Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Berduka, Boleh atau Tidak?

24 Maret 2023   07:18 Diperbarui: 24 Maret 2023   18:00 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berduka, Boleh Atau Tidak? (Foto ilustrasi : pixabay.com)

Tanggal 12 Januari 2023 adalah hari yang susah untuk saya gambarkan. Berbagai perasaan berkecamuk di hati sejak pagi hari. Ya, hari itu Ibunda saya --biasa saya panggil Mami-- berpulang ke pangkuan Allah.

Pagi itu kami masih tidur. Tiba-tiba suami menerima telepon video dari kakak saya. Saya ikut terbangun dan berada di sampingnya hanya bisa terdiam. Sejak Ibu sakit, saya tahu momen ini hanya masalah waktu.

Saya tidak menangis. Ada dua alasan. Pertama, karena itu pesan ibu saya sebelum berpulang (tiga hari sebelumnya), "Jaga anak-anakmu. Nanti jangan nangis..." Pesan yang menyiratkan akan pergi.

Kedua, karena saya fokus berpikir bagaimana untuk segera pulang. Saya secepatnya berkemas dan menempuh perjalanan 4-5 jam dari Cikarang ke Salatiga.

Sepanjang perjalanan saya berusaha tegar. "Biarlah air mata ini kusimpan untuk nanti...". Saya juga ingin suami tetap tenang sehingga bisa fokus mengemudikan kendaraan.

Pagi itu matahari bersinar dengan eloknya. Langit biru hanya sedikit dihiasi awan putih. Mobil melaju dengan lancar, bahkan di tol Karawang-Cikampek yang biasanya tersendat. Puji Tuhan!

Kurang lebih 4 jam, kami sampai di Semarang. Setelah berkontak dengan kakak saya, ternyata jenazah Ibunda belum berangkat dari rumah duka. Selama sakit sebulan lebih, Ibunda memang dirawat di salah satu rumah sakit di Semarang dan di rumah kakak.

Akhirnya, kami memutuskan keluar tol Banyumanik dan menunggu di pintu masuk tol Banyumanik. 

Tak lama dari itu, ambulans jenazah sudah datang. Rasanya campur-aduk membayangkan Ibunda sudah di dalam peti. Dengan beriringan, kami mengantar pulang Ibunda ke rumah.

Tangis Duka Kehilangan

Kehilangan seseorang yang kita cintai sudah pasti menyisakan duka yang dalam. Mungkin pada saat itu, tangis kita tidak berlebihan (hingga pingsan misalnya) atau meraung-raung hingga membuat orang lain ikut larut dalam kesedihan. Tapi saya yakin setelahnya, seseorang baru merasa kehilangan yang teramat dalam.

Ketika sampai di rumah orangtua saya di Salatiga dan peti dibuka, sayalah yang pertama dipersilakan untuk melihatnya. Ya, karena saya satu-satunya anak yang tinggal di luar kota (meskipun tiga hari sebelumnya saya menengok dan bertemu Ibunda).

Momen inilah yang mencabik hati saya. Bagaimana tidak, saya harus melihat Ibunda diam terbujur kaku dan harus berada dalam peti kayu sesempit itu. Saya menangis, meskipun semua orang berbisik bahwa saya harus ikhlas. 

Sebagai kata perpisahan terakhir, saya ucapkan terimakasih atas semua yang sudah Ibunda berikan selama hidup. Dan ternyata untuk mengucapkan "selamat jalan" atau "selamat tinggal" adalah hal yang tidak mudah. Tangis saya pun pecah!

Sebagai manusia yang beriman tentu ada pengharapan. Itulah yang menguatkan hati. Bahwasanya Ibunda sudah kembali kepada Sang Empunya Hidup, terbebas dari sakit yang selama ini diderita. Yang terbaik sudah diberikan untuk Ibunda.

Berakhir Namun Belum Selesai

Empat hari di rumah orangtua, tak terlalu terasa dukanya. Saya merasa Ibunda masih ada. Begitu juga dengan adanya kebaktian penghiburan yang diadakan setiap hari.

Berbagai cerita dari jemaat, tetangga, dan kenalan dari Ibunda menjadi penghiburan buat saya dan keluarga. Ibunda memang orang yang supel dan bergaul luas. Pribadi yang sangat ramah dan ringan-tangan membantu siapapun.

Akan tetapi sekembalinya dari Salatiga dan pulang ke rumah, disitulah saya baru merasakan duka, sedih, hampa, dan limbung. Ada waktu-waktu dimana saya merasa sedih yang teramat dalam.

Rasa duka mungkin berakhir, tapi rasa kehilangan dan rindu belum selesai. Bahkan mungkin tak akan pernah selesai.

Diantara hari-hari saya, seringkali saya masih menangis. Ada juga saat dimana saya seolah frustasi dan secara tak sadar melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. "Mami kan belum tua-tua amat, mengapa Tuhan ambil secepat ini?"

Ada juga perasaan sedih mendalam membayangkan tubuh Ibunda terkubur di dalam tanah, terkena hujan, dan sendiri. Pokoknya segala perasaan bercampur. Terkadang saya tidak bisa tidur.

"Saya harus bisa melewati ini," ucap saya dalam hati. Mungkin ini fase hidup yang harus saya lalui. Dalam kebingungan, saya pun mencari cara bagaimana supaya jangan sampai saya tertekan dan stres.

Tetap Bersyukur

Sebagai orang masa kini, saya pun berselancar di mesin pencarian tentang berduka untuk mengatasi. Jujur saja, saya pun galau dengan segala perasaan duka itu.

Ternyata ada 5 fase dalam berduka : Denial, Anger, Bargaining, Depression, dan Acceptance. Kelima fase tersebut tak selalu terjadi berurutan. Hmmm... sepertinya sudah saya rasakan semua.

Yang saya pelajari dari apa yang saya alami bahwa semua fase itu membutuhkan WAKTU. Untuk menerima sebuah kehilangan tidak bisa instan. Semua adalah proses.

Memang semua kembali ke masing-masing orang. Tak akan sama antara satu orang dengan yang lain. Ada yang cepat, namun ada juga yang hingga depresi dan harus berkonsultasi ke psikiater.

Banyak faktor yang mempengaruhi fase berduka seseorang. Misalnya, kedekatan hubungan dan cara meninggal (mendadak, sakit, kecelakaan dst.).

Tiap hari saya berusaha merenungkan dan mencerna kepergiaan Ibunda. Hingga pada akhirnya saya paham bahwa semua adalah garis dan ketetapan Tuhan. Semua baik.

Kasih Tuhan sungguh nyata. Ibunda menikah di usia muda. Karenanya, ketika dipanggil Tuhan beliau sudah tenang dan damai. 

Semua tugasnya di dunia sudah selesai. Meskipun dari sisi usia, Ibunda belum terlalu tua (masih kepala 6). Itulah ketetapan Tuhan.

Tak perlu menunggu tua, Ibunda telah selesai mendidik ketiga anaknya. Semua sudah menikah dan memberi masing-masing dua cucu. Semua sudah mandiri dengan kehidupannya.

Garis hidup yang akhirnya saya lihat dan syukuri sebagai anak. Tuhan sudah merancangkan sedemikian rupa dari lahir, jodoh, rejeki, hingga meninggal. Saya bersyukur untuk semuanya.

Dua bulan telah berlalu, saya sudah bisa tersenyum. Meskipun masih sering menangis ketika merasa kangen.

Berduka atas kepergian orang tercinta adalah hal yang wajar. Fase kehidupan yang cepat atau lambat pasti akan dialami semua orang.

Bagi saya, tak perlu mengabaikan perasaan duka yang memang ada. Tak semestinya berpura-pura tegar dan tabah atau melarikan diri dari rasa duka.

Bisa saja rasa duka teralihkan sesaat atau tidak terasa, tapi justru akan membuat luka yang tak pernah terproses. Keberanian hidup ada pada saat kita berani untuk berproses.

Bagi saya, lebih baik menangis jika memang ingin menangis. Bersedih jika rasa sedih datang. Berduka jika duka masih ada. Karena saya yakin, setelahnya akan terbit rasa syukur yang indah.

Referensi 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun