Sekuat tenaga wanita itu membela diri dan bersumpah, suaminya tetap tidak percaya.
Wanita itu beringsut. Berjalan ke sudut ruang dengan kedua lututnya, menggeser tempayan berisi air, menaburkan bubuk herbal, mencelupkan kain, memeras, lalu membasuh luka Sotisena seperti biasanya.
"Aku bersumpah. Jika yang kukatakan adalah kebenaran, dewa akan membuat luka ini sembuh."
Seperti karat yang luruh oleh asam, luka di sekujur tubuh Raja Kasi sembuh seketika. Raja takjub, namun tetap curiga. Harum yang menguar dari tubuh wanita itu membuat dadanya terbakar api cemburu. Ia ingat pada pagi berembun yang damai. Ketika wanita yang dicintainya itu belum tergoda dan ternoda.
***
Satu demi satu selir memasuki pemandian. Memandangi ratu dengan tatapan sinis sambil berkisah tentang petualangan mereka di ranjang raja semalam. Buli-buli berisi air hangat dan sari kembang beserta kelopaknya tidak berhenti dituangkan hanya demi menjaga agar kulit mereka tidak beku dan berkerut karena dingin.
Ketiga dayang pendamping termenung. Sambula tahu, semua sulit berempati padanya. Kisah perzinahannya dengan pemburu atau pengelana hutan memang menarik untuk digunjingkan. Sambula tersenyum kecut. Menepuk kelopak bunga yang berenang ke arahnya, lalu pergi meninggalkan pemandian, sebelum pelayan selesai merapikan jubahnya.
Di sudut taman, isak tangisnya pecah. Beradu dengan gesekan daun jendela istana yang sengaja tidak ditutup hingga malam hari. Napasnya terputus-putus merapalkan kata penyesalan dan baru terhenti ketika ayah mertua yang telah lama menyepi menjadi petapa datang menemuinya.
Meski telah menjauh dari kehidupan duniawi, lelaki tua itu akan datang bahkan jika menatunya meminta bantuan di tengah malam karena tangannya berdarah terkena jarum. Sambula tidak bisa mengingat sejak kapan lelaki itu menjaganya seperti puteri kandung.
"Tiga ratus gajah dan ribuan pemanah melindungimu siang dan malam. Mengapa hatimu lara, puteriku?"
"Ayahanda, manusia yang paling aku rindu ada di hadapanku. Tapi aku tak bisa menyentuhnya. Baginya aku bukan istri yang setia. Tidakkah itu membuat gila? Di pengasingan, ada keindahan saat kami masih diizinkan menatap langit senja, untuk tertawa lepas, membelah sama banyak buah yang kami punya, mendengar derai hujan yang beradu dengan bumi di atas tempat tidur jerami, aku merasakan hangat kulitnya lewat genggaman."