Mohon tunggu...
Maman Gantra
Maman Gantra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kenapa Saya Menolak Pembangunan RPTRA di Taman Krajaba

7 Oktober 2017   17:42 Diperbarui: 16 Oktober 2017   13:56 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pelaksanaannya, RPTRA ini umumnya memanfaatkan taman-taman atau ruang terbuka hijau yang sudah ada. Sehingga, secara sederhana, RPTRA ini bisa disebut sebagai Taman Plus. Sebab, berbeda dengan taman-taman yang kita kenal selama ini, selain fasilitas-fasilitas tadi, RPTRA dilengkapi dengan pengelola dan penjaga yang digaji sesuai UMR DKI. Merekalah yang bertugas mengelola kegiatan -- termasuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kebersihan RPTRA. Mereka bertugas selama 24 jam! Selain itu, para pengelola tadi akan didampingi oleh para pakar terkait pendidikan dan pengembangan masyarakat. Apakah psikolog, akhli kesehatan masyarakat, akhli manajemen, dsb. Bahkan, untuk urusan desainnya pun, pembangunan sejumlah RPTRA  melibatkan para arsitek ternama. Sementara, biaya pembangunan fisiknya, yang berkisar Rp 450 juta -- 700 juta, sejauh yang saya tahu umumnya berasal dari program CSR (Corporate Social Responsibility) sejumlah grup/perusahaan besar. Selama ini sudah ratusan RPTRA yang dibangun Pemprov DKI di seluruh Jakarta -- antara lain, di sekitar kita, di Kelurahan Tanah Tinggi. Targetnya, tahun 2017 ini pemerintah "harus" membangun 300 RPTRA baru.

Walau mengakui RPTRA sebagai program atau konsep yang bagus, saya pribadi tidak menyetujui rencana pembangunannya di Taman Krajaba. Sikap ini sudah saya sampaikan secara informal (kala bertemu dengan Lurah, Kepala Dinas Perumahan, beserta jajarannya, ketika mereka meninjau ke lokasi). Demikian juga dalam acara sosialisasi rencana tersebut yang berlangsung di kantor RW 01, Mei 2017. (Sayangnya, karena saya sedang mengerjakan sesuatu, saya tak bisa mengikuti acara tersebut sampai usai -- termasuk memaparkan ketidaksetujuan saya secara lebih rinci). 

Saya menilai, pembangunan RPTRA di Taman Krajaba ini hanya permen (gula-gula) bagi persoalan (sosial) yang ada di RW 01 -- termasuk dan terutama tawuran. Seperti disampaikan pejabat dari Dinas Perlindungan Anak, aksi tawuran yang kerap terjadi di lingkungan kita ini tak lepas dari kondisi rumah dan lingkungan fisik pemukiman mereka. Sudahlah ukurannya sempit/kecil, penghuninya banyak pula, ruang tempat nongkrong atau beraktivitas positifpun tidak ada. Tak ada ruang publik -- tertutup maupun terbuka -- yang memadai, baik dari segi kelapangan (luas) maupun fasilitas yang ada di dalamnya.

Dalam pikiran saya, alih-alih langsung membangun RPTRA, kenapa pemerintah tidak lebih dulu menyediakan rumah yang memadai dan manusiawi tadi -- lengkap dengan fasilitas umum atau ruang publik terbukanya? Ini sejatinya pokok keberatan saya terhadap rencana pembangunan RPTRA tersebut. Hemat saya, selama kawasan RT 01 sampai RT 013 belum atau tidak ditata ulang -- menjadikan kawasan itu sebagai kawasan vertikal, sebagai pilihan yang paling rasional di tengah keterbatasan lahan dibandingkan kebutuhan atau jumlah penduduk yang ada, yang dilengkapi dengan aneka fasilitas umum (mulai dari ruang parkir, arena olahraga, arena bermain anak, ruang terbuka hijau/taman, gedung pertemuan, dan lainnya); kehadiran RPTRA di lingkungan RW 01 tak akan mampu memberikan sumbangan yang signifikan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas masalah sosial yang ada di RW kita ini, termasuk dalam hal tawuran.

Selain hal mendasar tersebut, sejumlah hal lainnya juga menjadi alasan ketidaksetujuan saya. Di antaranya:

1. Rencana tersebut berlawanan atau tidak konsisten (tidak sesuai) dengan kebijakan Pemda DKI terkait kebutuhan akan Ruang Terbuka Hijau (RTH). 

Sering disebutkan, bahwa -- akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak terkendali -- DKI dan banyak kota di Indonesia kekurangan RTH. Saya tidak hapal, berapa persen dari luas DKI luas RTH yang diperlukan. Yang pasti saat ini, kita sangat kekurangan. Dan dampaknya bisa kita rasakan sehari-hari: Selain sulitnya mencari taman-taman hijau, udara yang menyengat pun semakin terasa -- walau ini ikut disebabkan pula oleh hal lain. Apapun, karena akan ada bangunan di atasnya, pembangunan RPTRA di Taman Krajaba akan mempersempit lagi bukaan hijau di taman tersebut. 

Dalam hal RTH, pemerintah memang memiliki kriteria dan kelas-kelas. Mulai dari klasifikasi Taman Pemakaman Umum, Hutan Kota, sampai Taman. Klasifikasi ini pun ada kelas-kelasnya. Salah satunya, terkait boleh tidaknya ada tutupan semen/beton/aspal -- baik berupa jalan setapak ataupun bangunan. Kalaupun boleh sebuah kawasan RTH memiliki tutupan, luas tutupan itu sendiri ada batasannya. Hanya sekian persen dari luas RTH tersebut.

Hanya, apapun kelasnya, pembangunan RPTRA di Taman Krajaba ini tetap bertentangan dengan kebutuhan akan RTH tadi. Sebab, menurut paparan Bapak Eddy S, RPTRA di Taman Krajaba tersebut selain akan memiliki lapang volley dan badminton sebagaimana selama ini, juga akan dilengkapi dengan jalur joging (jogging track), jalur refleksi, dan sebuah bangunan serbaguna. Artinya, pembangunan RPTRA ini juga kian mempersempit bukaan hijau, yang antara lain berfungsi sebagai resapan air, yang justru sekarang ini sangat devisit (kurang).

Tapi, kan "penyimpangan" itu tak akan berpengaruh terhadap persoalan lingkungan yang ada? Benar. Tapi, hemat saya, sekecil apapun kita menambah atau mempertahankan luas resapan air, yang menjadi salah satu fungsi RTH, itulah salah satu sumbangan dan langkah kongkrit kita untuk ikut mengatasi persoalan lingkungan -- baik di tingkat kota, nasional, maupun global. Sebaliknya, sekecil apapun pengurangan RTH hanya akan memperparah persoalan lingkungan yang ada. Terlebih bila semua orang berfikir seperti itu. "Ah, cuma..."

2. Bertentangan dengan aturan teknis RPTRA itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun