Mohon tunggu...
Maman Gantra
Maman Gantra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kenapa Saya Menolak Pembangunan RPTRA di Taman Krajaba

7 Oktober 2017   17:42 Diperbarui: 16 Oktober 2017   13:56 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Edunnn... Dua hari kemarin, Senin sampai Selasa malam, saya berkutat menulis sebuah surat terbuka. Terkait rencana pembangunan RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) di taman yang tak jauh dari tempat saya ngendon. Tadinya, sih, surat ini semata agar saya lebih sistematis sekaligus argumentatif dan -- yang terpenting -- tidak bertele-tele dan ngacapruk sebagaimana kalau saya bicara atau mengungkapkannya secara lisan. Hanya ingin mengatakan "Tidak setuju, dengan alasan ini...ini..." 

Eh, tahunya, sampai enam halaman! Lebih dari 17 ribu karakter, setara dengan 4 atau 5 halaman majalah. Jauh lebih panjang dari bagian pertama sebuah cover story! Itupun, jangan salah: Rasanya belum semua "pemikiran" saya tertuang secara tuntas. Sistematisasinya pun masih agak meloncat-loncat. Edan pisan, kan?

Walhasil, daripada saya print dan copy sampai 30-an copy (sesuai dengan jumlah warga di RT saya), sebagaimana saya lamunkan sebelumnya,  saya kira mending disimpan di sini saja. Selain memudahkan dan tanpa biaya, juga siapa tahu bisa ikut menteror teman-teman facebook. Karena itu, saya sarankan: Anda membacanya pada hape dengan layar yang paling minim. Biar tambah pening....

Selamat ikut berpeningria...

==============================

  

  

Kenapa Saya Menolak Rencana Pembangunan RPTRA di Taman Krajaba

Bapak-Ibu yang saya hormati,

Sebagai konsep atau kebijakan pemerintah, RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, kerap dilafalkan sebagai "erpetra"), sebenarnya bagus. Bahkan sangat bagus. Walau tak orisinil, ini adalah salah satu program/kebijakan unggulan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang layak didukung. Program ini tak hanya menyentuh kepentingan anak dan perempuan. Tapi, juga langsung menyentuh kepentingan rakyat kecil (miskin dan kurang berpendidikan). 

Dengan mengusung isu utama perlindungan anak dan perlindungan perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), konsep ini berupa sebuah kawasan  yang berisikan ruang serbaguna, aneka fasilitas bermain anak, fasilitas olahraga, dan fasilitas publik lainnya -- mulai dari perpustakaan, depot PKK, jogging track, lapang volley/badminton, dan lain sebagainya. Sehingga, dengan fasilitas tersebut, tak hanya anak-anak dan remaja yang bisa memanfaatkannya. Tapi, juga warga pada umumnya. Mulai dari aktivitas berolahraga, berkesenian, sampai hajatan... Intinya, RPTRA adalah tempat warga saling bersinteraksi secara sehat. Di sana mereka bisa menyusui atau memberi makan anak bayinya seraya ngobrol dengan tetangga, berlatih atau malah pentas kesenian, bahkan berkebun atau memelihara ikan/burung/binatang. Diharapkan, dengan adanya RPTRA ini masyarakat bisa lebih sejahtera. Sejumlah masalah sosial yang ada pun bisa teratasi. Mulai dari soal tawuran sampai narkoba.

Dalam pelaksanaannya, RPTRA ini umumnya memanfaatkan taman-taman atau ruang terbuka hijau yang sudah ada. Sehingga, secara sederhana, RPTRA ini bisa disebut sebagai Taman Plus. Sebab, berbeda dengan taman-taman yang kita kenal selama ini, selain fasilitas-fasilitas tadi, RPTRA dilengkapi dengan pengelola dan penjaga yang digaji sesuai UMR DKI. Merekalah yang bertugas mengelola kegiatan -- termasuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kebersihan RPTRA. Mereka bertugas selama 24 jam! Selain itu, para pengelola tadi akan didampingi oleh para pakar terkait pendidikan dan pengembangan masyarakat. Apakah psikolog, akhli kesehatan masyarakat, akhli manajemen, dsb. Bahkan, untuk urusan desainnya pun, pembangunan sejumlah RPTRA  melibatkan para arsitek ternama. Sementara, biaya pembangunan fisiknya, yang berkisar Rp 450 juta -- 700 juta, sejauh yang saya tahu umumnya berasal dari program CSR (Corporate Social Responsibility) sejumlah grup/perusahaan besar. Selama ini sudah ratusan RPTRA yang dibangun Pemprov DKI di seluruh Jakarta -- antara lain, di sekitar kita, di Kelurahan Tanah Tinggi. Targetnya, tahun 2017 ini pemerintah "harus" membangun 300 RPTRA baru.

Walau mengakui RPTRA sebagai program atau konsep yang bagus, saya pribadi tidak menyetujui rencana pembangunannya di Taman Krajaba. Sikap ini sudah saya sampaikan secara informal (kala bertemu dengan Lurah, Kepala Dinas Perumahan, beserta jajarannya, ketika mereka meninjau ke lokasi). Demikian juga dalam acara sosialisasi rencana tersebut yang berlangsung di kantor RW 01, Mei 2017. (Sayangnya, karena saya sedang mengerjakan sesuatu, saya tak bisa mengikuti acara tersebut sampai usai -- termasuk memaparkan ketidaksetujuan saya secara lebih rinci). 

Saya menilai, pembangunan RPTRA di Taman Krajaba ini hanya permen (gula-gula) bagi persoalan (sosial) yang ada di RW 01 -- termasuk dan terutama tawuran. Seperti disampaikan pejabat dari Dinas Perlindungan Anak, aksi tawuran yang kerap terjadi di lingkungan kita ini tak lepas dari kondisi rumah dan lingkungan fisik pemukiman mereka. Sudahlah ukurannya sempit/kecil, penghuninya banyak pula, ruang tempat nongkrong atau beraktivitas positifpun tidak ada. Tak ada ruang publik -- tertutup maupun terbuka -- yang memadai, baik dari segi kelapangan (luas) maupun fasilitas yang ada di dalamnya.

Dalam pikiran saya, alih-alih langsung membangun RPTRA, kenapa pemerintah tidak lebih dulu menyediakan rumah yang memadai dan manusiawi tadi -- lengkap dengan fasilitas umum atau ruang publik terbukanya? Ini sejatinya pokok keberatan saya terhadap rencana pembangunan RPTRA tersebut. Hemat saya, selama kawasan RT 01 sampai RT 013 belum atau tidak ditata ulang -- menjadikan kawasan itu sebagai kawasan vertikal, sebagai pilihan yang paling rasional di tengah keterbatasan lahan dibandingkan kebutuhan atau jumlah penduduk yang ada, yang dilengkapi dengan aneka fasilitas umum (mulai dari ruang parkir, arena olahraga, arena bermain anak, ruang terbuka hijau/taman, gedung pertemuan, dan lainnya); kehadiran RPTRA di lingkungan RW 01 tak akan mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas masalah sosial yang ada di RW kita ini, termasuk dalam hal tawuran.

Selain hal mendasar tersebut, sejumlah hal lainnya juga menjadi alasan ketidaksetujuan saya. Di antaranya:

1. Rencana tersebut berlawanan atau tidak konsisten (tidak sesuai) dengan kebijakan Pemda DKI terkait kebutuhan akan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 

Sering disebutkan, bahwa -- akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak terkendali -- DKI dan banyak kota di Indonesia kekurangan RTH. Saya tidak hapal, berapa persen dari luas DKI luas RTH yang diperlukan. Yang pasti saat ini, kita sangat kekurangan. Dan dampaknya bisa kita rasakan sehari-hari: Selain sulitnya mencari taman-taman hijau, udara yang menyengat pun semakin terasa -- walau ini ikut disebabkan pula oleh hal lain. Apapun, karena akan ada bangunan di atasnya, pembangunan RPTRA di Taman Krajaba akan mempersempit lagi bukaan hijau di taman tersebut. 

Dalam hal RTH, pemerintah memang memiliki kriteria dan kelas-kelas. Mulai dari klasifikasi Taman Pemakaman Umum, Hutan Kota, sampai Taman. Klasifikasi ini pun ada kelas-kelasnya. Salah satunya, terkait boleh tidaknya ada tutupan semen/beton/aspal -- baik berupa jalan setapak ataupun bangunan. Kalaupun boleh sebuah kawasan RTH memiliki tutupan, luas tutupan itu sendiri ada batasannya. Hanya sekian persen dari luas RTH tersebut.

Hanya, apapun kelasnya, pembangunan RPTRA di Taman Krajaba ini tetap bertentangan dengan kebutuhan akan RTH tadi. Sebab, menurut paparan Bapak Eddy S, RPTRA di Taman Krajaba tersebut selain akan memiliki lapang volley dan badminton sebagaimana selama ini, juga akan dilengkapi dengan jalur joging (jogging track), jalur refleksi, dan sebuah bangunan serbaguna. Artinya, pembangunan RPTRA ini juga kian mempersempit bukaan hijau, yang antara lain berfungsi sebagai resapan air, yang justru sekarang ini sangat devisit (kurang).

Tapi, kan "penyimpangan" itu tak akan berpengaruh terhadap persoalan lingkungan yang ada? Benar. Tapi, hemat saya, sekecil apapun kita menambah atau mempertahankan luas resapan air, yang menjadi salah satu fungsi RTH, itulah salah satu sumbangan dan langkah kongkrit kita untuk ikut mengatasi persoalan lingkungan -- baik di tingkat kota, nasional, maupun global. Sebaliknya, sekecil apapun pengurangan RTH hanya akan memperparah persoalan lingkungan yang ada. Terlebih bila semua orang berfikir seperti itu. "Ah, cuma..."

2. Bertentangan dengan aturan teknis RPTRA itu sendiri.

Sementara itu, masih menurut Bapak Eddy S juga, RPTRA sebenarnya membutuhkan lahan terbuka minimal seluas 700-1.500 m2. Sedangkan luas Taman Krajaba sekarang ini tak sampai 500 m2. Paling hanya 400 m2. Artinya, bila rencana pembangunan itu dilaksanakan, hal tersebut juga menyalahi standar yang sudah ditetapkan Pemda sendiri. 

3. Potensial menambah "limbah" atau "dampak buruk" yang dirasakan langsung oleh warga warga RT 14 umumnya, warga di sekitar Taman Krajaba khususnya.

Dengan menjadikannya sebagai RPTRA, lengkap dengan segala kegiatan dan fasilitasnya, tentunya akan menjadikan Taman Krajaba sebagai pusat keramaian. Tak hanya warga RW 01 yang akan datang ke kawasan ini. Tapi juga warga dari RW lain atau bahkan dari kelurahan lain. 

Sebagaimana terjadi selama ini, sejauh yang saya ketahui, pengunjung taman itu tak sedikit dari Tanah Tinggi, Rawasari, Kwitang, bahkan...Bekasi, Tangerang, dan Malang! Mereka tak hanya anak-anak sekolah atau anak-anak remaja. Tapi, juga orang dewasa -- orangtua. Baik yang datang bersama anaknya, sendirian, ataupun bergerombol. Dan ini, antara lain, selain jaringan pertemanan antara warga RW 01 dengan warga masyarakat di luar lingkungan RW 01, juga karena lokasi taman tersebut yang tersembunyi dari jalur lalulintas plus kondisinya yang relatif teduh membuat dia menjadi tempat atau titik kumpul ataupun sekadar persinggahan dan tempat bermain para pelintas atau warga luar.

Sejauh tertib dan menjaga kebersihan, sebenarnya hal tersebut tak menjadi masalah. Tapi, faktanya, taman tersebut tak pernah bersih. Jangankan asri, untuk sekadar bersih pun sulit. Justru kekumuhanlah yang ada. Selain faktor pengelolaan alias kinerja petugas yang bertugas mengurus taman itu, kekumuhan tersebut lebih banyak disebabkan mentalitas dan prilaku para pengunjungnya -- yang notabene warga di luar lingkungan RT 14.

Sebagai setengah pengangguran yang juga tinggal tepat di depan taman itu, sekaligus memposisikan diri sebagai "petugas keamanan dan kebersihan" di sana, saya menyaksikan dan merasakan bagaimana situasi dan kondisi Taman Krajaba sehari-hari. Praktis 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Ibu-ibu dengan daster belel, pemulung atau tukang loak (bahkan petugas kebersihan taman) yang siesta (tidur siang), anak-anak sekolah, dan berbagai jenis manusia yang laku dan penampilannya tak selamanya nyaman di mata dan selere "kelas menengah ngehe". Lebih dari itu, limbah yang mereka tinggalkan. Bahkan setelah penutupan pintu yang menghubungkan RT 14 dengan RW 18 itu, ketika anak-anak RW 18 tak lagi "menguasai" taman itu, dan taman serta beberapa titik jalan disediakan tempat sampah.

Sekadar informasi saja, untuk menggambarkan produktivitas sampah yang dihasilkan para pengunjung taman itu: Sedikitnya, dalam semalam (saya biasa memunguti sampah-sampah itu malam hari -- selepas magrib atau malah dini hari, sebelum shalat subuh) saya bisa mengumpulkan 15-20 botol plastik bekas air mineral. Sebelum peristiwa tawuran terakhir, yang berlangsung di Taman Krajaba, "produktivitas"-nya bisa lebih tinggi lagi: Mencapai 56 botol! (Toh, jumlah ini, walau tipis, belum memecahkan rekor ketika pintu itu masih terbuka: 72 botol!)  

Itu hanya botol. Sampah lainnya, yang berupa kantong plastik, gelas plastik, potongan kayu, bambu, payung butut, sandal, geretan, dll, tidak saya hitung. Tapi, semua itu sedikitnya bisa mencapai satu kantong plastik ukuran sedang. Bahkan, untuk gelas bekas minuman, saya pernah mengumpulkan sampai 2 kantong plastik besar. Sementara, sebelum kasus tawuran tadi, pernah mencapai satu karung ukuran 25 kg. 

Dan semua sampah itu, sebelum saya punguti, tentunya tersebar di seantero taman. Bahkan, terselip di sela-sela tanaman yang turut memagari taman itu, pot bunga atau got sekitar taman. Mulai dari ujung (kediaman Pak Imsi) sampai rumah Pak Herry, serta depan rumah Bu Halim. (Tentang "produktivitas" got, awal musim hujan kemarin, 2016, dari got sepanjang rumah Pak Herry saja, dari sebrang rumah Pak Adib sampai sebrang samping taman), saya berhasil mengumpulkan 5 karung sampah non organik! Itu tak termasuk potongan kayu, besi, batu, lumpur, atau dedaunan. Sementara, dari deretan rumah saya, alhamdulillah, tak sampai satu karung -- karena praktis dipunguti lebih setiap hari).

Itu dari masalah sampah saja. Belum lagi dari soal ketertiban lainnya. Mulai dari parkir motor, teriakan anak-anak, yang kerap diimbuhi kata-kata kotor, anak-anak yang terpaksa main bola di jalan (karena lapangan utama dipakai anak-anak yang lebih besar, para ABG) yang tak hanya menyulitkan para pengendara motor atau mobil, tapi juga meninggalkan batu bekas gawang atau malah coretan-coretan di jalan. Juga, gerombolan anak-anak setengah gede yang nongkrong di depan pintu gerbang.

Harus saya sampaikan: Setelah penutupan pintu belakang itu, sebelum peristiwa tawuran terakhir, jumlah pengunjung taman itu kian bertambah. Khususnya di sore hari, kala permainan bola digelar. Pernah tak kurang dari 27 sepeda motor yang diparkir mulai dari depan rumah Pak Eddy, depan rumah saya, dan kemudian menyambung di sebagian samping rumah Pak Herry dan depan rumah Bu Halim. Sementara, selain memadati taman, sejumlah anak membuat gerombolan lain dengan duduk di depan gerbang rumah saya, dan depan dua pintu gerbang rumah Pak Triono (yang diapit rumah saya dan rumah Pak Adib). Situasi dan kondisi di atas adalah kondisi sekarang, ketika Taman Krajaba apa adanya -- belum menjadi RPTRA. Dan belum memperhitungkan kehadiran para pedagang makanan atau mainan. Walau, berbeda dari sebelum pintu belakang ditutup, kehadiran pedagang di sekitar Taman Krajaba memang berkurang. Tapi, dengan adanya RPTRA, kehadiran mereka dipastikan akan kembali menjadikan kawasan Taman Krajaba seperti sebuah bazar, sebuah festival. Riuh dengan teriakan anak-anak atau remaja, dan berujung pada sampah yang berserakan -- khususnya di jalan sekitar RPTRA itu.

4. Profesionalisme, dedikasi, dan konsistensi pemerintah -- baik di tingkat Dinas atau Gubernur sendiri, maupun di tingkat pelaksana lapangan -- yang masih sangat diragukan.

Benar, seperti dipaparkan di bagian atas, RPTRA itu akan "dilengkapi" petugas. Tapi, petugas itu ya hanya "pelengkap". Mampukah mereka mengatasi kebisingan yang ditimbulkan aktivitas anak-anak, yang karena fitrahnya memang harus begitu? Mampukah mereka mengatur kehadiran para pedagang makanan/minuman? Mampukah mereka membersihkan RPTRA itu secara ajeg? Kalaupun mampu, bagaimana dengan sampah di luar areal RPTRA? Mengingat profesionalitas dan dedikasi (mentalitas) kita, saya pesimis semua itu bisa diatasi. Sehingga, pelaksanaan RPTRA itu tidak saja tak akan optimal dalam mewujudkan tujuannya. Tapi, juga menyisakan masalah. Khususnya, bagi kita -- warga di sekitar RPTRA.

Banyak contoh bagaimana program pemerintah yang pelaksanaannya tak seindah teori dan aneka aturan yang dibikinnya. Mulai dari kebijakan atau program penataan TPU agar tampak rapi, program bagi-bagi ayunan, sampai yang paling gres: Kebijakan terkait PPSU. 

PPSU, sebenarnya bagus. Ia merupakan bagian dari kebijakan Gubernur Ahok untuk memberikan sejenis otonomi lebih luas kepada Lurah, sekaligus memberdayakan warga setempat. Dengan harapan, kebersihan benar-benar terwujud di lingkungan kelurahan -- yang artinya di setiap RW dan RT -- termasuk sejumlah fasilitas umum yang ada di wilayahnya. 

Faktanya? Got di sepanjang jalan Kramat Jaya-Jothet tak pernah benar-benar bersih. Atau, kebersihan di Taman Krajaba itu: Selain sikap dan prilaku pengunjung, juga tak lepas dari profesionalisme dan dedikasi petugas PPSU yang bertugas di sana. Bukan saja tak setiap hari datang bertugas, tapi sekalinya datang pun sudah siang -- dengan alasan harus apel dulu dan mengerjakan taman depan (Taman Sengon) lebih dahulu. Sementara, aktivitas menyapu yang dilakukannya pun asal saja. Asal kelihatan kerja. Banyak sampah/daun yang tidak tersapu, baik di atas rumput maupun yang berada di sela-sela tanaman. Bahkan, seringkali hanya mengerjakan bagian selatan, yang dekat tembok/rumpun bambu. Bagian utara, dibiarkan begitu saja. Sehingga, mempertegas kekumuhan yang ada.

