Mohon tunggu...
Mahbubah mahmud
Mahbubah mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Petualang literasi

Seseorang yang ingin terus belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah

23 Oktober 2020   14:09 Diperbarui: 23 Oktober 2020   14:22 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat mobil memasuki halaman rumah, kulihat sebuah sepeda motor kebun, ada tamu. Setelah memarkir, aku bergegas melewati paviliun dan teras.

 Saat membuka pintu ruang tamu, tampak ayah dan Ardi sedang duduk berhadap-hadapan sambil berbincang. Di meja ada beberapa kertas menyerupai berkas. Mereka berdua menampakkan raut terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Ardi segera membereskan kertas-kertas yang berserakan di meja, lalu pamit pada ayah. Secepat angin aku menghambur ke pelukan ayah, menumpahkan segala sesak yang menghunjam di dada. Seolah mengerti apa yang kurasa, dibalasnya pelukanku dengan belaian lembut di punggung dan rambut. 

Puas melepas rindu, ayah menatap wajahku dan meminta duduk di sampingnya. Kurebahkan tubuh di kursi dengan berbantal pangkuan ayah. Ia membelaiku penuh kasih. Gelar LL.M. menuju J.S.D berterbangan entah ke mana. Sekarang aku hanyalah gadis kecilnya. 

"Putri ayah kenapa?" Tanyanya.

 Aku hanya diam sembari mengusap lelehan air mata yang tak kunjung henti. Mengerti kegelisahan hati putri semata wayangnya, ayah tak lagi bertanya. Ia bercerita tentang masa lalu, sewaktu aku masih kecil. 

Hal-hal menyenangkan yang pernah kita lalui besama-sejak ibu mengembuskan nafas terakhir saat aku berusia empat tahun karena penyakit liver dan tumor yang menggerogoti tubuhnya. Semua bagai kaleidioskop, yang diputar indah hingga senja menyelam dalam cakrawala. 

*** 

Dokter keluarga hampir setiap hari datang ke rumah untuk mengecek kesehatan ayah. Seminggu di kota kecil penuh kenangan ini membuatku mengetahui bahwa sebenarnya kondisinya tidak baik-baik saja. Ada masalah di jatungnya, tetapi ayah tak ingin aku terbebani dan banyak pikiran, ia menyimpan rapi dariku. Perihal ini, Ardi lebih banyak tahu dari pada aku. 

Tak ingin saling menyalahkan, aku memilih berdamai dengan keadaan. Kami bahu-membahu dalam merawat ayah dan perkebunan dibantu para asisten dan orang-orang kepercayaan. 

Tepat di hari ke delapan, kondisi ayah semakin memburuk. Kami membawanya ke rumah sakit Saiful Anwar, Malang, untuk mendapatkan perawatan lebih baik. Dalam perjalanan, ayah menggenggam erat tanganku yang tak ingin sedikit pun beranjak dari sisinya. Dengan mata setengah terpejam kulihat bibirnya bergerak meyebut namaku. Aku mendekatkan telinga. 

"Ayah mencintaimu, tetapi maaf, tak bisa menjagamu lebih lama. Setelah ini kutitipkan putri ayah pada Ardi, aku percaya padanya." Sejenak ayah diam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun