Dulu saat saya tinggal di Bandung, Ibu tak pernah punya cukup uang untuk membeli buku buat kami, anak-anaknya. Kalau pun ada yang membayar uang jahitan plus bonus karena puas dengan hasilnya, uangnya itu hanya untuk membeli telur --makanan mewah di masa itu-- yang setingkat lebih tinggi dari tempe dan tahu.
Bukan! saya bukan mau mengenang masa kecil yang tak punya apa-apa.. tapi saya ingin bercerita bagaimana buku dan ibuku jadi bagian penting dalam hidup saya.
Ibuku yang single parent dengan lima anak, pernah bercerita. Ketika Ayah pergi, dia hanya bisa menjahit dan memasak. Jadi dengan dua keahlian itu pula dia menyekolahkan kami. Pernah dia melamar pekerjaan di kantor sekitar jalan Braga, tapi tak pernah diterima, karena --menurutnya dulu--, dia tak punya keahlian sebagai orang kantoran...
Jadi dengan memasak dan menjahitlah, beliau membiayai hidup kami.
Fajar belum lagi menyingsing, namun tangannya yang putih sudah lincah membuat adonan bakpau. Kelihatannya menguleni adonan itu gampang dan menyenangkan, meski sesekali disekanya keringat di dahi. Tapi bertahun-tahun dia melakukan itu, saya tak pernah sekalipun mencobanya.
Biasanya selesai menguleni adonan, Ibu kemudian menutupnya dengan kain basah agar 'Gis'nya bekerja sempurna. Lalu sebelum Adzan berkumandang, dia sudah selesai mendidihkan agar-agar dan menuangkannya dengan hati-hati di cetakan kecil-kecil berbentuk kotak bergerigi yang terbuat dari plastik. Selepas beliau sholat subuh, barulah adonan bakpau yang sudah mengembang tadi diisinya dengan daging cincang yang telah ditumisnya bersama daun bawang dan kecap manis. Beres dengan Bakpau yang lalu dikukusnya, giliran ibuku menggoreng pisang dan pastel.
Setelah pekerjaan hampir rampung, barulah dia membangunkan kami untuk siap-siap ke sekolah. Biasanya Kakak yang laki-laki yang mengantarkan jajanan tadi ke warung-warung untuk dititip jual, sebelum berangkat ke sekolah.
Seringkali saya terbangun di saat ibu baru mulai bekerja, tapi dia tak pernah mengijinkan saya untuk membantunya.. meskipun ritual itu begitu hapal di otak saya.
Biasanya dia minta saya untuk membaca buku, sambil menemaninya bekerja di meja makan. Dapur kami di rumah paviliun jalan Telepon no 10 itu terlalu kecil untuk bekerja. Jadi di meja makan yang fungsinya juga untuk kami belajar, dan untuk ibu membuat pola baju, itulah semua kegiatan membuat kue-kue itu dilakukan.
Sambil tangannya yang lincah memasukkan kue-kue ke dalam plastik, dia selalu memberi nasehat --yang jika saja kami punya tape recorder--, tinggal tekan tombol rewinder, karena kata-katanya hampir selalu sama. Kata beliau: "Sekolahlah yang pinter Ka.. baca buku yang banyak supaya nanti kamu bisa kerja di kantoran. Biar pun Perempuan, kamu nggak boleh menggantungkan hidup pada orang lain.. "
Begitulah, meskipun waktu itu nggak ngerti terminologi "pinter supaya jadi orang kantoran", tapi kalau soal juara kelas, ibuku kayaknya tak pernah ragu. Sampai Lulus dari SD Merdeka V, saya selalu jadi juara.. *ehemm...!* Entah hal apa yang membuat saya bisa berprestasi. Rasa kasihan karena membayangkan keringat di dahinya saat menguleni adonan bakpau kah, atau karena terbiasa membaca buku pelajaran --karena tak punya buku lain untuk dibaca--, saat subuh menemaninya bekerja .
Untuk permintaannya "baca buku yang banyak!", saya memang tak punya buku lain -- meski pun ingin-- selain buku pelajaran. Tapi ibuku sering mengajak saya ke toko buku Sumur Bandung di Jl. Asia-Afrika. Kegiatan ini sangat-sangat menyenangkan, seperti piknik rasanya. Berjalan kaki melalui jalan Kejaksaan lalu menyusuri jalan Braga dimana sesekali kami membeli roti maxim, melewati toko Sarinah yang di etalase kaca depannya selalu ada patung manekin berbaju bagus, hingga sampai ke Toko Buku Sumur Bandung. Sebuah toko buku besar di Bandung yang justru jarang kami masuki, karena saya tahu uang ibu nggak pernah cukup untuk membeli buku, bahkan yang bekas sekali pun.
Betul, di emperan toko buku Sumur Bandung yang biasanya digelar jualan buku-buku bekas itulah biasanya saya dibiarkan jongkok ber-jam2 untuk membaca buku-buku atau majalah-majalah. Yang masih teringat adalah majalah-majalah bekas si Kuncung dan komik Mahabarata.. Dulu belum ada metode Read a Loud (pendampingan Ibu-anak dalam membaca buku dongeng), bahkan saya jongkok di gelaran buku-buku bekas itu pun ibuku tak pernah mendampingi. Biasanya dia sengaja meninggalkan untuk pergi ke pasar Kota Kembang di jalan Dalem Kaum untuk belanja kancing, vooring atau kain pesanan orang, dengan menitipkan saya sebelumnya pada Si Akang penjual buku..
Ya, meski Dunia Tumbuh Kembang Anak waktu itu belum mengenal Reading A Loud, namun I love reading a lot dan cukup mengerti strategi Ibu, karena dia selalu bertanya di rumah sebelum berangkat. "Sudah sampai Peperangan Baratayudha belum?", atau.. "Tinggal berapa jilid lagi?" Haha... sampai akhirnya buku sekitar 22 jilid itu tamat dalam beberapa kali kunjungan ke emperan Sumur Bandung!
Sepenggal kenangan masa kecil itu kadang menjadi spirit buat saya saat ini dalam membeli bacaan apa saja, baik untuk Rafa, anak saya, maupun anak-anak lain di sekitar saya..
**tulisan ini pernah saya posting di fb thn lalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H