Aku sangat mengkhawatirkan sahabatku ini. Â "Dia setiap hari makannya dari siapa?" tanyaku kepada kakakku yang tinggal sekampung dengan Supri suatu ketika.
"Nyolok sendiri. Maksudnya masak nasi sendiri pakai rice cooker. Lauknya dikirim dari Nini Sur."
"Kasian sekali hidup sahabatku ini." Kata itu tak sampai muncrat dari mulutku, hanya dalam hati.
Aku teringat betapa dia dielu-elukan dan banyak saudara yang mendekati ketika baru pulang dari Malaysia. Tapi kini, ketika ia tak punya apa-apa dan sakit-sakitan, dilirik pun  tidak. Seperti kata pepatah "ada gula ada semut". Tak ada gula semut pun kabur.   Â
Dalam sebuah pertemuan keluarga besar. Aku sampaikan kondisi Supri, dari awal sampai akhir. Kemudian aku mengusulkan saweran untuk membantu Supri seikhlasnya.
"Saya setuju dengan ide Nak Ahmad untuk membantu Supri" kata Pak Wagiman, salah seorang keluarga tua kami.
"sebagai keluarga besar, kita malu kalau punya saudara yang sedang menderita kita tidak berbuat apa-apa." Kata Kang Asep.
"Sebaiknya kita bantu Supri dan carikan pekerjaan." Â Kata Ibu Hajah Fatimah.
Tak membuang waktu aku dan dibantu seorang teman dengan cepat menyiapkan tempat uang dan berkeliling.
Alhamdulillah terkumpul sejumlah uang untuk diberikan kepada Supri.
Wajah Supri tersenyum bahagia ketika Aku dan sejumlah keluarga mendatangi dan menyerahkan uang dari hasil sumbangan keluarga.
"Terima kasih banyak atas kepeduliannya. Uang ini akan saya gunakan untuk melepas fan dan biaya hidup sehari-hari. Sekali lagi terima kasih semuanya." Â Matanya sembab. Ada embun yang menggelantung di sela-sela matanya.
Jakarta, 12 September 2018 Â Â Â
Â
    Â
              Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H