Permisi, terima kasih dan maaf adalah tiga kata wajib dalam sopan santun bangsa kita, terutama suku Jawa, wong Jowo, begitu kata saya pada Reyhan, anakku, setiap kali. Orang kita boleh membuat pesawat atau roket, tapi pelajaran sopan santun itu wajib. Selama ini sih Reyhan nurut. Dia sudah lulus pelajaran dasarnya, memberi salam. Tapi untuk ketiga kata tadi, dia masih terbalik-balik. Saat menolong orang maka Reyhan yang akan mengucapkan terima kasih, minta maaf saat ada teman yang melakukan kesalahan padanya, dst. Begitulah, namanya juga anak berkebutuhan khusus. Apa yang anak lain bisa cepat pelajari, Reyhan perlu waktu lebih lama. Tapi yang anak lain harus belajar keras menguasai, Reyhan bisa melakukan otodidak. Tuhan maha adil, bukan?
Beberapa hari menjelang Lebaran, saya menyempatkan diri main ke Yogya. Libur tanpa mengunjungi Yogya itu bagi saya terasa ada yang kurang. Seperti biasanya, Reyhan selalu mengunjungi toko buku kesukaannya, Periplus di lantai dasar Malioboro Mal. Dan setelahnya dia akan gantian menemani saya ngubek di mal kecil itu.
Di satu outlet busana kecil, saya sedang asyik memilih. Pengunjung tidak terlalu ramai di situ tapi karena tokonya kecil maka ruang gerak terasa terbatas. Beberapa kali saya harus berjalan miring sambil bilang,”Permisi” pada orang yg saya lalui. Reyhan juga mengucapkan hal yg sama. Nah satu kali kudengar dia bilang, “Permisi,” saat ada ibu-ibu tua melewatinya. Haish....keliru lagi dia. Kusenggol Reyhan, “Reyhan, salah lagi...kalau kamu yang lewat baru bilang permisi. Gitu,” kata saya pelan sambil tetap memilih-milih baju di hanger. “Ah nggak usah bilang permisi nggak apa-apa,” tiba-tiba ada suara orang bicara. Saya sontak berhenti, kucari-cari siapa yang ngomong ya.
Di dekat Reyhan ada ibu tua yang tadi melewati Reyhan. Dia sedang asyik memilih baju juga ditemani anak gadisnya. Saya tidak yakin itu dia, karena dia tidak tampak sedang bicara pada saya atau Reyhan. Bisa jadi, dia sedang bicara sama anaknya. Maka saya mengabaikan saja kejadian itu. Sempat nguping juga, si ibu ini bicara dengan nada ketus pada anak gadisnya. Oh mungkin dia bicara ke anaknya. Tapi ketika saya sedang asyik lagi, kembali terdengar suara, “Cuma mau lewat begini nggak usah pakai bilang permisi-permisi segala. Mau lewat, lewat saja, nggak usah permisi.” Kali ini saya langsung noleh dan ternyata benar ibu tua tadi yang bicara. Sempat bingung, dia ngomong sama saya atau Reyhan, tapi kok sambil terus milih baju. Matanya satu kali pun tidak terarah ke saya atau Reyhan. Apa maksudnya ya? Nyindirkah?
Akhirnya kuputuskan untuk mendatangi langsung ibu tua tadi. “Maaf sebelumnya, tapi Ibu bicara sama siapa? Ibu menyindir saya?” Ibu tua itu tampak terperangah, gugup dan gemetar. Mungkin dia tidak menyangka saya akan datang menghampirinya. Kalau melihat reaksinya ternyata benar, dia memang nyindir saya.
Ibu ini sudah tua, ya... Saya juga sudah tua sih, hehehe, tapi sepertinya lebih tua dia, sebangsa 55 tahun lah. Sama-sama orang Jawa pasti, lebih pendek sedikit dariku, tapi karena saya pakai hak tinggi, dia cuma sebahuku. Karena saya sudah bicara langsung, diapun nggak bisa mengelak. “Iya...” jawabnya. “Bu, saya sedang mengajarkan anak saya memakai kata permisi dengan tepat. Dia masih terbalik-balik. Jadi ketika saya bilang, yang lewat harus bilang permisi, itu saya ngomong ke dia. Saya nggak bermaksud ngomongin ibu. Kalau Ibu dengar ya itu karena toko ini kecil. Terserah Ibu mau bilang permisi atau tidak, itu hak Ibu. Tapi dalam tata krama wong Jowo ( saya sengaja memberi nada tekanan pada kalimat ini), kan memang harus bilang permisi. Saya lagi mengajarkan itu ke anak saya,“ jelasku. Ibu itu dengan gugup cuma mengiyakan. Dia buru-buru ke kasir membawa baju, tampak asal comot dan segera berlalu. Diikuti anak gadisnya yang nampak juga berjalan menunduk. Reyhan? Wah dia sih cuek bebek, tetap berdiri sambil asyik memandang kiri kanan.
Ya ampun, saya bingung sendiri. Ternyata untuk bilang permisi pun ada orang yang tidak rela. Sampai harus menyindir-nyindir. Padahal itu kan sopan santun baku. Ini di Yogya lho, bukan di negeri antah berantah. Kami berdua wong Jowo lho.
Dalam bahasa Jawa, permisi itu diucapkan dengan nuwun sewu. Bisa juga digantikan dengan nderek langkung atau numpang lewat. Kalau di desa, malah setiap kali melewati orang, diwajibkan mengucapkan nuwun sewu. Jadi bisa sampai berkali-kali diucapkan sepanjang perjalanan. Lucu tapi memang begitu. Saya pikir ini perilaku umum kok. Keluar dari toko itu saya menggandeng Reyhan erat-erat. Kalau tidak di tempat umum, mungkin saya sudah menciumi dia. Dalam hati saya berkata, “Nak, dengan segala keterbatasanmu bersosialisasi, setidaknya kamu sudah berusaha menjadi anak yang baik dan sopan.” Tuhan kembali menunjukkan pada saya bahwa tidak seharusnya saya mengeluh jika harus mengajari Reyhan berkali-kali.
Kali ini saya harus antre di bank. Antrean cukup panjang. Nyaris semua kursi penuh diduduki pengunjung. Pintu terbuka, masuk seorang ibu berusia kira-kira 50 tahunan. Dia melihat ke sekeliling, berusaha mencari kursi kosong. Tidak ada. Maka dia pun memasang wajah manyun. Seorang pemuda berusia kira-kira 25 tahunan, lumayan ganteng, berpenampilan rapi seperti orang kantoran, tiba-tiba berdiri. Dia menghampiri ibu itu dan mempersilakannya duduk di kursinya.
Dan selebihnya yang kulihat sungguh pemandangan ajaib. Ibu itu langsung berjalan ke kursi itu, tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa melihat ke arah pemuda itu atau sekadar mengangguk pada si pemuda. Dan selama duduk pun dia tidak berusaha berbasa-basi pada pemuda tadi. Mata saya terbelalak dan dalam hati saya ingin protes keras,”Bu...kamu seharusnya bilang terima kasih padanya!” Tapi saya kan tidak kenal mereka. Sampai saya keluar dari bank, kulihat si ganteng tadi masih terus berdiri, dan ibu tadi tetap duduk mematung di kursi 'pemberian'. Astaga... Jadi kalau ada yang bilang, anak sekarang tidak tahu sopan, bagaimana dong dengan kejadian tadi?
Sebenarnya bukan cuma sekali itu saya mendapati orang sulit untuk berucap terima kasih. Jika kita belanja ke toko atau makan di restoran misalnya. Cobalah untuk datang di awal atau akhir jam buka. Pembeli adalah raja itu tidak selalu berlaku lho. Mungkin hanya berlaku untuk para pemilik toko/restoran. Tapi untuk pelayannya? Nggak semua pelayan bisa mengucapkan terima kasih.
Saya pernah ke restoran pizza di daerah Srondol, Semarang. Maunya untuk sarapan, karena berangkat terburu-buru, sehingga perut kosong. Saya dan Reyhan adalah pengunjung awal. Dari raut mukanya, tampak sekali para waitress ini nggak welcome dengan kedatangan kami. Mungkin pikirnya, “Ngapain kalian datang pagi-pagi, bikin ribet aja. Dasar emak dan anak gendut pemalas nggak pernah masak,” Hehehe... Dan begitulah, sejak dari datang, pesan, makan dan pulang, mereka senyum pun tidak apalagi mengucapkan terima kasih. Waktu Reyhan minta buku menu untuk nambah pesanan, waitress pun kelihatan ogah-ogahan. Ya ampun.... untung Lebaran belum lama, jadi pintu maaf masih terbuka untukmu mbak-mbak. Mereka cantik dan manis, tapi kalau perilakunya begitu sih, nilainya langsung minus. Cuma kasirnya saja yang sumringah waktu menerima pembayaran. Nggak lagi-lagi deh datang ke situ. Dalam hati saya malah lebih jahat lagi, mendoakan agar restoran itu bangkrut, hahahaha.
Memang nggak semua begitu, restoran pizza merk yang sama di mal, malah waitress-nya ramah banget. Saking ramahnya sampai Reyhan berucap,”Coba guru les matematiksaya seperti itu ya...” Dan bapaknya pun segera mengiyakan. “Nanti bapak tanya ya dik, mbak itu ngasih les matematika nggak..” Hahaha..dasar bapak anak ini...
Di akhir jam buka pun sama. Jam tutup toko teorinya adalah jam 9 malam, tapi kalau pengunjung datang jam setengah sembilan, pelayan akan melayani dengan bersungut-sungut. Jangankan mengucapkan terima kasih, wajah mereka seolah berkata,” Buruan pulang sana, toko mau kututup.”
Ya kata terima kasih sudah menjadi barang langka di masa sekarang. Tidak berlaku secara umum, tapi memang itulah yang semakin sering terjadi. Mengingat ini, saya jadi terharu setiap kali mendengar Reyhan mengucapkan terima kasih. Menutup telpon bilang terima kasih, melihat dimasakkan makanan kesukaan berucap terima kasih (meskipun rasa masakan ibunya mungkin agak kacau), dibikinkan teh hangat bilang terima kasih, ditraktir apalagi.
“Dik, ibu lupa nggak memasukkan bekal makananmu tadi. Jadi bagaimana tadi di sekolah ? Ada jajanan netral nggak di kantin ?” kata saya dengan nada menyesal saat Reyhan pulang sekolah. Sampai sekarang di kelas 3 SMA, Reyhan memang masih membawa bekal sendiri.
“Nggak apa-apa bu, tadi nggak beli snack, hanya makan siang saja, menu netral. Maaf ya, Bu.”
Saya buru-buru menjawab,”Bukan kamu yang harus minta maaf, tapi ibu.” Nah kan, masih terus terbalik-balik lagi. Tapi setidaknya Reyhan sudah paham jika bersalah harus minta maaf. Memang ada yang bersalah dan tidak minta maaf ? Ooooh...banyaaak. Dan tidak terbatas apakah itu anak muda atau orang dewasa, berpendidikan ataupun tidak.
Beberapa waktu lalu, temanku curhat ngomel nggak keruan. Dia sedang kesal dengan seorang teman kantor, ibu-ibu. Ibu-ibu lagi ? Iya ya...kok dari tadi contohnya ibu-ibu? Hehehe..kebetulan saja kejadiannya pas dengan topik. Temanku, sebut saja Pak A, bersama dengan si Ibu B, sama-sama menjadi koordinator rapat. Semula rapat dijadwalkan Senin jam 11, lalu atas permintaan Ibu B, berubah menjadi Rabu jam 8, kemudian berubah lagi kembali ke Senin tapi jam 2 siang. Karena Ibu B ini lebih senior, dan istri pejabat, maka meskipun kedudukan mereka sama, Pak A menurut.
“Tapi bu B itu memang gondes kok...” sungutnya. Gondes sebetulnya ungkapan kasar ala Semarang. Ditujukan ke orang-orang yang berperilaku seenaknya sendiri. Kenapa, tanya saya. “Tau nggak, Hari Senin jam 2 siang semua peserta rapat sudah datang, dan B ini sama sekali nggak muncul sejak pagi. Bukan cuma itu, pas besok paginya ketemu saya, jangankan minta maaf, nanya soal rapat saja enggak.” Teman saya ini geleng-geleng kepala. Bukan cuma sekali ini sih dia curhat. B sering sekali melakukan kesalahan tapi tidak pernah minta maaf. Sebaliknya jika ada yang bersalah padanya dan sudah meminta maaf, B ini bukan cuma mengomeli terus menerus tapi biasanya juga berakhir dengan “jothakan” atau mendiamkan alias bermusuhan. “Coba dia bukan istri pejabat di sini...” keluh teman saya. Saya cuma bisa senyum ikut prihatin.
Sebenarnya bukan cuma monopoli golongan “nepotis atas” saja yang sulit untuk minta maaf. Tong sampah saya pernah diobrak-abrik oleh pemulung dan ditinggal pergi dalam kondisi berceceran. Saya sedang menyapu teras di dekatnya lho. Dia melihat saya dan pergi begitu saja, boro-boro bilang terima kasih, minta maaf saja tidak. Apa mungkin dia pikir saya pembantu ya...hehehe...memang waktu itu muka kucel sih belum mandi.
Bagaimana dengan orang desa dan kota, apakah itu juga berpengaruh? Dari pengalaman saya kok enggak ya. Salah satu yang sulit sekali diajarkan kepada para pembantu baru yang rata-rata berasal dari desa adalah untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan. Jadi sebetulnya tidak terbatas apakah dari desa atau kota, berpendidikan tinggi atau tidak, suku apapun, agama apapun.
Kesopanan itu universal
Saya yakin banyak sekali kisah sejenis yang saya tulis di atas dialami oleh para pembaca. Dan anda semua sempat merasa kesal, kheki hingga darah naik ke ubun-ubun. Perilaku dasar dalam kesopanan memang sedang menurun, secara umum. Entah apa sebabnya. Seharusnya ini menjadi keprihatinan bersama. Karena kesopanan sebenarnya bukan cuma tata lahiriah, tapi lebih dari itu. Kesopanan merefleksikan moral juga.
Yah semua bisa didebat sih. Lho, sopan belum tentu bermoral lho. Benar. Tapi orang bermoral pasti sopan kan. Hehehe. Tapi saya tidak hendak bicara soal itu kok. Yang ingin saya sampaikan adalah, seharusnya semakin bangsa itu maju maka hal-hal seperti etika harus diperhatikan, karena itu pondasi dasar budaya. Itu adalah dasar orang memahami etika berdagang, etika politik, etika berbahasa, etika berbusana dll.
Semakin orang mengaku sebagai manusia normal, maka tentu orang harus menjaga kesopanan. Semakin modern maka tentu semakin sopan. Dalam budaya Barat etika juga tetap ada. Dalam bahasa Inggris, toh juga ada “Excuse me”, “ May I....”, “I beg your pardon”, “Please...”, "Would you...”, “If you don’t mind....” dll.
Kalau sering melihat drama Korea, anda pasti sering melihat betapa kata-kata, “Gomawo, Kamsahabnida“ yang artinya terima kasih, sering sekali terucap. Demikian juga “mianhe” atau maaf.
Jadi sebetulnya menjadi sopan itu universal. Memang setiap bangsa atau suku punya tolok ukur sendiri. Tapi dasar-dasarnya toh sama.
Harapan saya, manusia Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam teknologi, ekonomi, militer dan lain-lain, tanpa melupakan etika dasar. Merujuk gambar quotes di atas, permisi, terima kasih dan maaf, selalu menjadi kata ajaib.
NB :
Pada saat menulis ini saya merasa bersyukur, betapa Tuhan sudah mempercayakan saya seorang anak istimewa yang membukakan mata saya. Betapa keterbatasan itu sering malah memberikan pelajaran berharga. Maaf sudah menuliskan kisah-kisahmu tanpa permisi, Nak, karena Ibu merasa harus berterima kasih atas usahamu memahami dunia kami yang ternyata kadang-kadang tidak lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H