Mohon tunggu...
Maman Gantra
Maman Gantra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kenapa Saya Menolak Pembangunan RPTRA di Taman Krajaba

7 Oktober 2017   17:42 Diperbarui: 16 Oktober 2017   13:56 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara itu, masih menurut Bapak Eddy S juga, RPTRA sebenarnya membutuhkan lahan terbuka minimal seluas 700-1.500 m2. Sedangkan luas Taman Krajaba sekarang ini tak sampai 500 m2. Paling hanya 400 m2. Artinya, bila rencana pembangunan itu dilaksanakan, hal tersebut juga menyalahi standar yang sudah ditetapkan Pemda sendiri. 

3. Potensial menambah "limbah" atau "dampak buruk" yang dirasakan langsung oleh warga warga RT 14 umumnya, warga di sekitar Taman Krajaba khususnya.

Dengan menjadikannya sebagai RPTRA, lengkap dengan segala kegiatan dan fasilitasnya, tentunya akan menjadikan Taman Krajaba sebagai pusat keramaian. Tak hanya warga RW 01 yang akan datang ke kawasan ini. Tapi juga warga dari RW lain atau bahkan dari kelurahan lain. 

Sebagaimana terjadi selama ini, sejauh yang saya ketahui, pengunjung taman itu tak sedikit dari Tanah Tinggi, Rawasari, Kwitang, bahkan...Bekasi, Tangerang, dan Malang! Mereka tak hanya anak-anak sekolah atau anak-anak remaja. Tapi, juga orang dewasa -- orangtua. Baik yang datang bersama anaknya, sendirian, ataupun bergerombol. Dan ini, antara lain, selain jaringan pertemanan antara warga RW 01 dengan warga masyarakat di luar lingkungan RW 01, juga karena lokasi taman tersebut yang tersembunyi dari jalur lalulintas plus kondisinya yang relatif teduh membuat dia menjadi tempat atau titik kumpul ataupun sekadar persinggahan dan tempat bermain para pelintas atau warga luar.

Sejauh tertib dan menjaga kebersihan, sebenarnya hal tersebut tak menjadi masalah. Tapi, faktanya, taman tersebut tak pernah bersih. Jangankan asri, untuk sekadar bersih pun sulit. Justru kekumuhanlah yang ada. Selain faktor pengelolaan alias kinerja petugas yang bertugas mengurus taman itu, kekumuhan tersebut lebih banyak disebabkan mentalitas dan prilaku para pengunjungnya -- yang notabene warga di luar lingkungan RT 14.

Sebagai setengah pengangguran yang juga tinggal tepat di depan taman itu, sekaligus memposisikan diri sebagai "petugas keamanan dan kebersihan" di sana, saya menyaksikan dan merasakan bagaimana situasi dan kondisi Taman Krajaba sehari-hari. Praktis 24 jam sehari, 7 hari sepekan. Ibu-ibu dengan daster belel, pemulung atau tukang loak (bahkan petugas kebersihan taman) yang siesta (tidur siang), anak-anak sekolah, dan berbagai jenis manusia yang laku dan penampilannya tak selamanya nyaman di mata dan selere "kelas menengah ngehe". Lebih dari itu, limbah yang mereka tinggalkan. Bahkan setelah penutupan pintu yang menghubungkan RT 14 dengan RW 18 itu, ketika anak-anak RW 18 tak lagi "menguasai" taman itu, dan taman serta beberapa titik jalan disediakan tempat sampah.

Sekadar informasi saja, untuk menggambarkan produktivitas sampah yang dihasilkan para pengunjung taman itu: Sedikitnya, dalam semalam (saya biasa memunguti sampah-sampah itu malam hari -- selepas magrib atau malah dini hari, sebelum shalat subuh) saya bisa mengumpulkan 15-20 botol plastik bekas air mineral. Sebelum peristiwa tawuran terakhir, yang berlangsung di Taman Krajaba, "produktivitas"-nya bisa lebih tinggi lagi: Mencapai 56 botol! (Toh, jumlah ini, walau tipis, belum memecahkan rekor ketika pintu itu masih terbuka: 72 botol!)  

Itu hanya botol. Sampah lainnya, yang berupa kantong plastik, gelas plastik, potongan kayu, bambu, payung butut, sandal, geretan, dll, tidak saya hitung. Tapi, semua itu sedikitnya bisa mencapai satu kantong plastik ukuran sedang. Bahkan, untuk gelas bekas minuman, saya pernah mengumpulkan sampai 2 kantong plastik besar. Sementara, sebelum kasus tawuran tadi, pernah mencapai satu karung ukuran 25 kg. 

Dan semua sampah itu, sebelum saya punguti, tentunya tersebar di seantero taman. Bahkan, terselip di sela-sela tanaman yang turut memagari taman itu, pot bunga atau got sekitar taman. Mulai dari ujung (kediaman Pak Imsi) sampai rumah Pak Herry, serta depan rumah Bu Halim. (Tentang "produktivitas" got, awal musim hujan kemarin, 2016, dari got sepanjang rumah Pak Herry saja, dari sebrang rumah Pak Adib sampai sebrang samping taman), saya berhasil mengumpulkan 5 karung sampah non organik! Itu tak termasuk potongan kayu, besi, batu, lumpur, atau dedaunan. Sementara, dari deretan rumah saya, alhamdulillah, tak sampai satu karung -- karena praktis dipunguti lebih setiap hari).

Itu dari masalah sampah saja. Belum lagi dari soal ketertiban lainnya. Mulai dari parkir motor, teriakan anak-anak, yang kerap diimbuhi kata-kata kotor, anak-anak yang terpaksa main bola di jalan (karena lapangan utama dipakai anak-anak yang lebih besar, para ABG) yang tak hanya menyulitkan para pengendara motor atau mobil, tapi juga meninggalkan batu bekas gawang atau malah coretan-coretan di jalan. Juga, gerombolan anak-anak setengah gede yang nongkrong di depan pintu gerbang.

Harus saya sampaikan: Setelah penutupan pintu belakang itu, sebelum peristiwa tawuran terakhir, jumlah pengunjung taman itu kian bertambah. Khususnya di sore hari, kala permainan bola digelar. Pernah tak kurang dari 27 sepeda motor yang diparkir mulai dari depan rumah Pak Eddy, depan rumah saya, dan kemudian menyambung di sebagian samping rumah Pak Herry dan depan rumah Bu Halim. Sementara, selain memadati taman, sejumlah anak membuat gerombolan lain dengan duduk di depan gerbang rumah saya, dan depan dua pintu gerbang rumah Pak Triono (yang diapit rumah saya dan rumah Pak Adib). Situasi dan kondisi di atas adalah kondisi sekarang, ketika Taman Krajaba apa adanya -- belum menjadi RPTRA. Dan belum memperhitungkan kehadiran para pedagang makanan atau mainan. Walau, berbeda dari sebelum pintu belakang ditutup, kehadiran pedagang di sekitar Taman Krajaba memang berkurang. Tapi, dengan adanya RPTRA, kehadiran mereka dipastikan akan kembali menjadikan kawasan Taman Krajaba seperti sebuah bazar, sebuah festival. Riuh dengan teriakan anak-anak atau remaja, dan berujung pada sampah yang berserakan -- khususnya di jalan sekitar RPTRA itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun