Lain hari, Sowan sedang mengipas-ngipas api yang membakar kayu kering yang ada di depannya. Pardi, teman sekolahnya dulu waktu di SD menghampirinya.
"asyik....lagi mbakar apa wan?"
"manuk eh tikus." Kata Sowan grogi.
"Tikus?"
"Iya, enak lho seperti daging ayam." Kata Sowan.
"Masa sih?"
"Cobain aja!" kata Sowan ke Pardi.Â
Beberapa paha tikus yang dibakar itu terlihat mengeluarkan minyak.
"emm...emang boleh ya?"
"Gak tahu tuh." Seenaknya Sowan menjawab sambil mulutnya mengunyah daging tikus yang sudah matang.
"Mau coba gak?"
Pardi terlihat bimbang. Satu sisi ia ingin mencoba daging tikus seperti apa rasanya. Sisi lain iya merasa jijik memakan daging tikus.
"ini masih ada. Mumpung masih anget." Desak Sowan melihat Pardi bengong.
"Gak ah....kata Pardi." Ia ingat kata-kata guru ngajinya bahwa tikus termasuk binatang yang tidak boleh dimakan, haram.
"Cobain aja Di, dikit aja. Enak lho." Sowan membujuknya. Sambil ia ambil lagi satu paha yang sudah terlihat kering dan disuapkannya ke mulutnya seperti sedang makan paha ayam kampung. Â
Melihat itu, Pardi sudah tidak tahan lagi. Dia lari ke jamban dekat tempat itu sambil terhuyung-huyung dan muntah sejadi-jadinya.Â
Bagi Sowan, melihat tikus dicincang sudah hal biasa. Karena semua peternak bebek, waktu itu, biasa mencincang  tikus itu dan memberikannya sebagai pakan bebek. Bukan sesuatu yang aneh. Dan masyarakat sekitar tidak mempersoalkan telor yang keluar dari bebek itu. Meski bebek itu makanannya tikus. Toh telornya tetap rasanya rasa telor bebek. Ada juga sih orang yang tidak mau makan telor bebek setelah ia tahu bebek-bebek itu diberi makan tikus. Â
***Â
Ia melihat tikus yang sangat besar. Berbulu hitam pekat. Kumisnya panjang. Berpakaian ala kerajaan. Kepalanya bertahtakan emas layaknya seorang raja. Ia terlihat gagah dan berwibawa. Â
Â
"Hai pemuda! Mengapa kamu menangkapi dan membunuh rakyatku?" Tanyanya dengan sopan.
"Ma'af raja. Aku hanya mencari nafkah untuk bertahan hidup."
"Aku akui wahai pemuda, rakyatku memang suka memakan tanaman padi kalian, para petani. Tapi kalau tidak makan padi, makan apa lagi kami?" Kata si raja tikus.
"Tidakkah kalian sisakan barang sedikit makanan untuk rakyat kami."
"Tuan raja, hamba hanyalah seorang buruh tani yang tidak punya apa-apa. Jangankan hektaran sawah, sepetak dua petak sawah pun hamba tidak punya tuan."
Sowan melanjutkan kata-katanya sambil berlinang air mata. Ia menghoramti raja tikus itu. Â
"Jangankan memberi rakyat tuan makanan, kami sendiri kelaparan tuan. Kalau kami berkecukupan mana sudi hamba memakan rakyat tuan." Sowan semakin tersungkur di depan raja tikus.
Melihat Sowan yang tersungkur dan menangis, si raja Tikus terharu dan iba.
"Sudah anak muda, bangunlah." Katanya.
"Saya senang dengan kejujuran dan keuletanmu anak muda." Sang raja tikus mendekati Sowan yang sudah mulai duduk.
"Saya mempunyai anak gadis yang cantik. Saya ingin kau, anak muda, menjadi menantuku, suami dari anakku." Kata sang raja tikus.
Mendengar kata-kata itu, Sowan kaget lalu berkata.
"Hamba sangat tersanjung atas permintaan tuan raja." Sambil tangannya ke depan seperti orang menyembah. "Tapi hamba hanyalah buruh tani miskin dan sebagai manusia tentunya tidak mungkin menikah dengan bangsa tikus." Kata Sowan.
"Tidak ada yang tidak mungkin anak muda di dunia ini." Kata Raja Tikus menyela. "Jika sungguh-sungguh kau ingin mengubah nasib, ikutlah bersama kami." Raja itu sudah mulai memegang tangan Sowan dan akan menariknya. Tapi Sowan tidak mau. "Tidaaaaaak, saya tidak mau."Â
Bersamaan dengan teriakan Sowan ia tersadar, astaghfirullah dia mengucap istighfar. Tangannya diusapkannya ke mukanya. Ia merenungkan kembali apa yang telah terjadi dalam mimpinya itu.Â
Sejak saat itu, Sowan tidak mau lagi memburu tikus apalagi memakannya. Akibatnya, para peternak bebek pun kesulitan mendapatkan tikus untuk pakan bebek-bebeknya. Lambat laun para peternak bebek mengganti pakan bebeknya dengan dedak terkadang dicampur dengan keong sebagai tambahannya. Masyarakat pun tidak ragu lagi makan telur bebek: digoreng, dibikin telur asin, untuk membuat kue dan sebagainya.Â
Sowan hidup tenang sebagai buruh tani. Kalau sedang musim kemarau, ia ikut temannya menjadi kuli bangunan ke Jakarta. Â Â Â Â Â Â Â Â Â