" Iya, mbak." Jawab Cibuk ringkas. Memperhatikan mbok Lik pun tidak. Langsung membenam di kursi. Matanya hanya tertuju pada bungkusan yang dibawanya tadi. Tangannya sudah sibuk membuka buhul  bungkusan tersebut. Rasa kepo mbok Lik jadi terpancing.
     "Apaan sih tu?"
     "Mau tau, apa mau tau bangeeet....?" goda Cibuk, "Barang impor. Seken tapi. Dapat dari tetangga sebelah..." Katanya. Makin bikin penasaran mbok Lik.
     "Ndak dijual di sini dong..." Sahut mbok Lik.
     "Iya, dong. Sih."Â
     Jidad mbok Lik melepuh memahami makna ucapan Cibuk yang rada-rada ngowoh. Bikin bingung dan pegal  pikiran.
     "Aku yang hanya sebentar di sini, sudah berasa kontraksi. Bagaimana dengan si Dangdut, Jesy, Rolly, Roky, dan suaminya Oktaf." Pikir mbok Lik, "Jangan dipikir Lik. Ruwet. Biar mereka saja!" bisik batinnya.
     "Guna dan fungsinya?" tanya mbok Lik.
     "Nah, itu dia yang saya tunggu. Pertanyaan yang terpelajar." sambil senyum binti sumringah Cibuk hendak menjelaskan. Tau-tau Dangdut sudah tegak di samping Cibuk. Terkejut, dong. Melihat tampang Dangdut yang merengut masam menatap, "Kenapa sayang? Kok, wajahnya kayak opsir kompeni?!"
     "Cibuk!" kata pertama terlontar dari mulut Dangdut.
     "Iya." jawab Cibuk pelit. Mbok Lik Cuma diam. Memperhatikan kedua anak beranak itu berbincang minimalis. Mbok Lik duduk di sisi lain meja makan. Rasa penasaran mbok Lik masih membara. Sebara api kapal uap. Membubul ke langit. Tapi ditahannya biar tidak tampak kepo. Jaim mbok Lik, jaim!