" "
Artinya: "Saya pernah berdiri di pintu surga, ternyata umumnya orang yang memasukinya adalah orang miskin. Sementara orang kaya tertahan dulu (masuk surga). Hanya saja, penduduk neraka sudah dimasukkan ke dalam neraka." (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Saya pernah melihat surga, aku lihat kebanyakan penduduknya adalah orang miskin." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits-hadits ini menegaskan bahwa kebanyakan atau umumnya penghuni surga adalah orang miskin, sementara mereka yang kaya tertahan sebelum masuk surga. Tentu saja, ini bukan berarti kekayaan adalah keburukan, tetapi lebih menyoroti bahwa kemiskinan, jika dipahami dengan cara yang benar, justru bisa menjadi sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT.
Perspektif Para Nabi dan Tasawuf
Dalam sejarah kenabian, kita juga melihat bahwa sebagian besar dari sekian ribu nabi dan rasul menjalani kehidupan yang sederhana dan jauh dari kekayaan materi. Mereka tidak melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang buruk atau hina. Hanya sedikit nabi yang tercatat sebagai orang kaya, seperti Sulaiman AS Putra Nabi Dawud AS Namun, kekayaan Sulaiman bukanlah bentuk keserakahan, melainkan anugerah yang dijalani dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab.
Dalam tradisi tasawuf, kemiskinan lebih dipahami sebagai kondisi hati yang lepas dari ketergantungan pada dunia. Sebagaimana dikatakan oleh para sufi: "Seseorang tidak disebut kaya selama dia masih membutuhkan sesuatu," yang menunjukkan bahwa kaya atau miskin sejatinya lebih berkaitan dengan kondisi mental dan spiritual seseorang daripada kondisi zahirnya. Orang yang memiliki hati yang lapang, walaupun tidak memiliki banyak harta, bisa disebut kaya dalam pandangan spiritual.
Kesimpulan: Memecah keresahan spiritual diantara Kesederhanaan dan Keserakahan
Pemahaman yang lebih mendalam atas hadits "kemiskinan itu dekat kepada kekufuran" terdapat dua aspek dimensi diksi yang menuntun kita untuk melihat kemiskinan tidak hanya dari aspek materi, tetapi juga dari dimensi spiritual. Sikap miskin hati berarti; tidak menjaga kesederhanaan, terikat oleh nafsu dunia, dan mendekatkan diri kepada keserakahan. Dengan memahami hadits ini secara seimbang, kita dapat menghargai keutamaan kesederhanaan dan hidup sederhana tanpa mendiskreditkan mereka yang miskin secara zahir maupun mengagungkan mereka yang kaya secara berlebihan.
Hadits ini seharusnya tidak dijadikan dalil untuk melegitimasi kecenderungan mengejar kekayaan duniawi dengan mengabaikan nilai-nilai spiritual dan mendiskreditkan kemiskinan zahir. Sebaliknya, hadits ini justru mengajarkan kita untuk memperkuat hati agar tidak mudah terpengaruh oleh godaan dunia, baik dalam keadaan kaya maupun miskin. Dengan demikian, setiap individu, terlepas dari kondisi materi mereka, dapat terus berupaya mendekatkan diri kepada AllahÂ