Mohon tunggu...
Manal Ilham Al Mazid
Manal Ilham Al Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Merupakan mahasiswa dari Program Studi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Memahami Hukum Perdata Islam

29 Maret 2023   19:25 Diperbarui: 29 Maret 2023   19:44 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pentingnya Pencatatan Perkawinan dan Akibat tidak Mencatatkan Perkawinan dari Segi Sosiologis, Religius, dan Yuridis

pencatatan perkawinan adalah salah satu prinsip hukum perkawinan di Indonesia yang bersumber pada UU No 1 thn 1974 tentang perkawinan. Disebutkan wajib dicatatkan sebab akan memberikan kepastian dan perlindungan bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan.

Bilamana terjadi sesuatu maka dapat memberikan kekuatan bukti autentik bahwa telah terjadi perkawinan dan kedua pihak tersebut dapat mempertahankan perkawinan di hadapan hukum. Manfaat lainnya adalah seperti tertib adminitrasi pernikahan, jaminan perihal hak tertentu, perlindungan status pernikahan, anak serta hak-hak perlindungan akibat adanya perkawinan dsb

Akibat dari segi Sosiologis adalah berdampak pada pihak perempuan, karena disini perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah dan akan menjadi buah cibir bagi warga sekitarnya. Bagi anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak sah maka anak tersebut mungkin akan berdampak pada segi sosialnya, seperti dikucilkan dan dianggap berbeda dari anak-anak lainnya. Dan juga berdampak pada nama keluarga mereka yang dipandang rendah.

Akibat dari segi religious adalah perkawinan yang tidak dicatatkan tetap sah jika dilihat dari aspek hukum islam, karena syarat dan rukunnya tidak mewajibkan untuk pencatatan perkawinan. 

Namun untuk sekarang demi kemaslahatan besar bagi keluarga yang tidak mencatatkan pekawinan, maka agama lebih menganjurkan untuk melakukan pencatatn perkawinan, karena itu mengandung unsur maqashid Syariah dalam hal keturunan (al-mal) dab keturunan (al-Nasl). Mengapa demikian karena jika di catatkan maka hak-hak yang seharusnya diperoleh dapat dipertanggung jawabkan. Dan itu adalah salah satu bentuk kita tunduk pada pemimpin yang merupakan bentuk suatu ibadah yang diperintahkan keada rasulullah

Kemudian akibat dari segi yuridis adalah menyangkut tentang kekuatan hukum pada harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah serta hubungan dalam harta benda waris. Kedudukan dari seorang anak bilamana terlahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan akan berdampak pada tidak memiliki hubunan perdata dengan ayahnya sehingga tidak memiliki hak untuk menerima waris dari ayahnya. Bagi istri tidak berhak atas nafkah dan warisan, bilamana pihak suami meninggal dunia. 

Dan juga pihak istri tidak akan mendapat harta gono ginijika terjadi perceraian dikarenakan perkawinan tersebut tidak sah secara adminitrasi yaitu sesuai aturan hukum dengan dicatatkan perkawinan. Sehingga pihak perempuan tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengambil haknya dsb.

Pendapat Ulama Dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil

Pendapat ulama 4 mahdzab mengenai perkawinan Wanita hamil yaitu sebagai berikut:

  • Madzhab Imam Syafi'I berpendapat bahwa perkawinan Wanita hamil ini hukumnya adalah boleh baik bagi pihak yang menghamilinya atau orang lain. Pendapat tersebut imam syafi'I mengqiyaskan dengan "apabila satu orang mencuri buah dari satu phon, dan hukumnya haram. Kemudian dia membeli pohon itu, maka apakah hukum dari buah itu masih haram atau masih halal? Yaitu sudah halal. Dengan begitu yang tadinya haram kemudian menikah dengan baik-baik maka hukumnya menjadi halal". Dalam pandangan ini Wanita yang berzina tidak memiliki iddah. Adapun jika melangsungkan pernikahan, maka hukumnya boleh
  • Madzhab imam Hanafiyah mengenai perkawinan Wanita hamil masih banyak perbedaan pendapat, diantaranya yaitu
  • Pernikahan tetap sah, baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak
  • Pernikahan dianggap sah, dengan syarat harus menikah dengan laki-laki yang menghamilinya dan tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melahirkan
  • Pernikahan boleh dilaksanakan bilamana sudah melahirkan
  • Pernikahan boleh dilaksanakan bilamana sudah melewati masa haid dan suci dan setelah menikah tidak boleh dikumpuli kecuali setelah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang Wanita setelah ia mengandung)
  • Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa perkawinan Wanita hamil hukumnya adalah tidak sah kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan wajib kedua belah pihak bertaubat.
  • Madzhab hambali berpendapat bahwa perkawinan Wanita hamil tidak sah baik yang menikahi dari pihak yang menghamili ataupun orang lain. Karena mereka harus menjalani masa iddah yaitu dengan pihak Wanita sudah melahirkan kandungannya.

Sedangkan dalam KHI mengenai perkawinan Wanita hamil yaitu, siebutkan dalam bab VIII tentang kawin hamil yaitu pasal 53. Adapaun isi dari pasalnya yaitu:

  • Pada ayat 1 menjelaskan bahwa Wanita yang hamil dalam keadaan diluar nikah maka boleh dikawinkan dengan pria yang menghamilinya
  • Pada ayat 2 menjelaskan bahwa yang disebut pada ayat (1) boleh dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
  • Pada ayat 3 menjelaskan bahwa setelah dilaksanakan perkawinan pada saat Wanita hamil maka tidak perlu diulang setelah anak yang dikandung lahir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun