Menurut US State Departement, kira-kira 600.000-800.000 orang sebagian besar perempuan dan anak diperdagangkan lewat batas politik atau geografis setiap tahun (Jakarta Post, 27-04-2005).
Amerika Serikat merupakan negara tujuan bagi sekitar 18.000-20.000 orang hasil perdagangan manusia per tahun (Suara Pembaruan, 29-07-2003).
Berdasarkan data UNICEF tahun 2003, mengungkapkan bahwa 30% pelacur perempuan di Indonesia berusia 18 tahun atau terdapat 12.000 anak korban perdagangan seks komersial setiap tahun. Maka jumlahnya kira-kira 200.000-300.000 anak (Bisnis Indonesia, 23-06-2004).
Menurut Global Watch Against Child Labour, tahun 2002, jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan di Indonesia diperkirakan mencapai 700 ribu hingga satu juta orang per tahun.
Sedikitnya ada tiga unsur utama Trafficking yang bisa didefinisikan secara sederhana, yaitu. Pertama, memindahkan orang, baik di dalam maupun di luar batas negara (termasuk perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan). Kedua, cara-caranya menyalahi hukum (termasuk mengancam, menggunakan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan hutang, atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain trersebut). Ketiga, tujuannya eksploitasi atau menyebabkan orang tereksploitasi.
Eksploitasi sendiri didefinisikan dalam pasal 1 angka 9 UU PTPPO adalah tindakan memanfaatkan orang baik dengan atau tanpa persetujuan orang tersebut untuk tujuan eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, atau transplantasi organ atau jaringan tubuh, atau segala tindakan yang berupa penindasan, pemerasan, pemanfaatan tenaga fisik atau kemampuan seseorang oleh pihak lain secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun imateriil.
Disini sudah jelas, jika satu saja unsur pemindahan terjadi, seperti misalnya merekrut perempuan atau anak perempuan, dengan cara jeratan hutang sehingga korban tereksploitasi secara ekonomi, maka yang melakukan hal ini dihukum sebagai pelaku trafficking.
Memberantas  Trafficking, Melindungi Korban
Masalah perdagangan anak dan perempuan di Indonesia yang nantinya bekerja sebagai pekerja seks komersial tidak terlepas dari budaya yang masih dianut sebagian besar masyarakat. Perempuan dan anak dianggap aset, sebab itu wajar untuk dieksploitasi. Kemiskinan hanyalah faktor penunjang yang membuat perdagangan anak dan perempuan makin tumbuh subur. (Suara Pembaruan, 30-08-2003).
Sudah tidak bisa di toleran lagi kalau trafficking merupakan sebuah misteri kehidupan kita semua, terlebih kaum perempuan karena bagaimanapun juga trafficking dapat mengancam stabilitas sosial yang dibangun dengan penuh kedamaian. Tarfficking hanya dapat menyisahkan misteri hidup yang berkepanjangan bagi korban.
Pada beberapa kasus, korban trafficking mengalami gangguan kejiwaan, stress, depresi, pengucilan serta diskriminasi dari keluarga maupun masyarakat, karena mereka (korban) dianggap sebagai manusia yang tidak suci lagi, tidak layaknya masyarakat umum, terlebih mereka yang mengalami kekerasan seksual atau dipekerjakan menjadi pekerja seks komersial.