Lapor ke Qlue? Bukan tak pernah saya lakukan. Masalahnya: Haruskah kita mengadukan hal yang sama, yang menyangkut tugas pokok dan rutin, setiap saat? Ada sejumlah kasus terkait laporan saya ke Qlue yang justru konyol dan menjengkelkan. Tapi, ini kita bahas lain kali saja.

Itu soal profesionalisme, dedikasi, dan konsistensi petugas di lapangan. Belum lagi soal konsistensi di level atas, di level Gubernur. Dengan adanya pergantian Gubernur, apakah kebijakan soal RPTRA ini akan diteruskan atau malah disempurnakan? Mengingat pengalaman kita selama ini, yang "ganti pemerintahan ganti kebijakan", saya meragukannya.

Kalaupun tidak dihapuskan, kebijakan RPTRA ini tak mendapat perhatian seserius di masa Ahok ini. Artinya, perhatiannya -- termasuk pengawasannya -- akan berkurang. Ujung-ujungnya hanya menghasilkan kebisingan dan kekumuhan baru di lingkungan kita. 

(Ihwal ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah ini, para sesepuh mungkin bisa memberi kesaksian soal nasib kebijakan "proyek percontohan sistem keamanan lingkungan" yang dulu pernah diterapkan di komplek kita ini). 

5. Bertentangan dengan atau mengabaikan sejarah dan tujuan awal keberadaan Taman Krajaba.

Sebagaimana disampaikan Pak Surya, keberadaan taman tersebut tak lepas dari jerihpayah Pak Surya dan warga-warga senior lainnya. Semula, taman itu diajangkan developer (PT Pembangunan Jaya) tak ubahnya kavling-kavling lainnya. Artinya untuk dibangun sebagai rumah. Adalah Pak Surya CS yang meminta developer agar kedua kavling itu "dihibahkan" kepada warga, sebagai fasilitas sosial, sekaligus nilai tambah komplek. Pak Surya CS pula yang membangun taman itu. Mulai dari meratakan dan merapikan lahan, termasuk membangun lapangan basket bagi warga komplek. Ia baru mendapat sentuhan tangan pemerintah, baik dalam hal penataan maupun pemeliharaannya, ketika Sutiyoso menjabat Gubernur.

Artinya, taman itu sebenarnya bagian dari Komplek Kramat Jaya Baru, diperuntukkan sebagai fasilitas komplek, untuk warga komplek. Hak eksklusif warga komplek. 

Kalaupun selama perjalanan ini, taman tersebut terbuka untuk umum (khususnya warga sekitar komplek) tak lebih dari usaha warga (khususnya para sesepuh) untuk membaur dengan warga sekitar, untuk mengurangi kesenjangan yang ada. Sayangnya, kebaikan tersebut menjadi tak terkendali dan merugikan warga komplek sendiri. Alih-alih bisa menikmatinya, warga komplek malah seperti orang yang menumpang dan hanya mendapatkan kekumuhan dan ketidaknyamanan lainnya. Selama saya tinggal di komplek ini, warga komplek yang menginjak taman itu bisa dihitung dengan jari. Saya bisa sebutkan satu per satu siapa saja. 

6. Bertentangan atau mengabaikan usaha-usaha yang sedang dilakukan warga dan pengurus RT 014/01.

Mengiringi penutupan pintu belakang, pintu yang menghubungkan RT 14 dengan RW 18, muncul wacana di antara warga dan pengurus RT untuk meningkatkan lagi kualitas kenyamanan, keamanan, dan kebersihan di lingkungan RT 14. Baik berupa penyelesaian pembangunan pagar bagian selatan RT 14 maupun penerapan sistem satu pintu keluar/masuk, penambahan tenaga kebersihan dan tenaga keamanan, lengkap dengan penerapan sistem penjagaan 24 jam yang dilakukan petugas dengan latarbelakang kemiliteran. Menegaskan kembali bahwa RT 14, khususnya di lingkungan sekitar Taman Krajaba, merupakan daerah ekslusif. Semua wacana dan rencana itu semata demi meningkatkan kenyamanan warga.

Nah, rencana pembangunan RPTRA itu seakan mengabaikan usaha-usaha tersebut. Justru menjadikan kawasan RT 14 sebagai wilayah terbuka, dan tentunya malah menurunkan kualitas kenyamanan dan ketentraman yang justru ingin ditingkatkan itu.

Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati,

Itulah alasan-alasan yang mendasari saya menolak gagasan/rencana pembangunan RPTRA di Taman Krajaba ini. Sangat mungkin, saya mengemukakannya dengan cara berlebihan, agak melebar, dan tentu saja subyektif. Tapi, itulah yang ada di kepala saya. Bahwa rencana tersebut harus kita tolak secara tegas.

Dan bagi saya, penolakan ini tak semata menyangkut kenyamanan kita sebagai "warga yang kebetulan diberi rezeki lebih" (meminjam istilah yang dipakai Pak Eddy.S dalam acara sosialisasi) yang akan terganggu. Tapi, juga mengingatkan sekaligus mendorong pemerintah untuk menuntaskan dan menyelesaikan masalah yang jauh lebih besar dan mendasar: Penataan ulang kawasan Kramat Jaya (RT 01 sampai RT 13). Selama kawasan tersebut dibiarkan seperti sekarang ini, program apapun yang terkait fasilitas atau ruang publik di lingkungan RW 01 tak akan banyak artinya bagi penyelesaian masalah sosial yang ada di kawasan ini. 

Kalaupun, RPTRA ini tetap harus terwujud di RW 01 tanpa menunggu penataan ulangan kawasan tadi, sebagai alternatif saya mengusulkan:

1. Pemanfaatan Taman Sengon. Kendati sama-sama mengurangi RTH, setidaknya tak menganggu kenyamanan kita.

2. Pemanfaatan Kantor RW. Kalaupun tak bisa menambah luasnya, dengan membebaskan atau menyewa atau kerjasama dengan pemilik rumah kiri-kanannya, bangunan kantor itu mungkin bisa direnovasi atau dibangun ulang menjadi sekian lantai, sehingga RPTRA bisa terwujud -- walaupun fasilitasnya tetap terbatas. Opsi ini, selain tak mengganggu kenyamanan kita, juga jauh lebih dekat dengan sasaran program RPTRA ini.

3. Optimalisasi dan memberdayakan lembaga-lembaga yang ada -- baik PKK, Karang Taruna, majelis ta'lim, mesjid, gereja, dan lain sebagainya -- untuk menyampaikan isu-isu yang diusung RPTRA. Tak perlu ada pembangunan fisik, paling hanya pengecatan ulang kantor RW dan memperbaiki kualitas jambannya. Artinya, biaya yang dikeluarkan pemerintahpun bisa lebih sedikit. Bahkan, petugas pun tak perlu merekrut sosok baru. Cukup mengoptimalkan tenaga yang ada dalam struktur organisasi RW yang ada. Baik Hansip/Penjaga/Keamanan, Tenaga Adiministrasi, maupun Karang Taruna. Sehingga, dengan memanfaatkan dana operasional RPTRA ini, lembaga-lembaga yang ada di lingkungan RW 01 pun bisa lebih terasa keberadaannya. Tak ada lagi alasan tak ada kegiatan karena tak ada dana atau modal kegiatan.

Akhirul kalam, saya mohon maaf bila apa yang saya sampaikan ini tak berkenan di hati Ibu dan Bapak. Juga, saya mohon maaf bila saya menyampaikan semua ini dengan gaya aktivis seperti ini: Dengan cara tertulis. 

Krajaba, 16 Mei 2017

Salam dan hormat saya,

Maman Gantra

Catatan :

Tulisan ini pertama kali saya posting di facebook (https://www.facebook.com/notes/maman-gantra/kenapa-saya-menolak-pembangunan-rptra/456354928046060/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun