Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Sahabatku

18 September 2018   10:02 Diperbarui: 18 September 2018   16:12 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama kita tidak bertemu. Aku rindu saat kita sama-sama bermain bola. Banyak kenangan yang indah di kampung yang tidak bisa aku temukan di Jakarta. Jakarta bagaikan buah kedongdong. Dari luar kelihatan enak dimakan pas di belah di dalamnya penuh serabut dan kadang rasanya asam.

Begitulah aku hidup di Jakarta. Dulu aku menganggap hidup di Jakarta itu indah, menyenangkan, semua serba gampang. Tapi kenyataanya, di Jakarta serba sulit. Untuk bermain bola saja susahnya minta ampun. Paling-paling aku main di gang-gang sempit. Apalagi kalau mau main layang-layang susahnya naudzubillah. Kadang aku harus naik genting rumah  orang biar bisa menerbangkannya. Terkadang aku hampir terjatuh. Tapi aku tak kapok hehehe.      

Ahmad sahabatku,
Itu dulu ya, kabar dariku.Bales ya suratku ini.

Salam

Supri (Sahabatmu)  

***

Setelah beberapa tahun aku tidak bertemu dengan Supri, aku mendapat kabar Supri bekerja ke Malaysia sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Perih memang kehidupan sahabatku ini. Sampai aku mendengar ia menikah dengan perempuan idamannya dan dikarunia dua anak laki-laki.

Ketika Supri sudah pulang ke Indonesia. Suatu hari aku bertemu dengannya. Badannya kelihatan agak kurus. Kaki bekas kecelakan itu masih terlihat. Apalagi ketika dia berjalan. Ia masih terlihat pincang. "pennya masih tertanam di kaki ini Mad". Mencoba menjelaskan.
"kenapa tidak dilepas Pri?" tanyaku.
"Harusnya sih. Kan butuh pulus untuk melepas ini". Supri sambil mengangkat tangannya dan menggesekkan jari telunjuk dengan jempolnya.
"Sudah punya BPJS?"
"Aku punya KIS. Sebenarnya bisa gratis sih kalau hanya untuk membukanya. Tapi kan butuh biaya lainnya".
"Maksudnya?"
"iya. Biaya untuk orang yang jaganya dan lain sebagainya".  
Aku mengangguk-angguk.
"memang membutuhkan berapa?"
"ya sekitar delapan ratus ribuan" katanya.
aku hanya menarik nafas panjang. Sebagai sahabat, teriris hatiku. Aku tak mampu berbuat apa-apa melihat sahabat sendiri sedang mengalami kesusahan.
"istri masih di Taiwan?" aku mencoba mengalihkan.
"Sudah pulang. Kami bercerai".
"cerai?"
"Iya." Supri menjawab singkat dengan wajah tertunduk.
"anak-anak dengan siapa?"
"si sulung sudah menikah dengan anak tetangga desa. Si bungsu ikut neneknya." Raut mukanya
terlihat mendung.
aku mencoba menghiburnya dengan memeluknya.
Lengkap sudah penderitaan sahabatku ini. Kakinya patah. Istri yang diharapkan menopang dan menguatkan dirinya saat terpuruk telah meninggalkannya.

Kini ia tinggal sendiri di rumah uwanya yang sudah renta. Untuk menghidupi dirinya, ia bekerja di orang yang membuat kue-kue. "sudah beberapa hari ini saya belum lagi kesana. Lagi sepi" keluhnya. Hatiku menangis untuk kesekian kalinya melihat kondisi sahabatku ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

***

Pada lebaran Qur'ban kemarin aku betemu dia di rumahnya, di rumah uwanya maksudnya. Ia termangu sendirian. Pandangan matanya hampa ke depan.
"Lagi sendiri Pri?"
"di masjid ada yang qur'ban berapa ya?" tanyaku.
"Entah lah Mad. Orang-orang sini sepertinya tidak tergerak berqur'ban meskipun sawahnya hektaran luasnya."
"Oh, ya?"
"seperti tidak peduli dengan keadaan orang yang tidak punya" kritiknya.
Diam-diam aku makin kagum dengan sahabatku ini. Meskipun hanya lulus SD tetapi pemikiran dan kecerdasannya sangat jelas terlihat.  Selain itu, wajahnya masih memancarkan optimisme yang besar meskipun ia didera berbagai cobaan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun