Usai shalat subuh berjama'ah bersama anak-istri, aku tak sabar meraih buku mungil berwarna merah hati yang sedari malam menggodaku.
Mungil karena buku ini hanya berukuran 13x18,5 cm dan hanya berjumlah 165 halaman.
Buku ini berjudul "Relung Cahaya" karya Ibn Arabi, sufi sekaligus filosof asal Andalusia, Spanyol.
Relung Cahaya ini terjemahan dari Misykat al-Anwar dalam versi arabnya. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis "La Niche Des Lumieres". Dan akhirnya menjadi Relung Cahaya dalam versi Indonesianya.
Misykat al-Anwar ini berisi 101 hadis qudsi tentang ketuhanan.
***
Cahaya di luar rumah mulai merayapi pepohonan. Daun-daun mulai terlihat hijau. Ia membisu dan membeku. Tiada lambaian dan sapaan. Aku memaklumi memang dia begitu adanya. Ia akan menari atau bergoyang ketika ada sang angin bertandang.
Suara burung sudah mulai ramai terdengar dari kejauhan. Burung-burung di depan rumah belum terdengar. Baru terlihat berlari-larim kecil di ranting pohon. Aku keluar sesaat dan menghirup udara pagi yang segar dan menghembuskannya dengan perlahan huuuuuuuu....
Aku kembali duduk meraih Relung Cahaya dan menyapanya perlahan: lembar per lembar. Setiap membaca hadis-hadis ini ada getaran yang menyelinap di kalbu ini.
Aku tertahan di halaman 72 hadis 39. Aku pun membacanya berulang-ulang hadis singkat itu. Ia berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan.
Hadis itu berbunyi begini:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi s.a.w. Beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah berfirman: 'Hai anak Adam. Luangkan waktumu untuk beribadah kepada-Ku -- Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku bendung kemiskinanmu. Bila tidak engkau perbuat, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan sementara tidak Kubendung kemiskinanmu.'" (HR. At-Tirmidzi)
Aku mencoba merenungkan hadis itu.
"Aku penuhi dadamu dengan kekayaan"?
Kekayaan dalam pikiranku masih soal materi, soal uang, soal beras besok masih ada atau tidak, soal rumah, soal mobil dan soal-soal lain tentang kebutuhan perut dan nafsuku. Duuuuh... aku merasa malu pada-Mu ya Raab.
Engkau katakan "Aku penuhi dadamu dengan kekayaan". Bukan "Aku penuhi rumahmu dengan uang dan lempengan emas."
Kekayaan seperti apa yang bisa ditampung di dadaku yang tak sebidang dada Ade Rai ini?
Aku pun terus merenung dan terus merenung.
Sementara cahaya pagi mulai menerobos pintu dan jendela rumahku yang kubuka lebar-lebar. Burung-burung semakin ramai bernyanyi dan bermain kejar-kejaran di kebun Pak Haji depan rumah kami.
Di pikiranku pun ada sedikit cahaya yang masuk. "Dada ini kecil memang, tapi di dada ini ada hati yang bisa seluas dunia dan akhirat." Pekikku dalam hati.
"Yessss....Allah memenuhi dada yang di dalamnya bersemayam hati yang senantiasa bersyukur dan berbagi." Teriakku.
Aku pun teringat kata-kata James Allen dalam buku klasik nan fenomenal "As A Man Thinketh".
Ia bilang.
"Diberikan hanya kepada hati yang berlimpah dengan integritas, kepercayaan, kemurahan hati dan cinta untuk mewujudkan kemakmuran sejati."
Cahaya mentari di rumah semakin terang. Seakan ia turut masuk ke kalbuku. Aku pun bangkit dan seakan hatiku dipenuhi cahaya kebahagiaan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H