Disclaimer: postingan ini akan sangat panjang karena menulis kutipan-kutipan.
Dian Kaizen Jatikusuma (DKJ) di artikelnya yang di sini, di sini, dan di sini, dengan sigap menyampaikan banyak hal. Saya akan menanggapi yang menurut saya perlu ditanggapi saja. Tulisan ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari tulisan saya yang sebelumnya: Liberalism Menurut Saya: Tanggapan terhadap Dian Kaizen Jatikusuma.
Permasalahan saya ketika akan menanggapi tulisan DKJ adalah beliau tidak mengutip sumber dari 'kata-kata bijak'-nya sehingga saya tidak mampu mencerna konteks dari kalimat bijak tersebut. Oke, kita mulai saja ya.
“Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain.. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya.. Hanya Tuhan yang tahu mana yang paling benar. Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi, di akhirat kelak..”
Tanggapan DKJ:
Wow, wow, wow, tunggu dulu.. Jika saja hanya Tuhan yang berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja.. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak.... dst...
Tanggapan Saya:
Kembali ke kendala ketiadaan sumber yang dikutip DKJ membuat saya kesulitan memberikan tanggapan. Apa yang dimaksud dengan 'keburukan' di sini? Contoh-contoh yang disajikan DKJ mengenai: "korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain", di tambah "buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura" menjadi bukti campur aduk antara norma yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama dengan UU dan peraturan pendukung (korupsi, mencuri, membunuh, buang sampah, dan merokok sembarangan) - yang sudah tentu semua, termasuk kaum liberal - sudah sepakat bahwa tidak ada pembiaran atas norma ini, negara dan pemerintah perlu turut campur dan menegakkan aturan, seperti ulasan saya di postingan yang ini. Kalo keburukan yang dimaksud ini adalah berbohong, tentu menjadi masalah kalo seseorang berbohong di muka pengadilan dan saksi palsu. Jadi, perlu dibedakan antara keburukan yang merupakan pelanggaran atas norma hukum, norma agama, dan norma sosial karena penghukuman dan pembiarannya pun berbeda.
“Kenapa kita ribut-ribut masalah yang sepele sih? Pornografi diributin, penulis buku yang mempromosikan lesbi dihalangin.. Lady Gaga diributin.. Mendingan urusin tuh koruptor, mereka yang lebih berbahaya bagi bangsa kita ini..”
Weks.. Ini sih sama saja dengan: “Ngapain kita tangkap orang yang nyolong sandal, tuh yang maling motor aja dikejar..”. Lha perbuatan buruk, besar atau kecil, tetap harus dihalangi.. Jika orang tersebut menentang pornografi, bukan berarti dia diam saja terhadap koruptor kan? Bukankah lebih baik kita menjaga dari keduanya.. Katakan: say no to pornografi dan korupsi! ...dst...
Tanggapan Saya:
Menurut saya ini masalah prioritas. Ada hal yang memang jelas mengambil hak orang lain (korupsi) dan ada hal yang merupakan upaya melindungi seseorang dari dirinya sendiri. Melindungi hak rakyat dari koruptor, mohon maaf, bagi saya lebih penting dari melindungi seseorang dari godaan pornografi. Jangan sampai karena ketiadaan prioritas, tugas negara dan pemerintah yang pokok untuk melindungi hak jadi terbengkalai.
Saya sependapat bahwa kedua prioritas ini tidak perlu saling menegasikan dan bisa jalan bareng-bareng, tapi tetep aja punya prioritas dan alokasi sumber daya yang berbeda.
“Lady Gaga koq diributin.. Apa bedanya dengan yang sudah ada di Indonesia? Penyanyi Indonesia juga banyak tuh yang seronok. Tuh penyanyi dangdut seronok masuk sampai ke kampung-kampung, ditonton anak-anak. Jika mau adil, yang seperti itu juga dilarang dong..”
Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak yang menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang lain juga dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya namanya?), juga ditentang dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok koq’...dst...
Tanggapan Saya:
Saya setuju dengan upaya melindungi seseorang dari diri sendiri, terutama bagi anak-anak. Perlindungan bagi anak-anak ini yang jelas negara dan pemerintah abai. Konten pedofilia dan pelaku pedofilia meraja lela di Indonesia, apakah karena kita terlalu abai atau karena pengen semua hal terkait pornografi dihajar saya tidak tahu.
Upaya pembatasan usia akses hiburan, termasuk konser apa pun, bagi saya lebih realistis daripada kita mengalokasi seluruh sumber daya untuk memerangi semua hal.
“Kita hidup dlm masyarakat yg sangat plural, sehingga setiap individu hendaknya bebas memilih & menjalankan apapun prinsip hidupnya (termasuk mendukung Irshad Manji atau Lady Gaga), lalu semuanya saling menghormati dlm segala perbedaan pilihan tsb”
Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu suku Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang yang mendukung Sumanto, lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai kanibal, maka ayam goreng Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang yang nenteng-nenteng pisau daging dan botol merica di jalanan.. dst...
Tanggapan Saya:
Dapat dicek di tulisan saya yang ini, prinsip kebebasan menjalankan hak seseorang dibatasi oleh: tidak merugikan hak orang lain, dan tidak mewajibkan orang lain memenuhi hak kita. Contoh Sumanto dan Amrozi jelas merupakan kesalahan aplikasi teori liberal, karena keduanya jelas-jelas tidak menghormati hak orang lain: untuk hidup, dan untuk hidup tenang setelah meninggal. Contoh yang aneh... :(
“Apa salahnya dengan pornografi? Atau lesbi? Atau perbuatan-perbuatan maksiat lainnya? Toh ga merugikan anda. Jika anda tidak suka, ya ga usah ditonton, ga usah diikuti. Jika takut anak anda terpengaruh, ya perkuat pendidikan iman anak-anak anda. Kalau iman sudah kuat, mau 1000 Lady Gaga datang ke Indonesia, iman kita (dan anak-anak kita) tidak akan terpengaruh..”
Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap lingkungan kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga kita yang buang sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya mana mungkin dia dengan ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan milik mbahmu, lantas kenapa ente yang sewot?” ... dst...
Tanggapan Saya:
Saya sependapat dengan argumen bahwa setiap tindakan akan berpengaruh terhadap lingkungan, untuk itulah ditetapkan aturan perundang-undangan, norma agama, dan norma sosial. Contoh buang sampah itu jelas-jelas pelanggaran norma hukum, dan tidak pas kalo dianalogikan dengan pernyataan yang dibahas.
Contoh-contoh DKJ mengenai memperkosa, menabrak, merampok, dan membunuh juga merupakan jelas-jelas pelanggaran norma hukum dan adalah peran negara dan pemerintah untuk secara konsisten menerapkan hukum atas ini.
“Menonton atau membaca pornografi, kekerasan, atau apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh semua manusia dibekali filter untuk menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya baca atau tonton ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”
Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang pelaku ingin menceburkan diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak sekarang?...dst...
Tanggapan Saya:
Saya sependapat bahwa manusia sangat mungkin berubah, sebesar apa pengaruh lingkungan dalam hal perubahan ini yang saya masih ragu. Perbedaan pengaruh antara nature dengan nurture saja masih belum selesai, bagi saya. Menyerahkan penyebab perubahan hanya karena lingkungan menurut saya bukan hal yang bijak. Saya tetap percaya dengan kredo economics, "people respond to incentives."
“Di masyarakat yang plural ini, janganlah ada pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan pilihannya sendiri, tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai yang dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu anut terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”
Sulit membantahnya kan?"
Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur? Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan anda sekarang:”... dst...
Tanggapan Saya:
Kembali ke pemahaman liberal saya di sini, setiap orang bebas melaksanakan hak dan kehendaknya masing-masing. Sebagai konsekuensi kebalikannya, setiap orang juga berhak untuk tidak melaksanakan haknya. Tentu. Makanya, contoh analogi DKJ mengenai pemaksaan kehendak dengan seseorang yang bekerja dari jam 8 sampai jam 5, tidak puas dengan gaji, menurut saya tidak pas karena tidak ada yang memaksakan kehendak atas hal ini (terkecuali istri atau orang tua Anda, dan itu urusan lain dan terpisah.
Karena tentu saja, seseorang dapat segera resign dari pekerjaannya, dan kembali bangun tidur jam 11, misalnya. Silakan saja.
Lain hal tentunya kalo Anda dateng ke sembarang orang di jalanab terus bilang, "Ente mesti kerja sama ane, dari jam 8 sampe jam 5." Itulah pemaksaan kehendak.
Saya sependapat dengan adanya pembatasan hak seseorang, Undang-undang, norma agama, dan norma sosial. Implementasi dari masing-masing tersebut di atur dengan kewenangan dan efektivitasnya masing-masing. Jangan mencampuradukkan semua norma itu. Silakan menegakkan norma sesuai dengan kewenangan dan kesepakatan bersama. Pemaksaan atas pencampuradukan norma tanpa kesepatak bersama hanya akan menghasilkan konflik.
Demikian tanggapan saya.
Terima kasih.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H