Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wahyu dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup

24 April 2013   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 2935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wahyu Dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup

Oleh : Salamun Ali Mafaz

Addinu ‘aqlun la dinna liman la ‘aqla lahu

“Agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak mempunyai akal.”

“Sesungguhnya akal tidak bertentangan dengan wahyu, dengan akal wahyu dapat berfungsi menjawab persoalan-persoalan yang ada, karena itu dengan akal dimensi ijtihad akan semakin berkembang.” (Ibnu Rushd)

“Aku berpikir maka aku ada” (Rene Descartes)

Ketika masyarakat kota Mekkah sedang dilanda keterpurukan moral, dimana zaman jahiliyyah pada saat itu telah membuat tatanan moral bobrok dan terpuruk. Penindasan, perbudakan, diskriminasi, kerap mewarnai pemandangan kota Mekkah pada waktu itu. Melihat keadaan penduduk Mekkah yang tidak bermoral, maka Nabi Muhammad bersemedi (uzlah) ke gua Hira, merenung dan memikirkan keadaan penduduk Mekkah yang semakin rusak prilakunya.

Setelah beberapa hari bersemedi (uzlah), maka turunlah wahyu dari Tuhan berupa ayat al-Quran. “Iqra” wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk hidup yang akan merubah peradaban manusia. Setelah Nabi menerima wahyu yang pertama, wahyu-wahyu selanjutnya turun secara bertahap dalam rangkaian ayat yang mampu menjawab pelbagai macam masalah. Disini peranan wahyu begitu penting sebagai petunjuk hidup manusia, wahyu sama sekali tidak akan pernah berfungsi jika tidak digunakan dengan akal sehat, wahyu turun untuk disampaikan kepada mereka yang berakal, sehingga dengan adanya wahyu akal berfungsi secara benar, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, wahyu sebagai petunjuk akal, sebaliknya akal sebagai interpretasi penerapan wahyu secara benar.

Wahyu dan akal mempunyai peranan penting sebagai petunjuk hidup manusia, bukan saja sebatas ritual keagamaan semata, akan tetapi fungsi wahyu dan akal dapat digunakan lebih jauh dari sekedar itu. Dengan wahyu dan akal kita berharap peranan agama akan semakin terasa menyejukan, jauh dari tindakan kekerasan, karena kita yakini mereka yang melakukan tindak kekerasan sejatinya tidak memahami fungsi wahyu dan akal secara benar.

Membumikan Peranan Wahyu Dan Akal

Islam merupakan salah satu agama yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir. Karenanya Islam maju dengan pesat. Belajar dari pengalaman Yunani, Ibnu Rushd menganggap filsafat sebagai sesuatu yang penting dalam ajaran Islam. Bahkan ia setuju kalau berpikir dianggap sebagai kewajiban dalam agama. Hanya dengan cara tersebut uamt Islam dapat mempertimbangkan tindak-tanduknya agar menjadi relevan dengan spirit yang diusung oleh al-Quran, yaitu toleransi dan anti kekerasan. Manusia dihargai karena akal budinya. Sebaliknya, manusia akan jatuh pada lubang kehinaan bilamana akal budinya digantikan dengan kebencian, kebodohan, apalagi kekerasan.

Dengan peranan akal atmosfer berijtihad akan terus membara, karena ijtihad adalah ruh untuk menghidupkan Islam secara istiqamah. Tanpa adanya ijtihad yang telah diteladankan oleh Umar ibn Khattab dan para ulama maka Islam hanya akan menjadi sebuah tontonan bukan sebuah tuntunan. Bukankah ditangan Nabi al-Quran dapat memecahkan pelbagai macam masalah, karena al-Quran sendiri bukan hanya sebatas wahyu belaka akan tetapi sebuah tuntunan agar diterjemahkan kedalam nilai-nilai yang positif. Jalaluddin as-Suyuthi melalui bukunya al-Ijtihad: Al-Radd ‘ala man Akhlada ila al-Ardli wa Jahila anna al-Ijtihad fiy Kulli ‘Ashr Fardhun. Mengatakan, hanya mereka yang fanatik saja yang akan menolak keniscayaan ijtihad. Ijtihad adalah cara yang paling efektif untuk menghidupkan rasionalisme di dalam Islam. Tidak sebagaimana di dalam ideologi kaum agamawan konservatif yang meletakan rasionalisme hanya untuk membentengi dogma. Rasionalisme dipakai untuk melakukan reinterpretasi tafsir agama yang tidak relevav dengan semangat zaman. Jika dalam skriptualisme akal mesti ditaklukan dalam kehendak-kehendak harfiah teks agama, maka dalam progresivisme Islam akal bisa bersetatus sebagai nasikh terhadap hukum-hukum yang tidak membawa kemaslahatan. Ini misalnya salah satu yang dimaksudkan dalam kaidah ushul fikih. “jawaz naskh al-nushus al-juz’iyyat bi al-maslahat” (it is possible to abbrogate the particular verses by maslahat).

Ibnu Rushd dalam bukunya Fashl al-Maqal fiyma Bayna al-Hikmati wa as-Syariati min It-Ittishal mengatakan, sekiranya ada suatu ajaran yang ternyata bertentangan dengan rasio atau akal budi (al-burhan), maka tidak ada cara lain, kecuali bahwa ajaran tersebut mesti direformasi melalui medium takwil (wa in kanat al-syari’ah nathaqat bihi, fala yakhlu dhahir al-nuthq an yakuna muwafiqan lima adda illaihi al-burhan fihi, aw mukhalifan. Fain kana muwafiqan fala qawla hunalika. Wain kana mukhalifan, thuliba hunalika ta’wiluhu (hlm. 32). (wa nahnu naqtha’u anna kulla ma adda ilahi al-burhan wa khalafahu dhahir al-syar’i, anna dzalika al-dhahir yaqbalu al-ta’wil (hlm.3). Terinspirasi ajaran Ibnu Rushd ini, saya merumuskan suatu kaidah bahwa “in khalafa al’aqlu wa al-naql quddima al-‘aql bi thariq al-takhsish wa al-bayan”. (ketika terjadi pertentangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang didahulukan adalah pertimbangan akal dengan menggunakan jalan takhsish (spesifikasi ajaran) dan bayan (penjelasan rasional).

Sebagai mahluk yang berakal, posisi manusia dalam proses pemaknaan ajaran demikian penting. Al-Nas ‘aqil wa al-nashsh ghair ‘aqil (manusia adalah yang berakal sedangkan nash sendiri tidak berakal). Manusia memiliki kewenangan mensortir partikular-partikular ajaran dalam Islam (tanqih al-nushush al-juz’iyyat). Hanya di tangan manusia yang mampu mengoptimalkan pendayagunaan akal, syari’at atau ajaran yang di wahyukan mengalami penyempurnaan demi penyempurnaan. Umar Farrukh mengungkap pandangan Ikhwan as-Shafa tentang syari’at dalam bukunya Ikhwan as-Shafa: Darsun, ‘Irdh, Tahilun (1991:32) menurut Ikhwan as-Shafa syari’at yang di wahyukan Nabi naqish. Anna al-Syari’ati al-Muhammadiyah naqishatun. Dengan pernyataan itu Ikhwan as-Shafa sebenarnya hendak berkata bahwa kesempurnaan syari’at selalu dalam proses menjadi yang terus menerus, tidak pernah berhenti, dalam hal ini akal yang mempunyai peran penting.

Dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru akan mengetahui kebaikan dan kejahatan setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan, jika dikatakan akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat mengangkat derajat manusia yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat memahami batas-batas. Tetapi wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah diinterpretasikan demi kepentingan sesaat dan duniawi. Agar wahyu itu bisa tetap eksis dan memperoleh integritasnya sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Wahyu itu sendiri laksana horison atau cakrawala yang tak terbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Jaminan wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsirkan ide-ide ketuhanan yang terkandung di dalam wahyu. Lenyapnya Mu’tazilah mempengaruhi sikap umat Islam dalam membentuk dan menjalankan hukum Islam (fiqh), sebab dengan berkurangnya peranan akal, umat Islam lebih senang meniru atau bertaqlid pada pendapat pendahulu mereka.

Wahyu Dan Akal Sebagai Jawaban

Meskipun wahyu telah terhenti dan firman Tuhan tidak lagi turun, karena Nabi telah tiada, namun dengan akal dimensi ijtihad diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang semakin bertambah banyak. Ketika Nabi masih hidup praksis setiap masalah yang terjadi turunlah wahyu sebagai jawaban, namun sekarang wahyu telah terhenti dan sabda Nabi telah tiada, disini peranan akal difungsikan sebagai penggerak utama ijtihad.

Al-Quran secara berulang-ulang menganjurkan manusia agar menggunakan akal pikiran untuk memahami segala sesuatu yang ada disekitarnya. Di dalam al-Quran banyak kita temukan ungkapan tafakkar (berpikirlah), taffaquh (pahamilah), tadabbar (renungkanlah), dan lain sebagainya. Akal manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Bahkan para ulama menjadikan akal sebagai salah satu syarat mutlak untuk menemukan solusi bagi pelbagai persoalan yang ada, misalnya dalam proses istimbath (pengambilan) hukum, memahami ayat-ayat mutasyabihat (belum jelas maksudnya) dan sebagainya. Akal pikiran merupakan anugerah Tuhan yang sangat berharga, karena akal pikiranlah yang membedakan antara manusia dengan hewan.

Ibnu Rushd dalam bukunya yang berjudul Fashl al-Maqal fiyma Bayna al-Hikmati wa as-Syariati min It-Ittishal. Dengan sangat detail dan gamblang mengulas pentingnya memelihara kemerdekaan dalam berpikir. Menurut Ibnu Rushd, akal merupakan fitrah manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, atau membedakan antara yang benar dan yang salah. Menurutnya, tidak ada kontradiksi antara akal dan ajaran Islam. Beliau meletakkan akal sebagai obor yang menerangi jalan manusia dan memberikan petunjuk untuk kemaslahatan manusia. Artinya, kemerdekaan akal manusia bukanlah sekedar untuk tujuan pragmatis dan kepentingan sesaat, melainkan dapat mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan.

Ibnu Rushd menyebutkan bahwa belajar dan menggunakan akal tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Quran mengandung banyak ayat yang menghimbau agar manusia menggunakan akalnya. Dalam rangka menghindari adanya pertentangan antara akal dengan  teks al-Quran, Ibnu Rushd menegaskan bahwa teks al-Quran hendaknya dipahami secara mendalam untuk membuka maksud dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Kebebasan berpikir yang dikembangkan Ibnu Rushd bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada sikap kritis menuju pencerahan ijtihad, yakni membuka hikmah dibalik ajaran, firman, dan ciptaan-Nya. Dengan menggunakan akal, manusia dapat menyibak suatu hukum yang terkandung dibalik sebuah teks (an-nash).

Berpikir adalah konsep membaca dan menggali makna terdalam dari wahyu. Sebab makna simbolik yang terdapat di dalam sebuah teks kadangkala terbatas dalam konteks tertentu, luas dan derasnya ruang dan waktu yang menjadikan makna lafalnya terbatas dan seringkali tidak relevan dengan konteks tertentu. Penerapan akal di dalam hukum Islam telah diterapkan oleh Ibnu Rushd dalam bukunya Bidayatul Al-Mujtahid wa Nihayatul Al-Muqtashid. Ini adalah karya klasik yang paling komperhensif dan sistematik mengkaji persoalan fikih dalam perspektif perbandingan mazhab. Dalam kitab ini kita disuguhkan beragam argumentasi dan perbedaaan pendapat berbagai macam madzhab fikih Sunni atas berbagai macam masalah fikih, melainkan juga diajak untuk menyelami bagaimana suatu ketetapan hukum atas suatu masalah fikih dibentuk dan bagimana penggalian hukum (istinbath) dilakukan.

Salah satu contohnya ketika Ibnu Rushd membahas tentang cara menentukan ‘Illat (penyebab) dan maqashid (tujuan syari’at) dalm metode penggunaan qiyas, bukan saja agar mendapatkan pemahaman yang lengkap, melainkan juga agar kesimpulan hukum atas suatu masalah baru (al-furu’) yang dianalogikan dengan masalah lama (al-ashl) karena da kesamaan ‘illat ataupun maqashid dapat diaplikasikan. Begitulah Ibnu Rushd menggunakan akalnya untuk menemukan hukum  yang sesuai dengan konteksnya.

Ibnu Rushd memang seorang rasionalis dan tokoh Islam yang menundukan segala sesuatu kepada pertimbangan akal. Namun ajaran agama yang diwahyukan Tuhan tetap diposisikan lebih tinggi daripada akal. Beliau bukan menggunakan akal secara liar dan bebas, hanya saja ijtihadnya terkadang melampaui ijtihad ulama-ulama lain. Ibnu Rushd menjelaskan tujuan menggunakan akal adalah untuk mencapai kemaslahatan, Islam pun tidak pernah mengabaikan akal, karena tanpa akal manusia buta dan tidak bisa mendapatkan hikmah yang terkandung dibalik suatu ajaran.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan yang dilandasi pada olah pikir. Dalam sejarah peradaban manapun, sejauh kebebasan berpikir dijadikan sebagai khazanah yang terus berkembang secara kreatif dan inovatif, maka peradaban tersebut akan mengalami kemajuan. Ibnu khaldun mengingatkan kita semua, bahwa ilmu dan peradaban merupakan dua sisi dalam satu koin. Keduanya tidak bisa dipisahkan, sejarah kejayaan Islam di Baghdad, Cordova, Andalusia membuktikan bahwa majunya sebuah peradaban terkait majunya ilmu pengetahuan, sebaliknya runtuhnya sebuah peradaban akibat boboroknya ilmu pengetahuan, maka dari itu umat Islam harus banyak belajar dari sejarah masa lalu. Terakhir yang ingin saya katakan adalah bahwa wahyu dan akal merupakan petunjuk hidup manusia yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling mengisi satu sama lain. Dalam tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi bersabda: Saya berkata kepada Ali, “Apakah kalian mempunyai pemahaman tentang wahyu selain yang ada dalam al-Quran dan hal-hal yang terdapat di dalam shahifah”. Lalu Ali bertanya. “Apa yang dimaksud dengan shahifah?”, Nabi menjawab, akal, memerdekakan tawanan dan seorang Muslim yang tidak membunuh orang kafir.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun