Tahun 2022 ini sungguh luar biasa. Dari awal tahun, saya merasa seperti naik rollercoaster.Â
Minggu ini saya serasa ada di puncak roller coaster dengan kepala di bawah. Ya, Selasa lalu (22/2) suami dan anak-anak terkonfirmasi positif Covid-19!
Hmmm... saya harus tarik nafas panjang. Namun tetap bersyukur karena saya negatif. Artinya, saya masih bisa mengurus mereka.
Semua terjadi secepat kilat!
Tanggal 22 seharusnya jadi hari bahagia kami sebagai keluarga Katolik. Bukan hanya tanggal cantik (22-2-22), tapi si Sulung akan menyambut komuni untuk pertama kalinya. Sebuah momen istimewa yang ditunggu. Saya sudah siapkan baju dan semua persyaratannya.
Akan tetapi apa daya, semua terjadi secepat kilat! Pada hari itu justru si Sulung juga positif Covid-19.Â
Saya seolah menaiki roller coaster yang lebih besar dan menyeramkan. Si Sulung pun batal menerima komuni pertama.
Selama ini suami selalu melakukan tes usap antigen secara rutin tiap minggu. Saya dan suami sudah lengkap vaksinasi booster.Â
Si Sulung juga baru saja melengkapi vaksin keduanya di tanggal 10 Februari.
Jumat lalu (18/2) suami merasa tidak fit, lalu kerja dari rumah sekalian menemani anak di acara Bookweek. Sabtunya malah ditambah pilek ringan. Duh, saya sudah curiga saja.
Suami pun membatasi interaksi dengan kami dan selalu memakai masker di dalam rumah. Di sini si Sulung yang jarang sekali pilek ikutan pilek kecil.
Akhirnya saya dan anak-anak tidur di lantai atas, sedangkan suami tidur dan kerja di kamar bawah. Hingga hari Senin (21/2) semua biasa saja. Gejala yang dirasakan suami juga ringan.
Balita sangat rentan tertular
Nah, pada Selasa subuh (22/2) sekitar jam 4.00 pagi saya iseng cek si Bungsu yang masih berumur 4 tahun (ini bentuk kekuatiran saya karena papanya bergejala). Kok tumben badannya panas? Termometer menunjukkan angka 38.7. Saya langsung beri obat penurun demam.
Hingga pagi demam di rentang 38-39. Duh puyeng saya! Ini kondisi yang tak biasa karena si Bungsu jarang sakit. Tapi dia masih semangat sekolah online dan main. Masih aktif sekali!
Jam 10.00 pagi saya beri lagi obat penurun demam. Lalu pantau suhu tubuhnya. Kok demamnya manteng? Saya memutuskan untuk membawa ke dokter anak.
Namun, karena curiga Covid-19, saya ajak keluarga untuk tes usap antigen dan PCR dulu. Di sini kondisi si Bungsu sudah nempel terus dengan saya.
Setelah tes dengan yang antri lama, kami pun pasrah dengan hasil yang ada. Dari tes usap antigen, suami dan anak-anak terkonfirmasi positif Covid-19. Hanya saya yang negatif. Sedangkan hasil tes PCR akan keluar keesokan harinya.
Saya berusaha untuk tetap semangat. Yang ada di pikiran saya adalah si Bungsu. Dia belum mendapat vaksin sama sekali! Demamnya pun tidak turun-turun.
Dari sini saya belajar, ternyata bukan hanya lansia, orang dengan penyakit penyerta, dan orang yang belum vaksin yang rentan tertular Covid-19 sekarang ini. Namun, balita pun sangat rentan tertular dari orang dewasa.
Waspada saat balita terjangkit Covid-19
Setelah terkonfirmasi positif Covid-19, saya langsung telekonsultasi dengan dokter anak yang biasa menangani. Si Bungsu punya riwayat kejang demam satu kali, jadi saya harus ekstra waspada.
Dari telekonsultasi, saya mendapat obat untuk si Bungsu termasuk untuk persediaan jika gejala lain timbul (demam, diare, pilek, batuk, kejang).
Sore hari, kami beri si Bungsu obat dari dokter termasuk obat untuk mencegah kejang. Suhu tubuhnya masih saja tinggi di atas 38.Â
Jam 20.30, si Bungsu mengantuk. Dengan bermasker, saya peluk sambil memantau suhu tubuhnya.
Alangkah kagetnya, suhu terus naik hingga ke 39 lalu 40.1. Tak lama bibirnya mulai berbeda, tanda akan kejang.Â
Saya langsung beri obat kejangnya. Tapi suhu malah mulai naik. Si Bungsu terkulai lemas. Saya sedih sekali.
Saya segera berkemas memasukkan apa yang bisa dimasukkan ke koper dan membawa obat-obat yang ada. Kami bawa si Bungsu ke IGD.
Akhirnya merasakan menjadi penunggu pasien Covid-19
Sampai di IGD, kami berterus terang dengan status kami dan menceritakan semua kronologi. Di sini suhu si Bungsu masih di 39.8 dan disarankan untuk rawat inap.
Proses skrining tetap dari awal, mulai tes usap antigen, rontgen paru, dan tes darah. Setelah dipasang infus, kami pun menuju lantai 4 tempat perawatan pasien Covid-19. Resmi sudah si Bungsu menjadi pasien Covid-19.
Hmmm... rasanya masih tidak percaya. Belum 24 jam dari si Bungsu demam ternyata semua bisa terjadi dan gawat untuk anak balita.Â
Kejang demam adalah mimpi buruk buat saya. Saya pasrah saja ketika harus menemani di RS, meskipun mengambil risiko tertular karena saya negatif. Bagi saya yang penting si Bungsu tertolong dan tidak terjadi hal yang lebih parah.
Kami masuk di kamar isolasi yang hanya untuk 1 pasien. Lagi-lagi saya bersyukur Tuhan baik karena masih ada kamar untuk anak saya.Â
Dokter, perawat, dan staf RS pun ramah dan baik. Semua sabar dan helpful menangani anak saya yang super aktif itu.
Oh ya, saat dirawat demam si Bungsu tak serta-merta langsung turun. Ternyata virus Corona ini luar biasa saat menyerang.Â
Gejalanya demam tinggi sekali dan untuk balita sangat gawat, apalagi jika punya riwayat kejang.Â
Menurut saya, rawat inap adalah keputusan terbaik. Puji Tuhan di hari ketiga, panas si Bungsu turun dan kembali normal.
Hati-hati untuk orangtua dengan balita
Gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia didominasi oleh varian Omicron. Banyak sumber menyebutkan varian virus ini sangat mudah menular namun gejala lebih ringan dibanding dengan varian delta.
Dari pengamatan kecil saya, Omicron memang terbukti lebih cepat menular. Ini saya lihat dari kasus di lingkungan RT saya.Â
Kali ini banyak keluarga yang terkena, baik orangtua maupun anak-anak. Oke sip, saya setuju omicron memang cepat sekali menular.
Namun, untuk tingkat keparahan menurut saya Omicron tetap saja sama. Gejala akan lebih ringan jika seseorang sudah divaksin dan tidak punya penyakit penyerta. Jadi, tetap harus diwaspadai dan jangan disepelekan.
Yang harus diwaspadai lagi adalah jika kita punya anak dan atau balita (di bawah 6 tahun). Kelompok usia ini belum mendapatkan vaksin. Karenanya saat orangtua terkena atau menjadi carrier, mereka rentan dan akan terjangkit lebih berat.
Saat di RS, di sebelah kamar saya juga sama yaitu pasien anak berumur 3 tahun yang mengalami demam, diare, dan kejang.Â
Orangtuanya positif Covid-19 tanpa gejala dan sudah vaksin booster. Kemungkinan anak tertular dari orangtua yang sedang isoman.
Sebenarnya tak beda jauh dengan kasus saya. Kalau dari runut peristiwa, kemungkinan virus berasal dari suami karena saya dan anak-anak di rumah.
Kantor suami sudah melakukan prokes super ketat sejak gelombang delta kemarin. Tapi suami kadang belanja untuk kami. Meskipun sudah prokes di tempat umum, bagaimanapun selalu ada celah.
Belajar dari pengalaman ini, memang balita harus kita jaga lebih ekstra saat ini. Selalu waspada jika balita mulai timbul gejala.Â
Orangtua tidak perlu denial, paranoid, atau takut "dicovidkan" karena semua prosedur berdasar bukti medis.Â
Justru dengan tahu status Covid-19, dokter bisa mengambil tindakan dan pengobatan yang tepat. Pun kita sebagai orangtua juga tidak panik.
Sekian dan semoga bermanfaat. Salam sehat selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H