Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Sahabatku

18 September 2018   10:02 Diperbarui: 18 September 2018   16:12 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: pixabay.com)

Terdengar kabar, ia mengalami kecelakaan. Motor yang dikendarainya ditabrak mobil dari belakang. Kakinya patah. Ia harus dirawat di Rumah Sakit untuk beberapa waktu.

Mendengar kabar tersebut, mataku sembab. Suatu hari aku ingin menjenguknya. Hatiku membatin. Ia adalah sahabat masa kecilku waktu Sekolah Dasar. Tidak hanya sahabat. Ia juga adalah saudara jauhku. Setelah lulus SD, aku jarang sekali bertemu denganya. Aku sibuk sekolah, dia sibuk bekerja. Ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Hanya terhenti sampai  SD. Apalagi setelah aku melanjutkan kuliah ke Jakarta dan menetap disana. Paling-paling setahun sekali kami bertemu disaat lebaran Idul Fitri atau lebaran Haji.

Namanya Supriadi. Aku dan temen-temen sekelas dulu memanggilnya Supri. Badannya pendek. Temen-temenya sering memangilnya Supri tekel.  Ia anak yang pintar. Di kelas selalu mendapat rengking,  tidak lepas dari lima besar. Ia pun menjadi kesayangan para guru. Termasuk guru  perempuan, Ibu Nunung. Terus terang, yang satu ini membuatku iri.  Satu hal yang dibenci dan dihindarinya adalah pelajaran kesenian. Apalagi kalau ia disuruh menyanyi. Ia lebih memilih keluar kelas. Suatu ketika Supri menangis karena dipaksa untuk menyanyi.

Sebenarnya banyak kelebihan yang dipunyai sahabtaku yang satu ini.  Selain cerdas, ia juga terkenal berani. Ia aktif di pramuka dan setiap hari senin ia selalu terpilih menjadi komandan upacara. Penampilannya gagah, suaranya lantang. "kepada pembina upacara, hormaaaaaat.... grak". Masih terngiang jelas suara lantangnya. Ketika berpakaian pramuka, baret coklatnya miring ke kanan seperti pasukan baret merah kebanggaan Indonesia. Di pinggang sebelah kiri tergantung belati khas pramuka. Tangan kanannya memegang tongkat. Ah... masih teringat jelas kenangan itu.    

Kelebihan lainnya adalah ia sangat pandai menggocek bola. Waktu main dulu, ia berposisi sebagai striker. Kalau bola sudah dipegang, ia bisa meliuk-liuk dengan ringan dan lincahnya menerobos penjagaan ketat pihak lawan. Beberapa pemain lawan dikolonginya.  Gol pun dengan mudah dicetak. Jika sekarang mengingatnya, kelihaiannya seperti Maradona atau Messi. Ia disukai teman-teman se-timnya dan disegani musuh-musuhnya.

Hal lain yang teringat dengan sahabatku yang satu ini adalah keberaniannya. Suatu waktu, aku dan temen lainnya diajaknya pergi ke rumah ayahnya di lain desa. Ayahnya telah menikah lagi setelah bercerai dengan Ibunya. Ayah dan Ibu tirinya itu berjualan kebutuhan sehari-hari di desa yang cukup jauh dari desa kami tinggal. Kami harus berjalan ke kecamatan, lalu  naik mobil umum dan dilanjutkan dengan berjalan kaki beberapa kilo lagi.

Entah apa masalahnya, waktu itu Supri sangat marah dengan ayahnya. Uang lembaran sepuluh ribuan disobek-sobeknya di depan ayahnya dan kami. Aku sendiri sangat kaget dan tidak menyangka Supri akan semarah itu. Karena uang sepuluh ribu waktu tahun 80-an bagi kami anak SD mungkin seniai dengan seratus ribu saat ini. Aku dan sahabatku memunguti sobekan uang kertas itu dan menyusun serta menyambungkan lagi dengan lem. "Sayang, bisa buat jajan" kata Endi, teman yang ikut bersama kami,  waktu itu. 

Kisah keberanian Supri pun masih terekam dengan baik di benakku. Bagaimana tidak, di usianya yang diperkirakan masih sekitar 9 atau 10 tahun ia berani pergi ke Jakarta sendirian untuk menemui Ibunya. Setelah bercerai dengan ayahnya, ibunya pergi ke Jakarta untuk mencari kehidupan. Supri pun sempat tinggal bersama Ibunya di Jakarta untuk beberapa tahun.

Suatu ketika ia berkirim surat kepadaku.


Jakarta, 5 Agustus 1985

Untuk Sahabatku Ahmad,

Lama kita tidak bertemu. Aku rindu saat kita sama-sama bermain bola. Banyak kenangan yang indah di kampung yang tidak bisa aku temukan di Jakarta. Jakarta bagaikan buah kedongdong. Dari luar kelihatan enak dimakan pas di belah di dalamnya penuh serabut dan kadang rasanya asam.

Begitulah aku hidup di Jakarta. Dulu aku menganggap hidup di Jakarta itu indah, menyenangkan, semua serba gampang. Tapi kenyataanya, di Jakarta serba sulit. Untuk bermain bola saja susahnya minta ampun. Paling-paling aku main di gang-gang sempit. Apalagi kalau mau main layang-layang susahnya naudzubillah. Kadang aku harus naik genting rumah  orang biar bisa menerbangkannya. Terkadang aku hampir terjatuh. Tapi aku tak kapok hehehe.      

Ahmad sahabatku,
Itu dulu ya, kabar dariku.Bales ya suratku ini.

Salam

Supri (Sahabatmu)  

***

Setelah beberapa tahun aku tidak bertemu dengan Supri, aku mendapat kabar Supri bekerja ke Malaysia sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Perih memang kehidupan sahabatku ini. Sampai aku mendengar ia menikah dengan perempuan idamannya dan dikarunia dua anak laki-laki.

Ketika Supri sudah pulang ke Indonesia. Suatu hari aku bertemu dengannya. Badannya kelihatan agak kurus. Kaki bekas kecelakan itu masih terlihat. Apalagi ketika dia berjalan. Ia masih terlihat pincang. "pennya masih tertanam di kaki ini Mad". Mencoba menjelaskan.
"kenapa tidak dilepas Pri?" tanyaku.
"Harusnya sih. Kan butuh pulus untuk melepas ini". Supri sambil mengangkat tangannya dan menggesekkan jari telunjuk dengan jempolnya.
"Sudah punya BPJS?"
"Aku punya KIS. Sebenarnya bisa gratis sih kalau hanya untuk membukanya. Tapi kan butuh biaya lainnya".
"Maksudnya?"
"iya. Biaya untuk orang yang jaganya dan lain sebagainya".  
Aku mengangguk-angguk.
"memang membutuhkan berapa?"
"ya sekitar delapan ratus ribuan" katanya.
aku hanya menarik nafas panjang. Sebagai sahabat, teriris hatiku. Aku tak mampu berbuat apa-apa melihat sahabat sendiri sedang mengalami kesusahan.
"istri masih di Taiwan?" aku mencoba mengalihkan.
"Sudah pulang. Kami bercerai".
"cerai?"
"Iya." Supri menjawab singkat dengan wajah tertunduk.
"anak-anak dengan siapa?"
"si sulung sudah menikah dengan anak tetangga desa. Si bungsu ikut neneknya." Raut mukanya
terlihat mendung.
aku mencoba menghiburnya dengan memeluknya.
Lengkap sudah penderitaan sahabatku ini. Kakinya patah. Istri yang diharapkan menopang dan menguatkan dirinya saat terpuruk telah meninggalkannya.

Kini ia tinggal sendiri di rumah uwanya yang sudah renta. Untuk menghidupi dirinya, ia bekerja di orang yang membuat kue-kue. "sudah beberapa hari ini saya belum lagi kesana. Lagi sepi" keluhnya. Hatiku menangis untuk kesekian kalinya melihat kondisi sahabatku ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

***

Pada lebaran Qur'ban kemarin aku betemu dia di rumahnya, di rumah uwanya maksudnya. Ia termangu sendirian. Pandangan matanya hampa ke depan.
"Lagi sendiri Pri?"
"di masjid ada yang qur'ban berapa ya?" tanyaku.
"Entah lah Mad. Orang-orang sini sepertinya tidak tergerak berqur'ban meskipun sawahnya hektaran luasnya."
"Oh, ya?"
"seperti tidak peduli dengan keadaan orang yang tidak punya" kritiknya.
Diam-diam aku makin kagum dengan sahabatku ini. Meskipun hanya lulus SD tetapi pemikiran dan kecerdasannya sangat jelas terlihat.  Selain itu, wajahnya masih memancarkan optimisme yang besar meskipun ia didera berbagai cobaan hidup.

Aku sangat mengkhawatirkan sahabatku ini.  "Dia setiap hari makannya dari siapa?" tanyaku kepada kakakku yang tinggal sekampung dengan Supri suatu ketika.
"Nyolok sendiri. Maksudnya masak nasi sendiri pakai rice cooker. Lauknya dikirim dari Nini Sur."
"Kasian sekali hidup sahabatku ini." Kata itu tak sampai muncrat dari mulutku, hanya dalam hati.
Aku teringat betapa dia dielu-elukan dan banyak saudara yang mendekati ketika baru pulang dari Malaysia. Tapi kini, ketika ia tak punya apa-apa dan sakit-sakitan, dilirik pun  tidak. Seperti kata pepatah "ada gula ada semut". Tak ada gula semut pun kabur.     

Dalam sebuah pertemuan keluarga besar. Aku sampaikan kondisi Supri, dari awal sampai akhir. Kemudian aku mengusulkan saweran untuk membantu Supri seikhlasnya.
"Saya setuju dengan ide Nak Ahmad untuk membantu Supri" kata Pak Wagiman, salah seorang keluarga tua kami.
"sebagai keluarga besar, kita malu kalau punya saudara yang sedang menderita kita tidak berbuat apa-apa." Kata Kang Asep.
"Sebaiknya kita bantu Supri dan carikan pekerjaan."  Kata Ibu Hajah Fatimah.
Tak membuang waktu aku dan dibantu seorang teman dengan cepat menyiapkan tempat uang dan berkeliling.
Alhamdulillah terkumpul sejumlah uang untuk diberikan kepada Supri.
Wajah Supri tersenyum bahagia ketika Aku dan sejumlah keluarga mendatangi dan menyerahkan uang dari hasil sumbangan keluarga.

"Terima kasih banyak atas kepeduliannya. Uang ini akan saya gunakan untuk melepas fan dan biaya hidup sehari-hari. Sekali lagi terima kasih semuanya."  Matanya sembab. Ada embun yang menggelantung di sela-sela matanya.

Jakarta, 12 September 2018      

 

         

                             

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun