“Tapi bu B itu memang gondes kok...” sungutnya. Gondes sebetulnya ungkapan kasar ala Semarang. Ditujukan ke orang-orang yang berperilaku seenaknya sendiri. Kenapa, tanya saya. “Tau nggak, Hari Senin jam 2 siang semua peserta rapat sudah datang, dan B ini sama sekali nggak muncul sejak pagi. Bukan cuma itu, pas besok paginya ketemu saya, jangankan minta maaf, nanya soal rapat saja enggak.” Teman saya ini geleng-geleng kepala. Bukan cuma sekali ini sih dia curhat. B sering sekali melakukan kesalahan tapi tidak pernah minta maaf. Sebaliknya jika ada yang bersalah padanya dan sudah meminta maaf, B ini bukan cuma mengomeli terus menerus tapi biasanya juga berakhir dengan “jothakan” atau mendiamkan alias bermusuhan. “Coba dia bukan istri pejabat di sini...” keluh teman saya. Saya cuma bisa senyum ikut prihatin.
Sebenarnya bukan cuma monopoli golongan “nepotis atas” saja yang sulit untuk minta maaf. Tong sampah saya pernah diobrak-abrik oleh pemulung dan ditinggal pergi dalam kondisi berceceran. Saya sedang menyapu teras di dekatnya lho. Dia melihat saya dan pergi begitu saja, boro-boro bilang terima kasih, minta maaf saja tidak. Apa mungkin dia pikir saya pembantu ya...hehehe...memang waktu itu muka kucel sih belum mandi.
Bagaimana dengan orang desa dan kota, apakah itu juga berpengaruh? Dari pengalaman saya kok enggak ya. Salah satu yang sulit sekali diajarkan kepada para pembantu baru yang rata-rata berasal dari desa adalah untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan. Jadi sebetulnya tidak terbatas apakah dari desa atau kota, berpendidikan tinggi atau tidak, suku apapun, agama apapun.
Kesopanan itu universal
Saya yakin banyak sekali kisah sejenis yang saya tulis di atas dialami oleh para pembaca. Dan anda semua sempat merasa kesal, kheki hingga darah naik ke ubun-ubun. Perilaku dasar dalam kesopanan memang sedang menurun, secara umum. Entah apa sebabnya. Seharusnya ini menjadi keprihatinan bersama. Karena kesopanan sebenarnya bukan cuma tata lahiriah, tapi lebih dari itu. Kesopanan merefleksikan moral juga.
Yah semua bisa didebat sih. Lho, sopan belum tentu bermoral lho. Benar. Tapi orang bermoral pasti sopan kan. Hehehe. Tapi saya tidak hendak bicara soal itu kok. Yang ingin saya sampaikan adalah, seharusnya semakin bangsa itu maju maka hal-hal seperti etika harus diperhatikan, karena itu pondasi dasar budaya. Itu adalah dasar orang memahami etika berdagang, etika politik, etika berbahasa, etika berbusana dll.
Semakin orang mengaku sebagai manusia normal, maka tentu orang harus menjaga kesopanan. Semakin modern maka tentu semakin sopan. Dalam budaya Barat etika juga tetap ada. Dalam bahasa Inggris, toh juga ada “Excuse me”, “ May I....”, “I beg your pardon”, “Please...”, "Would you...”, “If you don’t mind....” dll.
Kalau sering melihat drama Korea, anda pasti sering melihat betapa kata-kata, “Gomawo, Kamsahabnida“ yang artinya terima kasih, sering sekali terucap. Demikian juga “mianhe” atau maaf.
Jadi sebetulnya menjadi sopan itu universal. Memang setiap bangsa atau suku punya tolok ukur sendiri. Tapi dasar-dasarnya toh sama.
Harapan saya, manusia Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam teknologi, ekonomi, militer dan lain-lain, tanpa melupakan etika dasar. Merujuk gambar quotes di atas, permisi, terima kasih dan maaf, selalu menjadi kata ajaib.
NB :