Dâr al-islâm tidak pernah didefinisikan dengan tepat dalam wacana Islam. Misalnya, Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936), yang menulis pada abad keempat/kesepuluh, mengidentifikasi enam konsepsi yang berbeda tentang dâr al-islâm. Yang lainnya berargumen bahwa dâr al-islâm adalah tempat Syariah diterapkan dengan tepat; yang lainnya mengatakan bahwa dâr al-islâm merupakan tempat berkuasanya seorang penguasa muslim dan yang lain lagi menambahkan bahwa penguasa tersebut harus adil dan benar-benar saleh. Jelaslah bahwa selama berabad-abad kaum muslim telah mengembangkan beragam pandangan yang tergantung pada situasinya. Utamanya, pada pakar hukum Hanbali dan Syafi’i merekonstruksi wacana tentang dâr al-islâm sedemikian rupa sehingga sebuah wilayah dapat saja dikuasai dan dikendalikan oleh orang-orang non-muslim tetapi tetap menjadi bagian dari kawasan Islam.
Perintah Alquran tentang hijrah memasukkan seluruh Bumi sebagai tempat perlindungan yang mungkin dari penindasan. Menurut argumen tertentu, perintah tersebut cukup luas hingga memungkinkan munculnya wacana yang spesifik secara historis tentang kewajiban-kewajiban minoritas muslim, tetapi pada kenyataannya sebagian besar pakar hukum Sunni dan Syi’ah bersikukuh bahwa seorang muslim harus hijrah dari negeri di mana korupsi dan ketidakadilan meraja lela. Para pakar hukum ini berargumen bahwa wilayah yang secara formal disebut sebagai bagian dari kawasan Islam mungkin dikotori dengan korupsi dan ketidakadilan. Dan dalam kasus semacam ini seorang musim harus terus-menerus mencari negeri-negeri yang adil. Sebutan formal atas wilayah tertentu tidak begitu penting.
Kewajiban hijrah, bagi dari negeri yang korup dan tidak adil maupun dari kawasan non-muslim, terus-menerus melibatkan pemikiran muslim hingga memasuki abad kedua puluh dan terus-menerus merespons realitas-realitas historis yang dihadapi pada pakar hukum muslim pada zaman tertentu. Sebagai contoh, ia pernah digunakan sebagai doktrin penentangan terhadap pemerintahan muslim pribumi dan kekuasaan-kekuasan kolonial.
Fatwa Ridha sendiri merupakan akibat dari kolonialisme. Ridha mengeluarkan fatwanya pada akhir tahun 1909. Pada waktu itu, Bosnia dicaplok oleh Austria pada 1908, dan kekuasaan Austro-Hongaria diakui oleh pemerintahan Turki Utsmani dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada Februari 1909. Pada waktu itu, sebagian besar negara-negara muslim berada di bawah pendudukan kolonial. Jika kita menganggap bahwa wilayah kolonial tidak lagi merupakan bagian dari dâr al-islâm dan hijrah dari negeri ini karenanya merupakan kewajiban atas kaum muslim, maka pertanyaannya menjadi: ke manakah seharusnya kaum muslim pergi?.
Pakar hukum Turki Utsmani yang menasihati kaum muslim Bosnia untuk meninggalkan Bosnia mengisyaratkan bahwa hijrah itu harus dilakukan ke wilayah Turki Utsmani, dan pada kenyataannya, telah banyak masyarakat muslim yang hijrah ke wilayah Turki Utsmani. Ridha tidak bersedia menerima pemecahan ini karena dia tidak mau menerima legitimasi kekhalifahan Turki Utsmani dan pada kenyataannya menunjukkan gagasan untuk menggantinya dengan wilayah Arab. Pertimbangan-pertimbangan ini jelas memakai bahasa yang keras dan bermusuhan yang digunakan Ridha untuk merespons pakar hukum Turki Utsmani tersebut dalam fatwanya.
Meskipun Ridha mengisyaratkan bahwa meskipun kedaulatan Turki Utsmani telah hilang Bosnia tetap merupakan bagian dari kawasan Islam. Dia tidak mengajukan argumen tersebut atau menyajikannya dengan cara yang sistematik; ia hanya mengutip pendapat dari pakar hukum Syafi’i abad kesebelas al-Mawardi. Dalam konteks ini, tujuan utamanya adalah untuk memberdayakan kaum muslim Bosnia melawan otoritas keagamaan orang-orang Turki Utsmani.
Akan tetapi, pada 1927, ketika Ridha ditanya apakah Suriah atau Lebanon yang berada di bawah pendudukan Prancis dapat dianggap sebagai bagian dari kawasan Islam, Ridha dengan tegas menjawab tidak. Kemudian dia berargumen bahwa, meskipun terdapat fakta bahwa kaum muslim merupakan mayoritas penduduk di Suriah, tetapi kedaulatan muslim tidak terdapat di wilayah ini, dan karenanya ia tidak dapat dianggap sebagai bagian dari dâr al-islâm. Ridha mengakui bahwa sebagian orang berargumen bahwa jika kaum muslim mampu melaksanakan ajaran agamanya di wilayah tertentu, maka wilayah tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari kawasan Islam. Akan tetapi, Ridha menyatakan, menurut argumen ini Prancis dan Inggris seharusnya menjadi bagian dari kawasan Islam karena kaum muslim dapat dengan bebas melaksanakan ajaran agama mereka di sana. Menurut Ridha, Prancis, Inggris, Cina, India, Suriah dan Lebanon semuanya tidak dapat dianggap sebagai bagian dari kawasan Islam, dan simpulan-simpulan yang absurd semacam ini harus dihindari. Kawasan Islam adalah tempat kedaulatan muslim berada dan hukum-hukum Syariah diterapkan sepenuhnya.
Jika diungkapkan secara tegas, maka, menurut definisi Ridha yang sangat ketat tentang kawasan Islam, tidak ada negara muslim pada zamannya yang memenuhi kualifikasi tersebut. Tetapi Ridha lagi-lagi bersikukuh bahwa kaum muslim tidak harus hijrah dari wilayah yang dianggap non-muslim. Kaum muslim Cina, India, Suriah dan Lebanon harus tetap berada di tempat mereka sekarang. Argumen selalu dipertahankannya adalah bahwa minoritas-minoritas muslim tidak harus hijrah karena di mana saja mereka dapat melaksanakan Islam, di situlah eksis kawasan Islam. Jelasnya, dia telah mengadopsi pandangan Syafi’i pasca-abad kedua belas. Pertanyaannya kemudian menjadi, mengapa Ridha bersikukuh bahwa negara-negara seperti Suriah bukan merupakan bagian dari kawasan Islam?.
Dalam kasus Suriah, Ridha ditanya oleh sebuah yayasan filantropik Islam tentang apakah menurut Islam diperbolehkan membanguan sebuah hotel, menyewakannya, menggunakan hasil-hasilnya untuk kemaslahatan anak-anak muslim pribumi. Ridha menyadari bahwa yayasan tersebut khawatir jika para penyewa hotel mungkin akan menjual alkohol di dalamnya dan karenanya yayasan tersebut secara tidak langsung telah melakukan perbuatan dosa. Ridha memulainya dengan menyatakan bahwa pemilik-hotel tidak bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan para penyewanya dan bahwa yayasan tersebut mungkin terlibat dalam transaksi yang tengah dibicarakan karena Suriah dan Lebanon (al-Syams) bukan merupakan bagian dari kawasan Islam. Akibatnya, hukum-hukum perdata dan pidana Islam tidak diterapkan di wilayah-wilayah ini. Meskipun adanya fakta bahwa Suriah secara historis berada di jantung negeri-negeri muslim, pada saat ini, Ridha berpendapat, seorang muslim yang berdaulat tidak berkuasa dan aturan Syariah tidak berlaku di sana, dan karenanya ia bukan merupakan bagian dari kawasan Islam.
Untuk alasan yang sama, hukum-hukum perdata dan pidana Islam tidak diterapkan di wilayah-wilayah ini. Di wilayah non-muslim, demikian argumen Ridha, kaum muslim hanya diwajibkan untuk mengikuti hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah [mahdhah] seperti berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan salat; mereka tidak terikat oleh hukum perdagangan atau hukum pidana Islam. Dalam wilayah-wilayah ini, kaum muslim terikat oleh hukum-hukum negara non-muslim sebagai tuan rumahnya. Ridha mengkualifikasikan pernyataan ini dengan berargumen bahwa kaum muslim tidak boleh menjual alkohol secara langsung, misalnya, dengan membuka bar, karena hukum-hukum yang berkaitan bukan dengan meminum atau menjual alkohol merupakan bagin dari hukum-hukum ritualistik Islam.
Kaum muslim yang hidup di wilayah non-muslim, Ridha melanjutkan, harus mampu melayani kepentingan-kepentingan mereka dan mempertahankan kekuatan mereka. Jika hukum-hukum perdagangan Islam dilaksanakan di wilayah non-muslim, maka kaum muslim akan mejadi tergantung dan tidak berdaya secara finansial. Syariah, Ridha mempertahankan, ditegakkan atas prinsip membela kesejahteraan masyarakat. Prinsip ini demikian fundamental sehingga kaum muslim akan berdosa jika mereka membebani diri mereka sendiri dengan hukum-hukum Islam yang tidak dapat diterapkan di negeri-negeri non-muslim.