Kata suami saya, "Ayolah... nanggung banget sudah sampai sini!" Baiklah. Saya mengiyakan ajakan suami.
Kami berempat  pun naik kuda. Saya tegang sekali, terutama memikirkan si Bungsu. Tapi kok anak-anak terlihat santai dan menikmati? Si Bungsu yang saya kuatirkan ternyata aman dan senang naik kuda. Ohya, bapak-bapak yang menemani naik kuda ini semuanya ramah dan baik.
Tak bisa dibayangkan jika tidak berkuda, sepertinya kami tak akan sanggup dan tidak akan pernah sampai. Selain jalan terjal dan berpasir, ternyata jauh juga loh. (Duh, ini penulisnya jompo banget ya? atau malas jalan? Hahaha)
Kami naik kuda sampai di area kaki tangga. Disana ada penjual makanan dan minuman, kami ambil nafas sebentar dan minum sebelum mendaki. Benar saja tangga naik ke kawah tinggi sekali.
"Nanti hitung jumlah tangganya ya, Nak!" ujar saya ke si Bungsu yang baru lulus TK waktu itu. Dia mengangguk saja. Dalam hati, maksudnya "Jangan minta gendong ya!" Hahaha
Menapaki tangga satu per satu pada awalnya semua masih semangat. Hingga pada hitungan 30-an lebih baru terasa ngos-ngosan dan engap nafas. (Ini mungkin akan berbeda untuk orang yang rajin olahraga).
Saya berjalan berdua dengan si Bungsu. Sementara itu, si Sulung dengan papanya. Demi keamanan, saya pakai tali pengaman untuk si Bungsu. Setidaknya aman jika terjatuh atau apa.
Tiap kali kami berhenti dan beristirahat. Memang di beberapa titik tangga disediakan area pemberhentian. Tak jarang kami diselip sama orang di belakang. Mereka menyemangati kami. Begitu pula saat kami mendahului. Saya selalu bilang, "Ayo semangat, Bu, Pak, Mbak..."
Semangat juga kami terima dari orang-orang yang sudah sampai kawah dan sedang menuruni tangga. "Semangat, semangat..." kata mereka.
Saling menyemangati ini menambah energi untuk bisa kuat mendaki sampai puncak. Si Bungsu memang lelah tapi masih semangat. Karenanya, saya pun ikut semangat. Rasa semangat makin membara ketika tersisa 7-10 anak tangga.