Agustus 1980
Sebuah Kampung di Utara Jawa Barat. Kemarau panjang melanda. Sawah-sawah kering kerontang. Tanahnya merekah seperti terkena gempa. Anak-anak menjadikan sawah tempat lapangan bola. Kali-kali kering, tak ada air yang mengalir. Sumur-sumur hanya menyisakan sedikit di pagi hari. Waktu siang datang sudah tak keluar lagi.
Petani penggarap memanfaatkan sawah untuk menanam harapan. Timun suri, timun sayur ditanamnya sepetak dua petak. Hasilnya tak seberapa. Hanya untuk menghibur diri. Kalau pun ada yang beli hanya seribu dua ribu hanya cukup untuk mengganti beli pupuk. Ketika air semakin sulit, dibiarkannya tanaman timun suri itu kering, mati.
Untuk mengisi jeda waktu ke musim tanam berikutnya yang masih cukup lama, sebagian petani yang mempunyai modal memelihara bebek. Ada juga yang memelihara ikan di kolam-kolam sawah. Tapi musim kemarau tahun ini sangat panjang yang membuat air habis. Jadi, petani tidak ada yang memelihara ikan. Pilihan yang diambil adalah memelihara bebek petelor yang dikandangkan di sekitar rumahnya. Salah satu pakan yang diberikan ke bebek itu adalah tikus-tikus yang diburu hidup-hidup dari pematang sawah. Tikus-tikus itu ditagkap hidup-hidup disimpan dikandang agar bisa digunakan di lain hari. Para peternak bebek mencari tikus-tikus sendiri di sawah. Ada juga yang membeli dari orang-orang yang sengaja memburu tikus untuk dijual ke para peternak bebek.
***
Sowan usianya masih sekitar 20 tahun. Warna kulitnya seperti gagang pacul yang biasa ia pakai di sawah. Rambutnya keriting. Badannya tegak. Kulit telapak tangannya keras kapalan karena sering memegang pacul, mencangkul sawah. Ia hanya lulusan SD. Tak pernah sekolah madrasah atau mengaji. Masa remajanya habis untuk membantu mencari nafkah orang tuanya. Â Ia anak kelima dari enam bersaudara. Empat kakaknya laki-laki semua. Adik satu-satunya adalah seorang perempuan. Â Emaknya dan kakak-kakaknya adalah kuli tani. Bapaknya seorang pedagang ayam dan unggas. Ia biasa keliling kampung dengan sepeda tuanya menjual dan membeli ayam atau entog dari warga kampung. Â
Di masa peceklik seperti ini, apa saja dilakukan oleh orang kampung miskin seperti Keluarga Sowan. Seperti mencari tikus-tikus di pematang sawah untuk dijual ke para peternak bebek.
Ketika sore menjelang, Sowan berangkat ke sawah kering dengan memanggul pacul dan menyelendang wadah tikus yang terbuat dari bambu lengkap dengan perangkapnya. Setiap sore ia menyusur pematang dan mengendus sarang-sarang tikus. Ketika ditaksirnya ada tikus di dalamnya, ia akan memacul dan menangkap tikus yang ada di dalamnya. Terkadang ia berlarian mengejar seekor tikus di sawah: jatuh dan berguling menangkap tikus yang terpojok di lubang buntu.  Terkadang  kakinya terperosok di sela-sela tanah yang merekah, lecet dan berdarah. Tapi itu tidak membuatnya menyerah. Dibebadnya kaki yang luka dengan kain bekas. Terkadang jari tangannya digigit tikus ketika ia menangkap tikus dari perangkap. Meski ia pegang tikus itu dari ekornya, seringkali tikus itu berbalik seketika dan menggitnya. Kalau sudah begitu ia hanya meringis menahan sakit dan membanting tikus itu sekuat tenaga. "Sialan!" hardiknya.  Di dalam lubang, sering juga Sowan menemukan anak-anak tikus yang masih merah-merah di sarangnya yang terbuat dari jerami. Kalau lagi apes, kadang bukannya tikus yang ia dapat tapi seekor ular yang sembunyi di lubang tikus. Kalau sudah begitu ia hanya menghardik "bangsat! Ula gede banget.[1]"  Sambil loncat ke belakang beberapa langkah. Sebagai buruh tani, Sowan dan kakak-kakaknya sebenarnya selalu ada kerjaan kalau musim tanam padi tiba. Ketika hujan mulai turun dan sawah sudah tergenang air, pemilik sawah biasa memintanya untuk memacul sawahnya: menggemburkan sawah, nembok[2] pematang dan menyiapkan tanah untuk menyebar bibit padi. Setelah bibit padi besar dan siap ditanam, Sowan mengerjakan tandur[3], menanam padi. Setelah padi besar, Sowan diminta ngerambet, membersihkan rumput-rumput dan seterusnya. Ada saja pekerjaan. Sampai padi menguning dan siap dipanen. Sowan pun kebagian kerjaan mengarit, memanen padi.     Â
 "Olih pira Wan sore kiye tikuse.[4]"
"Ya lumayan mang."
"ya wis mene. Kiye duite.[5]" Kata mang Edy sambil menyerahkan uang ke Sowan.Â