Pada akhirnya, mereka yang menjadi korban harus memulai hidup barunya, ada yang pindah tempat sehingga masyarakat sekitar tidak mengetahuinya kalau dia seorang korba trafficking, dan ada juga yang memilih tetap tinggal di daerah orang dan enggan untuk pulang ke kampungnya karena tidak kuat menahan malu.
Para korban trafficking hendaknya diberikan perlindungan hukum yang dapat menjamin kelangsungan hidup mereka secara lebih baik lagi, pengalaman lain menunjukan seringkali para korban merasa terintimidasi jika berhadapan langsung dengan pelaku di ruang sidang. Atau bahkan mendapatkan pengucilan dari sebagian orang yang hadir, bagaimanapun juga mereka korban, perbuatannya menjadi pekerja haram bukan atas kehendak mereka, tetapi merupakan sebuah keterpaksaan karena mendapatkan prilaku yang membahayakan mereka.
Oleh karenanya, perlu adanya undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap mereka, bukan saja setelah menjadi korban, akan tetapi perlindungan yang bersifat pencegahan/prefentif. Jika tidak demikian mereka akan selalu menjadi korban diatas korban, dan hanya menjadikan misteri yang sangat menakutkan.
Ada juga korban yang tidak mau melaporkan dirinya, mereka hanya memilih menutup mulut, alasannya karena yang demikian merupakan aib serta untuk menghindari rasa malu terhadap masyarakat, akibatnya penegakan hukum terhadap trafficking kian melemah. Dan hal yang demikian membuat para pelaku perdagangan manusia (trafficker) semakin berani dan kian marak.
Para korban biasanya juga sering dipaksa harus menuturkan pengalaman pahitnya berkali-kali, dari mulai peristiwa awal sampai akhir proses hukum. Hal yang demikian terasa memilukan sekali bagi korban, karena bisa mengakibatkan trauma. Ada baiknya kalau pengalaman mereka direkam dan nantinya bisa digunakan sebagai bukti dalam proses hukum selanjutnya.
Penuturan LRC KJHM (Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM) biasanya korban trafficing malu kalau ketahuan pernah bekerja di tempat prostitusi. Akibatnya mereka cenderung menutup diri dari lingkungan, ketakutan menghadapi orang baru, bahkan sebagian besar mereka takut pulang ke kampung halamannya, padahal mereka itu cuma korban.
Jika kasus terjadi di luar wilayah Indonesia, hendaknya bagi korban diberikan beberapa pilihan penyelesaian, misalnya untuk tinggal sementara sampai proses hukum dapat diselesaikan dan menuntut para pelaku, karena korban berhak atas ganti rugi dan rehabilitasi, atau diberikan kesempatan untuk bekerja di tempat lain yang legal, karena sebagian sebagian korban banyak yang kehilangan harta benda mereka ketika diperdagangkan, malah biasanya hanya hutang yang menumpuk, kalau pulang ke Indonesia bukanlah pilihan yang menyenangkan karena hanya akan mendapatkan malapetaka baru dalam bentuk pengucilan dan diskriminasi.
Kiranya, penting sekali bagi pemerintah untuk membentuk tim mediator khusus yang menangani korban trafficking ini, bisa di Departemen Tenaga Kerja, Pemerintah Kota, Daerah, atau dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan yang ada. Agar para korban dapat diatasi secara khusus yang tidak ditakuti para korban.
Beranjak dari sini, mari kita bersama memberantas kejahatan trafficking ini, dan harap diperhatikan bagi para pelaku perdagangan manusia (trafficker) ancaman hukuman adalah pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 20 Juta dan paling banyak Rp. 100 juta, bahkan menurut saya hukuman bagi pelaku harus lebih diberatkan lagi agar benar-benar jera. Dan yang lebih penting dari itu semua agar tidak ada lagi misteri-misteri hidup bagi perempuan di masa yang akan datang, memberantas trafficking hemat saya adalah jihad akbar yang harus ditegakkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H