Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meninggalnya Seorang Debt Collector

28 September 2018   15:21 Diperbarui: 28 September 2018   15:51 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tubuhnya kekar. Tulang-tulangnya besar. Otot-ototnya menyembul seperti cacing tanah. Rambutnya dipotong cepak seperti tentara. Alisnya tumbuh lebat melintang di atas kelopak matanya seperti ilalang tumbuh di pinggir pematang. Sorot matanya tajam menghujam. Suaranya menggelegar bagai petir menyambar.

Ia tinggal dekat rumahku. Anak-anaknya masih kecil. Si sulung, Bery, baru kelas satu SMA. Anak keduanya, Ibra, kelas satu SMP.  Si bontot, Ema, perempuan satu-satunya, baru menjejak SD. Istrinya, Ita, sebagai Ibu Rumah Tangga mengurus anak-anak dan suami. Kalau ada pesanan pakaian dari Ambon, ia dengan sigap belanja ke Tanah Abang dan mengirimkannya. Kehidupan keluarga  mereka terlihat baik-baik saja. Tak terlihat ada konflik.

Teman-temannya yang berasal dari daerah yang sama, Ambon, sering berkumpul di rumah kontrakannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Mereka menggunakan bahasa yang saya tidak mengerti. Yang saya dengar biasanya suaranya keras seperti orang berantem. Tapi mereka kemudian tertawa terbahak-bahak. Mereka kerjaannya apa ya? Bisikku dalam hati pada awal-awal aku baru pindah ke rumah dekat kontrakannya. Para tetangga sebelah rumah kecuas kecuis. Debt Collector!  "Itu lho orang yang suka menagih hutang." Kata Mpok Inah, tetangga yang paling suka ngegosip, suatu ketika.

***

Dalam perjalanan waktu, saya cukup dekat dengan keluarga ini. Terutama dengan anak bontotnya, Ema, waktu ia masih kecil. Sebelum masuk sekolah SD, ia sering bermain ke rumahku berlama-lama. Belajar menulis, membaca atau sekedar bermain-main.

Pada waktu ulang tahun Ema yang ke-5, aku buatkan VDC tentang kumpulan foto-foto Ema yang banyak di handphonku. Ku buat video sebagus mungkin sebagai kado ulang tahunnya. Selama ini saya tidak pernah memberinya kado ketika ia ulang tahun. Itulah satu-satunya kado yang kuberikan kepada Ema. Sepertinya Ema dan Bapaknya senang dengan video itu. Ia mengucapkan terima kasih dan memberiku sebuah senyuman manis.       

Ketika bulan puasa datang, kami biasanya mengadakan buka puasa bersama. Setiap keluarga dibagi tugas akan masak apa. Biasanya keluarga Pak Omy, demikian kami memanggilnya, membuat es pisang ijo. Es buatan mereka sangat kami sukai, uenak sekali. Begitulah kami menjalin kekeluargaan di lingkungan kami selama bertahun-tahun.

Kalau malam tahun baru tiba, biasanya kami menghabiskan malam dengan makan-makan, bercengkrama dan berkarouke ria. Pak Omy seringkali tampil menyanyikan selagu dua lagu. Suaranya merdu. Istrinya juga tidak mau ketinggalan. Ia mempunyai suara yang khas. Mengingatkan kami ke suara artis tahun 80-an, Betharia Sonata. Apalagi kalau sedang menyanyi lagu Pulangkan Saja Aku Pada Ibuku. Kami pun larut dalam kebersamaan dan kebahagiaan.  

Suatu ketika Pak Omy bercerita. Ia berlari dari jalan raya ke rumahnya dengan emosi yang menggebu. Ia sedang bertengkar dengan seseorang. Ia masuk ke rumah mengambil samurai yang tersimpan di balik lemarinya. Ia ambil dan dipanggul di pundaknya samurai yang panjangnya sekitar satu meter itu. Ia lalu lari lagi ke jalan raya untuk menemui orang yang telah memancing emosinya itu. Sesampai di jalan raya, ia hanya menemukan mobil dan motor yang lalu lalang. Orang yang  akan diajak berduelnya telah raib entah kemana. Ia pun kembali dengan terengah-engah.

Ketika matahari pagi menyapa, ia berlari-lari kecil di halaman sebelah rumah. "Olah raga Pak?" Sapaku suatu pagi. "Ia om. Melemaskan otot." Jawabnya dengan senyum. Ia memanggilku om. Seperti anak perempuannya dan kedua anak laki-lakinya memanggilku. "Kakiku terasa sakit dan kaku-kaku. Seperti asam urat." Jelasnya sambil terus lari-lari kecil. Kaos oblongnya sudah mulai basah dengan keringat.

Ketika weekend tiba, keluarga Pak Omy paling senang membakar ikan laut. Ia siapkan tungku yang terbuat dari tanah. Ia membeli ikan segar dari pasar Kramatjati pada jum'at malamnya atau sabtu pagi-pagi. Sorenya di depan rumah kontrakan mereka membolak-balik ikan bakarnya. Asapnya membumbung menyusup ke hidungku.

Pernah Pak Omy bercerita tentang anak keduanya, si Ibra. Katanya, si Ibra itu anaknya tidak tegaan. Waktu di dalam rumahnya ada seekor kucing yang melahirkan anak-anaknya ia tidak tega untuk mengusirnya. 

Waktu itu, saya akan menangkap kucing-kucing itu dan dimasukkan ke dalam karung dan membuangnya jauh-jauh. Tapi apa yang dikatan si Ibra. "Jangan Pak kasihan. Nanti siapa yang akan memberi makan? Ibunya kan lagi sangat butuh makanan biar air susunya banyak." Pak Omy bercerita dengan mata sembab. Terlihat ada keharuan dan kebanggaan pada anaknya itu. Meskipun ia sebagai debt collector yang seringkali menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugasnya tetapi hati anaknya begitu halus dan penuh kasih sayang.

Sejak saat itu, Pak Omy sebagai pemimpin debt collector berubah. Ia mengurangi kekerasan dalam menghadapi orang yang menunggak hutangnya, kartu kreditnya  atau orang yang belum bayar cicilan motornya. Ia lebih mementingkan negosiasi untuk mencapai penyelesaian masalah yang lebih menguntungkan kedua belah pihak.

Ketika bulan agustus tiba. Saya paling senang kalau pas kebetulan satu tim dengan Pak Omy dalam lomba tarik tambang. Karena ia tubuhnya besar, ototnya kuat seperti kawat, tenaganya besar seperti tenaga banteng. Biasanya kami selalu menang kalau lomba tarik tambang. "ini om, lumayan hadiahnya." Katanya menyerahkan uang hadiah tarik tambang, suatu waktu.

***

Pada suatu pagi, saya dikagetkan kabar bahwa Pak Omy meninggal. "Iya, Pak Omy meninggal pagi tadi. Kata mas Bayu. "Iya mas, saya ikut mengangkat ke mobil untuk dibawa ke Rumah Sakit."

Tetangga, warga sekitar pun heboh. Mereka mulai berdatangan ke rumah Pak Omy.  Sementara anak-anaknya sudah berangkat ke sekolah. Teman-temannya yang berasal dari satu daerahnya mulai berdatangan. Ada yang menyiapkan tempat untuk jenazah. Ada yang menjemput anak-anaknya di sekolah. Ada yang membuat bendera kuning untuk memberitahukan ada yang meninggal dan lain sebagainya.

Ketika anak sulungnya di jemput di sekolahnya, ia tidak percaya Bapaknya meninggal. "Saya tidak percaya, Bapak saya meninggal. Tadi pagi Bapak mengantar saya ke sekolah." Katanya dengan mata menyala-nyala tak percaya. 

Orang yang menjemput terus berusaha menyakinkan bahwa benar Bapaknya telah meninggal dunia. "Kalau Bapak saya meninggal dunia, siapa yang membunuhnya?" katanya dengan penuh emosi. Tangisnya muai pecah. Dengan meronta-ronta "siapa yang berani membunuh Bapak saya, siapa?" tantangnya.

Si Ibra sudah sampai rumah sedang menangis dalam dekapan saudaranya. Sementara si Ema yang baru datang dengan seragam putih merah lengkap dengan topi dan tas rangselnya menangis tak henti-hentinya. Saya mencoba menenangkannya dan para tetangga membujuk mengajak ke rumahnya, menghibur dan menguatkannya.

Beredar cerita pagi itu. Pak Omy, semalam mengeluh tidak enak badannya. Ia bercerita ke istrinya ingin minum jamu karena sakitnya itu. Malam itu, mereka berdua berboncengan motor mendatangi kedai jamu di Pasar Minggu dan Pak Omy pun meminumnya. 

Malam itu Pak Omy sangat baik dan mesra terhadap istrinya. Ia menawarkan kepada Istrinya ayo kemana lagi ia siap mengantarnya. Tumbensuaminya semesra dan seromantis itu pikir istrinya. Malam itu terasa indah nian bagi pasangan  suami istri itu. Setelah pulang ke rumah, mereka menikmati malam yang sangat indah. Tak ada kejadian apa-apa sampai pagi.

***

Pagi pun berjalan seperti biasa. Istrinya belanja ke tukang sayur, memasak dan menyiapkan kebutuhan anak-anak sekolah. Pak Omy pun seperti biasa. Menyambut matahari pagi dengan  berlari-lari kecil di halaman sebelah rumah. Setelahnya menghangatkan  NMAX warna merahnya dan mengantar anak-anak berangkat ke sekolah.

Setelah itu, istrinya mendapatkan suaminya tergeletak dekat tempat tidur. Ia pun kaget dan berteriak meminta tolong.  Tetangga yang mendengar berlarian menuju sumber suara. Mereka membantu mengangkat Pak Omy ke mobil untuk dibawa ke Rumah sakit.

Saat ini, jenazah Pak Omy sudah sampai ke rumah. Ia dibaringkan di ruang tengah. Terlihat wajahnya pucat pasi seperti cat rumah kontrakannya. Orang-orang melayat tak ada hentinya mengaji dan mendo'akan almarhum. Keluarga memberi tahu, hari ini juga jenazah akan diterbangkan ke Ambon. Mereka sedang mengurus segala sesuatunya.  

Saudara-saudaranya, tetangga dan warga sekitar masih tidak percaya akan kepergian Pak Omy. Masih kebayang wajahnya yang dipenuhi senyum melintas di depan kami. Teman-teman Bery katanya ingin turut mengantar jenazah sampai ke bandara. Isak tangis masih terdengar dari sanak saudara handai tolan. Suara ambulan memecah keheningan. Jenazah dibawa ke bandara. 

Raungan ambulan menyayat hati. Kami yang ditinggal hanya melambaikan tangan sembari berucap Selamat jalan pak Omy. Semoga Bapak damai di sisi-Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.

Kini, hari ini, tepat dua tahun sudah Pak Omy pergi meninggalkan kami semua. Selama dua tahun pula kami tak bersua dengan keluarga Pak Omy. Mereka sekarang menetap di Ambon, di Makassar entah dimana lagi. Apa kabar Mamah Ita, Bery si pemberani, Ibra si penyayang dan oh... Ema si cantik sedang apa kalian di sana? Semoga kalian baik-baik saja dimana pun kalian berada.

Khusus untuk Pak Omy, kukirimkan hadiah al-fatihah untukmu.

Jakarta, 28 September 2018                                        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun