Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wahyu dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup

24 April 2013   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 2935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai mahluk yang berakal, posisi manusia dalam proses pemaknaan ajaran demikian penting. Al-Nas ‘aqil wa al-nashsh ghair ‘aqil (manusia adalah yang berakal sedangkan nash sendiri tidak berakal). Manusia memiliki kewenangan mensortir partikular-partikular ajaran dalam Islam (tanqih al-nushush al-juz’iyyat). Hanya di tangan manusia yang mampu mengoptimalkan pendayagunaan akal, syari’at atau ajaran yang di wahyukan mengalami penyempurnaan demi penyempurnaan. Umar Farrukh mengungkap pandangan Ikhwan as-Shafa tentang syari’at dalam bukunya Ikhwan as-Shafa: Darsun, ‘Irdh, Tahilun (1991:32) menurut Ikhwan as-Shafa syari’at yang di wahyukan Nabi naqish. Anna al-Syari’ati al-Muhammadiyah naqishatun. Dengan pernyataan itu Ikhwan as-Shafa sebenarnya hendak berkata bahwa kesempurnaan syari’at selalu dalam proses menjadi yang terus menerus, tidak pernah berhenti, dalam hal ini akal yang mempunyai peran penting.

Dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru akan mengetahui kebaikan dan kejahatan setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan, jika dikatakan akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai yang baik dan yang jahat. Wahyu dapat mengangkat derajat manusia yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat memahami batas-batas. Tetapi wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah diinterpretasikan demi kepentingan sesaat dan duniawi. Agar wahyu itu bisa tetap eksis dan memperoleh integritasnya sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Wahyu itu sendiri laksana horison atau cakrawala yang tak terbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Jaminan wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsirkan ide-ide ketuhanan yang terkandung di dalam wahyu. Lenyapnya Mu’tazilah mempengaruhi sikap umat Islam dalam membentuk dan menjalankan hukum Islam (fiqh), sebab dengan berkurangnya peranan akal, umat Islam lebih senang meniru atau bertaqlid pada pendapat pendahulu mereka.

Wahyu Dan Akal Sebagai Jawaban

Meskipun wahyu telah terhenti dan firman Tuhan tidak lagi turun, karena Nabi telah tiada, namun dengan akal dimensi ijtihad diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang semakin bertambah banyak. Ketika Nabi masih hidup praksis setiap masalah yang terjadi turunlah wahyu sebagai jawaban, namun sekarang wahyu telah terhenti dan sabda Nabi telah tiada, disini peranan akal difungsikan sebagai penggerak utama ijtihad.

Al-Quran secara berulang-ulang menganjurkan manusia agar menggunakan akal pikiran untuk memahami segala sesuatu yang ada disekitarnya. Di dalam al-Quran banyak kita temukan ungkapan tafakkar (berpikirlah), taffaquh (pahamilah), tadabbar (renungkanlah), dan lain sebagainya. Akal manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Bahkan para ulama menjadikan akal sebagai salah satu syarat mutlak untuk menemukan solusi bagi pelbagai persoalan yang ada, misalnya dalam proses istimbath (pengambilan) hukum, memahami ayat-ayat mutasyabihat (belum jelas maksudnya) dan sebagainya. Akal pikiran merupakan anugerah Tuhan yang sangat berharga, karena akal pikiranlah yang membedakan antara manusia dengan hewan.

Ibnu Rushd dalam bukunya yang berjudul Fashl al-Maqal fiyma Bayna al-Hikmati wa as-Syariati min It-Ittishal. Dengan sangat detail dan gamblang mengulas pentingnya memelihara kemerdekaan dalam berpikir. Menurut Ibnu Rushd, akal merupakan fitrah manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, atau membedakan antara yang benar dan yang salah. Menurutnya, tidak ada kontradiksi antara akal dan ajaran Islam. Beliau meletakkan akal sebagai obor yang menerangi jalan manusia dan memberikan petunjuk untuk kemaslahatan manusia. Artinya, kemerdekaan akal manusia bukanlah sekedar untuk tujuan pragmatis dan kepentingan sesaat, melainkan dapat mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan.

Ibnu Rushd menyebutkan bahwa belajar dan menggunakan akal tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Quran mengandung banyak ayat yang menghimbau agar manusia menggunakan akalnya. Dalam rangka menghindari adanya pertentangan antara akal dengan  teks al-Quran, Ibnu Rushd menegaskan bahwa teks al-Quran hendaknya dipahami secara mendalam untuk membuka maksud dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Kebebasan berpikir yang dikembangkan Ibnu Rushd bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada sikap kritis menuju pencerahan ijtihad, yakni membuka hikmah dibalik ajaran, firman, dan ciptaan-Nya. Dengan menggunakan akal, manusia dapat menyibak suatu hukum yang terkandung dibalik sebuah teks (an-nash).

Berpikir adalah konsep membaca dan menggali makna terdalam dari wahyu. Sebab makna simbolik yang terdapat di dalam sebuah teks kadangkala terbatas dalam konteks tertentu, luas dan derasnya ruang dan waktu yang menjadikan makna lafalnya terbatas dan seringkali tidak relevan dengan konteks tertentu. Penerapan akal di dalam hukum Islam telah diterapkan oleh Ibnu Rushd dalam bukunya Bidayatul Al-Mujtahid wa Nihayatul Al-Muqtashid. Ini adalah karya klasik yang paling komperhensif dan sistematik mengkaji persoalan fikih dalam perspektif perbandingan mazhab. Dalam kitab ini kita disuguhkan beragam argumentasi dan perbedaaan pendapat berbagai macam madzhab fikih Sunni atas berbagai macam masalah fikih, melainkan juga diajak untuk menyelami bagaimana suatu ketetapan hukum atas suatu masalah fikih dibentuk dan bagimana penggalian hukum (istinbath) dilakukan.

Salah satu contohnya ketika Ibnu Rushd membahas tentang cara menentukan ‘Illat (penyebab) dan maqashid (tujuan syari’at) dalm metode penggunaan qiyas, bukan saja agar mendapatkan pemahaman yang lengkap, melainkan juga agar kesimpulan hukum atas suatu masalah baru (al-furu’) yang dianalogikan dengan masalah lama (al-ashl) karena da kesamaan ‘illat ataupun maqashid dapat diaplikasikan. Begitulah Ibnu Rushd menggunakan akalnya untuk menemukan hukum  yang sesuai dengan konteksnya.

Ibnu Rushd memang seorang rasionalis dan tokoh Islam yang menundukan segala sesuatu kepada pertimbangan akal. Namun ajaran agama yang diwahyukan Tuhan tetap diposisikan lebih tinggi daripada akal. Beliau bukan menggunakan akal secara liar dan bebas, hanya saja ijtihadnya terkadang melampaui ijtihad ulama-ulama lain. Ibnu Rushd menjelaskan tujuan menggunakan akal adalah untuk mencapai kemaslahatan, Islam pun tidak pernah mengabaikan akal, karena tanpa akal manusia buta dan tidak bisa mendapatkan hikmah yang terkandung dibalik suatu ajaran.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan yang dilandasi pada olah pikir. Dalam sejarah peradaban manapun, sejauh kebebasan berpikir dijadikan sebagai khazanah yang terus berkembang secara kreatif dan inovatif, maka peradaban tersebut akan mengalami kemajuan. Ibnu khaldun mengingatkan kita semua, bahwa ilmu dan peradaban merupakan dua sisi dalam satu koin. Keduanya tidak bisa dipisahkan, sejarah kejayaan Islam di Baghdad, Cordova, Andalusia membuktikan bahwa majunya sebuah peradaban terkait majunya ilmu pengetahuan, sebaliknya runtuhnya sebuah peradaban akibat boboroknya ilmu pengetahuan, maka dari itu umat Islam harus banyak belajar dari sejarah masa lalu. Terakhir yang ingin saya katakan adalah bahwa wahyu dan akal merupakan petunjuk hidup manusia yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling mengisi satu sama lain. Dalam tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi bersabda: Saya berkata kepada Ali, “Apakah kalian mempunyai pemahaman tentang wahyu selain yang ada dalam al-Quran dan hal-hal yang terdapat di dalam shahifah”. Lalu Ali bertanya. “Apa yang dimaksud dengan shahifah?”, Nabi menjawab, akal, memerdekakan tawanan dan seorang Muslim yang tidak membunuh orang kafir.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun