Bijak Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Adalah hal yang manusiawi ketika seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Seperti pepatah "rumput tetangga lebih hijau", falsafah "wang-sinawang" ini juga memiliki arti serupa.
Keduanya mengajak kita untuk merenung bahwa jika kita terus melihat dan membandingkan dengan orang lain, maka bisa jadi kita jatuh pada rasa minder dan tak percaya diri. Atau akibat yang lebih buruk, kita bisa terjebak pada rasa iri hati dan cemburu.
Rumput tetangga memang terlihat lebih hijau, namun jika kita lihat lebih dekat tak menutup kemungkinan ada yang menguning, mati, atau bahkan tak rata.
Apakah itu artinya kita tak boleh membandingkan diri dengan orang lain? Bukankah bisa juga untuk menjadi penyemangat? Dia punya ini, masa aku tidak bisa?
Hmmm... sebenarnya sah-sah saja asalkan kita bijak dan mampu menempatkan diri secara benar. Jika tidak, bisa jadi semangat dan motivasi untuk meraih sesuatu itu lebih kepada persaingan. Ibarat mobil, "bensin" yang kita gunakan itu kurang tepat.
Bukankah lebih baik kita termotivasi disertai rasa syukur dibandingkan dengan keinginan untuk bersaing dan menjadi lebih? Falsafah wang-sinawang sekaligus mengajarkan kita untuk selalu bersyukur.
Tak Ada Keluarga yang Sempurna
Seringkali dalam pertemuan keluarga besar, ada orang-orang yang hobi sekali memuji-muji tetapi berlebihan. Anaknya sekolah di luar negeri lah, menikah dapat orang kaya, punya gaji segini, posisi begini, rumah di kompleks elit, acara adat di kampung yang menelan biaya milyaran, dan seterusnya.
Hmmm... kalau mendengar begitu, rasanya ingin kabur saja loh saya. Bagi saya, kok secara tidak langsung seolah ingin mengatakan "kamu bukan siapa-siapa". Tapi dalam etika bergaul, tidak mungkin kita pergi begitu saja.
Setelah "terlatih" hal semacam itu, saya biasa mendengarkan masuk kuping kanan lalu keluar kuping kiri. Beres.