Mohon tunggu...
Abdurohman Sani
Abdurohman Sani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menggali Keresahan Transendental Pada Kemiskinan dalam Hadits; Perspektif Spiritual Ataukah Keserakahan

21 Oktober 2024   22:50 Diperbarui: 21 Oktober 2024   23:32 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

MENGGALI KERESAHAN TRANSENDENTAL PADA KEMISKINAN DALAM HADITS: PERSPEKTIF SPIRITUAL ATAUKAH KESERAKAHAN

Oleh;

Abdurohman As Sani

Edisi;

Bilba

Dimulai dari Keresahan yang mendalam mendorong saya untuk menulis esai ini, terlahir dari realitas interpretasi yang sering kali muncul dari para pengguna atau penerima hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, " " (kemiskinan itu dekat kepada kekufuran). Di berbagai ruang diskusi, hadits ini kerap dijadikan alasan bagi mereka yang mengejar kekayaan dan kenyamanan duniawi tanpa batas, seakan-akan mengesahkan ambisi terhadap harta dan materi. Hal ini mengarah pada legitimasi terhadap cinta dunia yang berlebihan, yang pada gilirannya melahirkan sikap serakah dan melupakan esensi spiritualitas yang sebenarnya lebih dalam dari sekadar ukuran materi. 

Kondisi ini secara tidak adil mendiskreditkan kehidupan orang-orang yang dipandang miskin secara zahir, mengabaikan makna kesederhanaan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Melalui esai ini, saya berharap dapat menggali kembali makna mendalam dari hadits tersebut, untuk menyingkap dimensi spiritual yang mungkin terlewatkan oleh pemahaman yang semata-mata materialistik, serta menunjukkan bahwa kemiskinan zahir bukanlah hal yang mutlak negatif, melainkan bisa menjadi jalan menuju kedekatan dengan Tuhan jika dipahami dengan benar.

Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, " " (kemiskinan itu dekat kepada kekufuran), sering kali menjadi subjek interpretasi yang beragam. Sebagian besar orang memahaminya dalam konteks kemiskinan zahir, yakni kekurangan materi, dan menjadikan hal tersebut sebagai dalil bahwa kemiskinan adalah suatu keadaan yang berbahaya dan harus dihindari. Namun, jika kita mencermati lebih jauh dan menggali aspek spiritual dari hadits ini, kita mungkin akan menemukan bahwa kemiskinan yang dimaksud tidak sekadar merujuk pada kondisi fisik, sosial atau materi, melainkan juga kepada kondisi hati dan spiritual seseorang.

Keresahan terhadap Pemaknaan yang Terlalu Materialistik

Pemahaman bahwa kemiskinan zahir adalah suatu kondisi yang sedemikian berbahaya sehingga mendekati kekufuran sering kali dikaitkan dengan rasa takut terhadap kekurangan materi dan hasrat mengejar kekayaan duniawi yang berlebihan. Interpretasi ini cenderung digunakan oleh mereka yang khawatir akan kehilangan kenyamanan duniawi dan justru mendiskreditkan nilai-nilai positif dari kesederhanaan. Dalam hadits lain, Nabi SAW sendiri pernah berdoa:

" "

Artinya: "Ya Allah, hidupkanlah dan matikanlah aku sebagai orang miskin dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin" (HR At-Tirmidzi).

Doa ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW menghargai keadaan miskin dalam artian tertentu dan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang semata-mata negatif. Jika kemiskinan zahir sedemikian buruknya hingga mendekati kekufuran, tentu tidak mungkin Nabi berdoa untuk hidup dan mati dalam keadaan miskin. Ini menunjukkan bahwa ada dimensi lain dari kemiskinan yang dimaksudkan oleh baginda Nabi, yaitu kemiskinan hati, sikap kerendahan hati, kesederhanaan, dan keterlepasan dari keserakahan duniawi.

Hadits-Hadits yang Menunjukkan Keutamaan Kemiskinan

Lebih lanjut, banyak hadits yang menunjukkan keutamaan keadaan miskin. Di antaranya adalah sabda Nabi SAW:

" : : "

Artinya: "Maukah kusampaikan kepada kalian tentang ahli surga?" Para sahabat menjawab, "Tentu." Beliau bersabda, "Orang-orang yang lemah dan diremehkan. Andaikan orang ini bersumpah atas nama Allah (berdoa), pasti Allah kabulkan." (HR Bukhari dan Muslim).

An-Nawawi dalam syarah hadis ini menyatakan:

...

Makna hadis: "Dia diremehkan masyarakat, dianggap hina, suka disuruh-suruh. Karena dia lemah dari sisi dunianya. Maksud hadis ini adalah umumnya penduduk surga orangnya semacam itu, bukan maksudnya seluruh penduduk surga." (Syarh Muslim An-Nawawi, 17:187)

Hadits ini menggambarkan bahwa kebanyakan ahli surga adalah mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan ketawadhuan. Penekanan pada keutamaan mereka yang tidak terpikat oleh gemerlap dunia menunjukkan bahwa kemiskinan yang dimaksud pada hadits "kemiskinan yang mendekatkan pada kekufuran" yang menjadi topik utama pembahasan esai ini bukan sekadar kondisi zahir. Makna kemiskinan di sini lebih kepada sikap hati yang tidak bergantung pada dunia, serta kekayaan hati yang menjadikan seseorang tidak mudah terperdaya oleh kemewahan.

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

" "

Artinya: "Saya pernah berdiri di pintu surga, ternyata umumnya orang yang memasukinya adalah orang miskin. Sementara orang kaya tertahan dulu (masuk surga). Hanya saja, penduduk neraka sudah dimasukkan ke dalam neraka." (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Saya pernah melihat surga, aku lihat kebanyakan penduduknya adalah orang miskin." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits ini menegaskan bahwa kebanyakan atau umumnya penghuni surga adalah orang miskin, sementara mereka yang kaya tertahan sebelum masuk surga. Tentu saja, ini bukan berarti kekayaan adalah keburukan, tetapi lebih menyoroti bahwa kemiskinan, jika dipahami dengan cara yang benar, justru bisa menjadi sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT.

Perspektif Para Nabi dan Tasawuf

Dalam sejarah kenabian, kita juga melihat bahwa sebagian besar dari sekian ribu nabi dan rasul menjalani kehidupan yang sederhana dan jauh dari kekayaan materi. Mereka tidak melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang buruk atau hina. Hanya sedikit nabi yang tercatat sebagai orang kaya, seperti Sulaiman AS Putra Nabi Dawud AS Namun, kekayaan Sulaiman bukanlah bentuk keserakahan, melainkan anugerah yang dijalani dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab.

Dalam tradisi tasawuf, kemiskinan lebih dipahami sebagai kondisi hati yang lepas dari ketergantungan pada dunia. Sebagaimana dikatakan oleh para sufi: "Seseorang tidak disebut kaya selama dia masih membutuhkan sesuatu," yang menunjukkan bahwa kaya atau miskin sejatinya lebih berkaitan dengan kondisi mental dan spiritual seseorang daripada kondisi zahirnya. Orang yang memiliki hati yang lapang, walaupun tidak memiliki banyak harta, bisa disebut kaya dalam pandangan spiritual.

Kesimpulan: Memecah keresahan spiritual diantara Kesederhanaan dan Keserakahan

Pemahaman yang lebih mendalam atas hadits "kemiskinan itu dekat kepada kekufuran" terdapat dua aspek dimensi diksi yang menuntun kita untuk melihat kemiskinan tidak hanya dari aspek materi, tetapi juga dari dimensi spiritual. Sikap miskin hati berarti; tidak menjaga kesederhanaan, terikat oleh nafsu dunia, dan mendekatkan diri kepada keserakahan. Dengan memahami hadits ini secara seimbang, kita dapat menghargai keutamaan kesederhanaan dan hidup sederhana tanpa mendiskreditkan mereka yang miskin secara zahir maupun mengagungkan mereka yang kaya secara berlebihan.

Hadits ini seharusnya tidak dijadikan dalil untuk melegitimasi kecenderungan mengejar kekayaan duniawi dengan mengabaikan nilai-nilai spiritual dan mendiskreditkan kemiskinan zahir. Sebaliknya, hadits ini justru mengajarkan kita untuk memperkuat hati agar tidak mudah terpengaruh oleh godaan dunia, baik dalam keadaan kaya maupun miskin. Dengan demikian, setiap individu, terlepas dari kondisi materi mereka, dapat terus berupaya mendekatkan diri kepada Allah 

SWT dengan sikap hati yang berserah dan penuh keikhlasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun