[caption id="attachment_155606" align="alignright" width="300" caption="Bidadari Jinak pemuja Dewa Matahari ©Mamak Ketol™"][/caption]
Salah satu Kompasianer tertarik untuk mengganti avatarnya. Wiro “Kupu-Kupu” Sembung namanya. Ini sudah sekian kalinya Wiro mengganti foto identitas dirinya di dunia maya. Fotonya yang terakhir berupa kupu-kupu, baru saja di-upload-nya pagi tadi.
Menurut pengakuan Wiro, ia ingin sesuatu yang baru dengan menggunakan bunga sebagai foto profilnya. Pilihannya jatuh pada bunga matahari yang konon mempunyai karakter kuat untuk mengekspresikan cinta yang tulus. Untuk keperluan itu, di suatu pagi yang cerah, pergilah Wiro Sembung ke Taman Ketol. Pada hari itu, ada prosesi ritual keagamaan tingkat internasional yang dipimpin oleh pendeta.
Selesai upacara, Wiro berjumpa dengan dua kuntum bunga matahari. Mereka adalah Bidadari Matahari Jinak dan Bidadari Matahari Liar. Wiro pun mulai pasang aksi. Berikut adalah percakapan ketiganya:
“Hai bidadari-bidadari cantik, kenalkan, namaku Wiro Sembung. Aku ini pendekar 444. Selain aktifis lingkungan, aku adalah seorang fotografer lepas. Aku diutus Dewa Matahari. Aku diminta untuk mengambil foto kalian, dan mewawancarai kalian sebentar.”
“Namaku Bidadari Matahari Jinak. Aku senang sekali ada yang ingin memotretku. Pandanglah aku, lihatlah batang tubuhku yang tinggi semampai dan kelopak bungaku yang panjang. Tampak alami dan sederhana, bukan? Bagaimana poseku ini? Bagaimana dengan kalung matahari yang kukenakan ini? Aku tampak suci seperti malaikat bukan? Aku bukan bunga matahari liar. Aku selalu setia dengan Sang Surya, dan aku selalu menyertai kemanapun dia bersinar. Aku sungguh merindukan kehangatan surya, dan aku ingin memeluknya, mendekapnya erat-erat. Sudah lama aku memendam rindu, dan aku ingin menjadikannya milikku seorang. Fotolah aku dan kirimkan hasilnya kepada Dewa Matahari!"
“Baik, baik, aku akan segera memotretmu. Berposelah sesukamu. Tunjukkan lekuk indahmu,” jawab Wiro sambil melancarkan jepretannya.
Tak lama kemudian, pemotretan sesi pertama selesai. Wiro menghampiri Bidadari Matahari Liar, dan serta-merta memotretnya.
“Maaf Wiro Sembung, letakkan dulu kameramu. Kamu bilang kamu diutus Dewa Matahari untuk mengambil potretku? Maaf aku keberatan. Perlu kau ingat Wiro, meskipun aku hadir dalam upacara penyembahan Helios, aku bukan penganutnya. Dan aku tak perlu tunduk kepada Dewa Matahari yang memintamu untuk memotretku. Aku hanya menyembah DIA, bukan matahari! Kau tau, Wiro? DIA lah yang menciptakan matahari, dan tahtanya jauh lebih tinggi dari Helios.”
“Oh, ada yang lebih mulia dari Helios? Ceritakan padaku tentang DIA,” pinta Wiro.
“Ceritanya sangat panjang, Wiro. Tapi, sebagai bunga liar yang tumbuh tidak terawat, aku sangat menikmati cahaya matahari ciptaan DIA. Aku bisa memandang ke segala arah. Kuakui bahwa aku tak punya kemampuan phototropism. Aku mengucap syukur untuk itu. Aku membayangkan, alangkah pegelnya leherku apabila aku hanya fokus ke satu arah saja setiap harinya. Tentu aku akan kehilangan banyak momen indah di sekitarku. Aku meyakini bahwa DIA akan datang untuk menyelamatkan aku si pendosa,” tandas Bidadari Matahari Liar.
“Apa itu pendosa?” tanya Wiro.
Bidadari Matahari Liar mengajak Wiro duduk di salah satu bangku, dan menjelaskan dengan tuntas apa itu dosa dan pendosa.