiban orang tua terhadap anak tidak serta merta terputus meskipun pihak kedua orang tua tersebut telah bercerai. Dan hak asuh anak jatuh kepada salah satu orang tua tersebut. Di dalam pasal 41 huruf a Undang-Undang perkawinan melindungi kepentingan anak dengan mewajibkan bapak atau ibu memelihara dan mendidik anak mereka. Berdasarkan pasal 41 hurub b Undang-undang perkawinan, biaya pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan anak dotanggung oleh bapak. Pengadilan dapat mewajibkan pihak ibu untuk ikut dalam bertang jawab atas biaya tersebut bilamana pihak bapak terbukti tidak sanggup memenuhi kewajibab pembiayaan secara mandiri. Dan penggaung biaya pemeliharaan dan Pendidikan anak juga diatur dalam pasal 105 KHI, yaitu hanya oleh bapak.

Dan pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU perkawinan) dijelaskan bahwasanya kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri

Dalam kasus yang dijelaskan sebelumnya pihak bapak tidak memenuhi tanggug jawab nafkah terhadap anak pasca perceraian berlangsung, dimana anak tersebut masih berusia yang pada saat dalam kewajiban mendapat hak nafkah, dan pihak bapak beralasan bahwa ia tidak mampu, dan pihak ibu beranggapan bahwa pihak bapak memiliki sawah dan tanah yang masih dikelolanya.

Bilamana pihak bapak yang tidak melaksanakan kewajiban nafkah terhadap anak pasca perceraian ia akan mendapat sanksi sebagai berikut:

Sanksi perdata:

  1. Seseorang dapat digugat ke Pengadilan untuk mengganti biaya nafkah anak yang tidak diberikan kepada anak.
  2. Seseorang dapat dicabut hak kuasa asuh terhadap anaknya sebab melalaikan kewajibannya menunaikan nafkah anak.

Sanksi pidana:

  1. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), sebagaimana tercantum di dalam Pasal 77 B Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
  2. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), sebagaimana tercantum di dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berikut prosedur bilamana ingin mengajukan gugatan

Gugatan dapat diajukan di wilayah tempat tinggal tergugat. Bagi mereka yang beragama islam maka diajukan di pengadilan agama sedangkan mereka yang non-muslim diajukan di pengadilan negeri

  • Para pihak yang berperkara datang ke Pengadilan Agama Pariaman kemudian ke PTSP untuk berkonsultasi persyaratan apa saja yang harus dipenuhi, dengan petugas meja informasi.
  • Pihak yang berperkara membuat surat permohonan (yang memuat identitas, posita, dan petitum) secara tertulis atau lisan yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Pariaman kemudian kepada kasir untuk interpretasi uang muka biaya perkara.
  • Kasir akan memberikan interpretasi atas uang muka biaya perkara dan menyerahkan 1 slip setoran bank yang telah divalidasi kepada pihak yang berperkara.
  • Para pihak membayar uang muka biaya perkara ke Bank, kemudian dikembalikan ke Pengadilan Agama Pariaman dan menuju ke meja dua (petugas pendaftaran)
  • Para pihak menunjukkan bukti pembayaran dan dokumen pendaftaran kepada petugas loket dua. Petugas loket kedua akan memberikan SKUM, blanko bukti pembayaran PNBP, dan 1 lembar surat klaim yang ditandai dengan pendaftaran dan nomor perkara.
  • Pendaftaran selesai, Jurusita pengganti akan datang ke alamat 2 orang yang berperkara sesuai dengan yang tertera dalam gugatan untuk memanggil sidang setelah tanggal sidang ditentukan oleh majelis hakim.
  • Sidang dilakukan. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat meminta penyelesaian putusan (sesuai petunjuk majelis hakim).

Solusi Untuk Perkara Ditinjau Dari Jalur Kekeluargaan

Sedangkan untuk melalui jalur kekeluargaan, ialah dengan cara mempertemukan kedua belah pihak. Supaya kedua belah pihak ini saling berbicara dan mendiskusikan terkait nafkah anak tersebut.

Dan alangkah lebih baiknya jika hal ini disaksikan oleh kerabat dekat (yang masih memiliki hubungan keluarga). Agar apabila salah satu pihak ada yang melanggar hasil dari kesepakatan tersebut, maka pihak keluarga dapat mengingatkan kembali. Dengan adanya saksi dan juga penengah diantara kedua belah pihak ini juga agar tidak terjadi perkelahian atau adu mulut yang dapat menimbulkan masalah lainnya, saksi atau penengah tersebut haruslah mendengarkan pendapat dan persepsi dari kedua belah pihak agar tidak adanya kesalahpahaman yang bisa merugikan salah satu pihak. Barulah setelah kedua belah pihak ini mengeluarkan pendapat atau persepsi mereka masing-masing, maka bisa disepakati oleh semua pihak mengenai jalan keluar dari permasalahan tersebut.

Melalui jalur kekeluargaan ini bertujuan untuk mufakat, tanpa adanya rasa dirugikan salah satu pihak dan agar semua pihak merasa adil serta tidak keberatan dalam menjalankan kewajibannya yang telah disepakati.

Solusi Untuk Perkara Ditinjau Dari Keagamaan

Dari tinjauan agama dalam pemenuhan nafkah anak apabila jika terjadinya perceraian akan mengakibatkan timbulnya berbagai macam permasalahan. Dari sudut pandang agama islam jika sang ayah sudah tidak menafkahi anaknya hukumnya akan menjadi dosa, karena ayah yang sudah tidak menafkahi anak ada hukumnya sendiri dalam Islam. Tentang dosa ayah yang tidak menafkahi anaknya sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 80 ayat (4) KHI yang mengatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:

  1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri
  2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan istri dan anak dan
  3. Biaya pendidikan bagi anak.

Terdapat dalam Al-Quran yang menjelaskan berkaitan dosa ayah tidak menafkahi anaknya dan menjadi memperjelas kedudukan seorang ayah dalam memimpin dan bertanggung jawab rumah tangganya dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
"Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf)."

Dalam agama Islam, karena ayah harus memberi nafkah sesuai dengan kesanggupannya untuk menanggung, maka jika hukumnya tidak diikuti, dosa bagi ayah untuk tidak menafkahi sang anak.

Solusinya kita bisa dengan cara menumbuhkan kesadaran akan tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya, kewajiban seorang ayah apabils sudah bercerai dari mantan istrinya kepada anaknya selamanya tidak terputus. Dari upaya peningkatan tersebut dapat melalui penyuluhan keluarga ataupun membuat aturan yang dapat memberikan efek jera kepada ayah agar dapat menafkahi anaknya.

Dari kasus diatas dan uraian-uraian solusi yang telah dipaparkan oleh penulis, sekiranya bisa ditarik kesimpulan bahwa yang namanya anak bagaimana pun keadaannya tetap anak. Tidak ada istilah bekas anak atau bekas orang tua. Dengan begitu, secara otomatis yang namanya kewajiban baik anak kepada orang tua maupun orang tua kepada anak, seperti nafkah. Nafkah itu tetap menjadi kewajiban seorang bapak kepada anaknya meskipun keadaannya telah bercerai dengan istrinya. Tidak hanya diatir dalam agama Islam, tetapi hukum positif di Indonesia pun mengatur secara ketat tentang pemenuhan hak nafkah dan biaya pendidikan anak pasca perceraian.

Pengarang:

Durrotun Fatihah_212121023 | Dyah Mutiarawati_212121024 | Dwi Safty W_212121030 | Manal Ilham Al Mazid_212121130

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun