"Tidak Pak, Amri." Pak RT langsung menjawab.
"Ronda tidak hanya persoalan keamanan kampung kita. Tapi juga sebagai wadah mempererat persaudaraan kita. Apalagi sekarang ini sesama tetangga rumah saja sering saling tidak kenal" Â lanjutnya.
Saya hanya manggut-manggut saja. Ada benarnya juga. Jangan sampai kampung saya ini seperti kota yang katanya tidak saling kenal dengan tetangga rumahnya.Â
Pikiranku meloncat ke malam nanti. Sudah kebayang tugas ronda, gigitan dingin dan sergapan sepi. Bulu kudukku pun berdiri tanpa diperintah. Â Pak RT pamit melanjutkan berkunjung ke rumah-rumah warga lainnya, saya sampai tak menghiraukannya. Â Â Â Â Â
Selepas shalat isya, saya udah bilang ke istri bahwa malam ini mau ronda. "hati-hati ya yah, kata orang-orang, di rumah itu ada suara-suara aneh" godanya. "ah kamu, sama omongan gituan kok percaya. Takhayul tahu!" saya membalas. Â
Jarum pendek  jam dinding menunjukkan pukul sepuluh pas. Saya kenakan jaket tebal dan sarung di slendangkan. Kepala ditutup dengan penutup yang biasa digunakan di daerah dingin. "
Say... kalo ada apa-apa sebut saja namaku tiga kali" istriku ngeledek lagi.Â
"we..." lidahku dijulurkan.Â
Saya bergegas menuju pos ronda yang ada di pojok kampung. Tepatnya di pojok pertigaan jalan. Sesampai di pos ronda, disana sudah menunggu Pak Paijo, Pak Sandro, Kang Toto, Kang Asep dan Ko Chi We. Kami berenam kebagian tugas ronda malam ini. Â Â Â Â Â
"Selamat malam Pak Amri, lama baru ketemu lagi" sapanya. "Iya Pak Paijo, untung ada giliran ronda, jadi kita bisa ketemu" timpalku. "Bapak-Bapak kita ngobrol-ngobrol dulu disini, gimana? Nanti jam 11.30 kita keliling kampung. Saya, Pak Amri dan Ko Chi akan keliling ke wilayah sebelah sana. Sementara Pak Paijo, Kang Toto dan Kang Asep keliling ke arah sini." Kata Pak Sandro sambil mengarahkan telunjuknya.Â
Pak Sandro ini orang yang paling tua diantara kami. Ia sudah banyak makan asam garam tentang kehidupan. Termasuk tentang sejarah kampung ini. Termasuk sejarah rumah tua dan penghuninya.