Kearifan lokal yang diangkat menjadi konsep hiburan dalam bentuk parodi, atau drama pendek, yang isinya berupa jokes dengan tujuan menghibur dan tak jarang menyiratkan edukasi, kini sedang marak di Makassar. Beberapa pelaku sosmed yang giat membuat video-video dengan durasi tayang pendek yang pas untuk media sosmed macam instagram atau youtube mulai menjadi sasaran para remaja maupun orang orang berkesenian dan berjiwa kreatif.
Sebut saja, Tumming dan Abu yang 5 tahun belakangan ini yang telah eksis sebagai artis sosmed sewilayah sulsel (atau bisa jadi sudah dikenal di luar sulsel), apalagi setelah kehadirannya yang cukup menjadi penyempurna dalam film Panai, produksi lokal orang orang kreatif Makassar, di tahun 2016 kemarin.
Tumming Abu yang ikonik, sepertinya cukup mewakili remaja pria kebanyakan di kota Makassar. Wajah pas pas an, ekonomi sederhana, dan tingkat pendidikan yang sesuai dengan usia mereka yang saya duga berkisar antara 23-27 thn. Dan tentu saja, lakonnya yang tetap menggunakan keaslian mereka sebagai suku bugis makassar, yaitu tata cara dan dialek berbicara yang orang makassar, yang cepat, sedikit kasar dan pastinya okkots. Disitu mungkin menjadi titik berat, mengapa mereka menjadi menarik dan mencuat kepermukaan.
Penggunaan ikon-ikon yang merupakan kearifan lokal makassar, terasa begitu alami, apa adanya, bahkan mereka dengan tengilnya, sengaja menggunakan keaslian keaslian yang terjadi dalam kehidupan sehari hari mereka. Menyebutkan jajanan-jajanan murah dan khas  ala anak makassar, jalangkote, taripang, dan lain sebagainya.Â
Permaianan permainan anak jaman dulu, enggo enggo, lojo lojo, some-somedang (hahaha, dan ini berhasil bikin generasi 90 an mengingat masa kecilnya), menyebutkan hal hal yang sedang trend dikalangan anak muda makassar, atau menyindir sesuatu yang bagi kebanyakan anak muda makassar serasa dipaksakan, seperti logat jakartanya, gaya berbusana, dan keinginan tampil keren. Atau bahkan parodi dari suatu iklan atau film yang sedang booming.
Kerennya, karena selain mengangkat kearifan lokal berupa dialek dan kebiasaan khas orang makasar, menampilkan tempat tempat wisata dan kemajuan kota makassar, pada akhirnya mereka juga berhasil meraup materi, karena keberadaan mereka sebagai selebritis makassar yang otomatis membuat mereka menjadi dikenal luas dan bernilai jual, akhirnya menarik perhatian corporate corporate multi nasional menjadikan mereka sebagai brand ambasador ataupun pengisi iklan mereka.Â
Tengok juga Youtube dan instagram mereka, iklan-iklan nasional pun worth it memasang budget promosi mereka disana. Dan semuanya tetap berkiblat pada gaya khas mereka dan mengangkat kearifan lokal kota Makassar, salut dengan ide, konsistensi, dan keberhasilan mereka.
Kehadiran mereka, seperti menjadi cermin dari sebagian besar penduduk kota Makassar, yang kebanyakan juga telah berusaha menghapus atau menyembunyikan keaslian-keaslian tersebut. Dan bagi sebagian lain, kehadiran mereka seperti mengembalikan memori masa lalu, atau kenangan masa kecil.Â
Apalagi yang kini, bermukim jauh dari kota Makassar. Bahkan untuk saya sendiri, yang setia sejak kecil hingga usia 39 tahun menetap di kota makassar, celotehan celotehan berhasil membangun emosional saya sebagai penduduk kota makassar, dengan berbagai macam ikon-ikon kota makassar yang lucu, menjijikan tapi menggelikan, sakkulu, kacci, jalla, salah picca, sarru, lending, sekke hanya asli orang makassar, yang paham, arti kata kata tersebut. Hahahha.
Setelah Tumming Abu, Lalu muncul lagi generasi berikutnya. Meskipun secara usia, mereka jauh lebih tua dari Tumming Abu, Namun mereka pun mampu bikin greget, tetap karena keaslian dan kearifan lokal yang menjadi ciri khas mereka. Penamaan genk mereka pun tetap menggunakan kata yang familiar bagi orang makassar, Jalangkote rasa keju (Itu maknanya sindiran, karena aslinya jalangkote itu jenis jajan pasar yang menggunakan sayuran dan telur, tidak sama sekali mengunakan keju). Si genk Jalangkote rasa Keju ini, buat saya masih baru, tapi mungkin mereka pun telah lama merintis video video parodi yang kemudian belakangan menjadi cukup booming, setelah mereka membuat parodi dari Film Dilan 1990.Â
Kehadiran sosok Barumbung, Rannu, dan Sukri dalam video parodi tersebut, cukup membuat saya tertawa terbahak bahak, berkali kali, setiap memutar kembali video tersebut. Yang bikin ketawa, bukan adegan yang diplesetkan saja, tetapi gaya bahasa, yang lagi lagi merupakan kearifan lokal. Okkots dan rantasa, Hahahha.
Sosok mereka bukan usia muda, seperti tumming abu, tapi mewakili usia 3oth an saya duga. Dengan postur tubuh yang besar dan gempal. Belakangan saya baru tahu, jika sosok Rannu dalam genk tersebut, bernama Sukri, Ketua dari kelompok Motor, Makassar Tiger Club, jauh sekali dari kesan perannya sebagai Rannu dalam video parodi Dilan.
Bagaimanapun itu, buat saya pribadi, mereka mereka itu adalah sosok sosok penuh kreatif, yang tidak melupakan keaslian keaslian mereka sebagai orang Makassar. Malah hal tesebut dijadikan sebagai jualan yang  sarat akan nilai nilai, mengangkat kearifan lokal, meliputi bahasa dan dialek, jenis jenis kebiasaan dan tradisi, potensi dan kemajuan kota. Dalam hal ini kota Makassar.
oke deh, at the end, adakah acara malang ini ?
*malang = malam (positif okkots)
*Okkots = salah ucap/salah Bahasa, yang pengucapannya tidak sesuai ejaan Bahasa Indonesia, karena menambahkan,mengurangi, atau  mengubah konsonan di ujung sebuah kata, akibat kebiasaan dialek orang makassar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI