Senja masih menggantung ketika Pak RT mendatangi rumah kami. Sore ini, kami janji akan menemui kepala proyek pembangunan kantor kelurahan di tempat tinggal kami. Kami berenam, Saya, mas Bayu, Bang Soleh, Mpok Laela, Mas Budi dan Pak RT, berangkat dengan mengendarai motor ke kantor kelurahan yang jaraknya tak sampai selemparan batu itu.
Kami adalah keluarga-keluarga yang rumahnya berdekatan bahkan beberapa rumah berhimpitan langsung temboknya dengan kantor kelurahan. Mas Bayu berasal dari Brebes. Ia sudah lama tinggal di Jakarta  ini. Bang Sholeh asli Betawi. Sejak lahir sudah tinggal disini. Mpok Laela asli Bogor yang menikah dengan orang Betawi Asli. Sementara Mas Budi asli Solo yang juga sudah lama tinggal di Jakarta.  Saya sendiri asal Cirebon. Kami sama-sama tinggal di Kelurahan Balerombeng ini. Hubungan kami sudah seperti saudara. Sangat dekat. Jika ada masalah yang menimpa kami, kami selesaikan secara bersama-sama. Termasuk persoalan yang satu ini.
Beberapa hari sebelumnya, kami, Â orang-orang belakang, demikian orang di sekitar kami menyebutnya mendatangi rumah Pak RT. Sayang waktu itu Pak RT sedang tidak ada di rumah. Kami hanya bertemu dengan istrinya. Meski demikian, kami tetap menyampaikan apa yang menjadi keluhan kami beberapa hari ini kepada Ibu RT yaitu terkait suara berisik yang datang dari pembangunan kantor Kelurahan Balerombeng.
"Ma'af Bu RT, tolong sampaikan ke Pak RT, kami merasa terganggu dengan suara berisik dari pembangunan kantor kelurahan. Berisiknya sampai malam." Kata Mas Bayu, salah seorang teman yang sudah kami anggap sebagai tetua. Â
"yang jadi masalah berisiknya itu sampai jam 9 malam lebih. Kalau bisa cukup sampai jam sembilan saja." Sambung Bang Soleh." Permintaan yang sederhana dari orang kecil.
Ibu RT terlihat menyimak dengan seksama. "Saya dengar dari Bapak, proyek pembangunan kantor Kelurahan itu harus selesai bulan November. Jadi si pemborong ngejar target." Ibu RT mencoba memberi penjelasan atas informasi dari suaminya. "Tapi baiklah, nanti saya sampaikan ke Bapak." Kata Bu RT memotong pembicaraannya. Kami pun akhirnya pulang ke rumah masing-masing dengan menggendong harapan persoalan akan terselesaikan dengan cepat.
Beberapa hari kemudian, Pak RT mendatangi kami, orang-orang belakang. Kami memang pantas disebut orang belakang karena kami, lima rumah itu letaknya di belakang sekitar seratus meter dari jalan kecil kelurahan. Tak jauh dari rumah kami kantor kelurahan Balerombeng yang sedang dibangun. Bangunan lamanya diruntuhkan. Untuk sementara kantor Kelurahan Balerombeng pindah ke rumah yang tak jauh dari lokasi kantor kelurahan. "Gue tanggapin komplain lu Leh" kata pak RT dengan logat Betawinya. Sepertinya Pak RT biasa bahasa Betawi jika bicara dengan orang asli Betawi seperti bang Soleh.
Setelah ngobrol kesana kemari. Akhirnya kami berangkat menuju kantor kelurahan. Disana kami disambut oleh Ibu Lurah Santi dan stafnya. Sementara kepala proyek belum terlihat daun telinganya.
Ibu Lurah mempersilahkan kami untuk duduk. "Silakan-silakan duduk." Kata Bu Lurah ramah.
"Ada apa sebenarnya nih sampai beramai-ramai kesini?"
Setelah duduk. Kami mengisi daftar hadir di selembar kertas yang disodorkan Bu Lurah di meja. Â
"Begini Bu Lurah. Warga saya ini ingin menyampaikan komplain terkait pembangunan kantor kelurahan."
"oh ya. Terus apa yang dipermasalahkan?" tanya Bu Lurah.
"Ayo langsung aja sampaikan mumpung ada Ibu." Kata Pak RT.
Sambil menghilangkan grogi saya mengambil air mineral yang telah disediakan.
"saya minum Bu" kata saya.
"Oh ya. Silakan."
"Begini Bu Lurah." Kata mas Bagus memulai pembicaraan.
"Kantor Kelurahan kan sedang dibangun tuh. Tak-tak-toknya itu sampai malam. Itu sangat mengganggu kami."
"Oh begitu, iya karena mereka dikejar target. Mereka harus selesai November. Mohon dimaklum aja." Kata Bu lurah.
"Iya Bu Lurah, kami berani komplain ke Ibu karena Bu Lurah sendiri yang bilang waktu di acara arisan RT. 'Kalau ada sesuatu masalah sampaikan aja ke saya', begitu waktu itu."
"oh begitu ya. Kalau akan begini jadinya, saya tidak akan bilang begitu deh." Kata Bu Lurah.
 "Kalau begitu mulai detik ini. Perkataan saya itu saya cabut."
Saya merasa kaget dengan pernyataan Bu lurah itu.
"Kok begitu Bu. Penyataan Ibu memberi peluang warga untuk mengadu ketika ada masalah adalah sesuatu yang sangat bagus. Jangan sampai itu dihilangkan. Itu malah salah." Kata saya.
"Kalau banyak yang komplain saya pusing." Kata Bu Lurah. Seperti tidak ada beban.
"Iya itu memang tugas Lurah. Kalau gak mau pusing ya jangan jadi Lurah." Sungut mas Bayu.
Kata-kata mas Bayu membuat muka Bu Lurah memerah menahan emosi. Nafasnya terlihat memburu. Â Â
"Kalau tahu warga banyak yang komplain begini saya tidak akan mengajukan pembangunan kantor kelurahan ini." Kata Bu Lurah melanjutkan. Kata-kata yang keluar dari mulut Bu lurah seperti bukan dari seorang pejabat. Â Â