Suatu hari saya ikut suami dalam rangka survei lokasi untuk keperluan ziarah lingkungan. Seperti biasa, di jalan pulang sebagai ibu-ibu adalah "wajib" belanja. Dari aneka keripik, pisang, sirsak, jambu, dan seterusnya.
"Bu, ini baru dibikin loh. Enak dagingnya?" kata penjual di depan saya.
"Apa itu, Bu? Wah, dendeng ragi ya?" tanya saya. Penjual pun mengiyakan.
Dendeng ragi adalah makanan kesukaan saya. Ibu saya sering membuatkan, terutama jaman saya kost dulu.
Dendeng ragi buatan ibu saya selalu menggunakan daging sapi karena memang di rumah ibu tidak pernah memasak daging babi. Sepertinya yang namanya dendeng ragi selalu menggunakan daging sapi.
Buat saya, dendeng ragi sangat istimewa karena jarang ada yang menjual dendeng ragi. Kalau saya membuat sendiri, bisa-bisa lebaran kuda baru jadi. Hahaha
Nah, saat membeli dendeng ragi ini harga yang diberikan penjual sangat terjangkau. Terbayang kan, ibu-ibu berkemampuan masak pas-pasan ini langsung tergiur dan membeli. Seingat saya hanya membeli 2 kemasan.
"Bungkus, Buuu..." ucap saya spontan. Â Penjual pun senang.
Sampai di rumah, saya langsung lahap memakannya. Hanya modal masak nasi dan tak perlu masak lauk. Nikmatnya dobel!
Mengenai rasa, asli enak buangettttt! Dagingnya tebal dan liat. Dendeng raginya juga kering dengan serundeng dari parutan kelapa segar. Pokoknya maknyus dan perfecto!
Alhasil, saya menyesal mengapa cuma beli 2 kemasan! Padahal lumayan buat stok di kulkas. (Hmmm... ketahuan deh malasnya!).
Beberapa minggu setelahnya, suami kembali survei. Kali ini saya tak mau ikut. Selain capek, toh sudah pernah. Jadi, saya titip untuk beli dendeng ragi saja.
"Beli 4 pak, ya Sayang!" (Harus pakai kata "sayang" dong biar dibelikan). Suami pun menjawab oke. Duh, senangnya! Terbayang nikmatnya dendeng ragi ini! Hehehe
Setelah makan siang, tiba-tiba gawai saya berbunyi.
"Yang, dendeng ragi yang mana? Nggak ada ini? " kata suami memberi kabar.
"Adaaaa... coba tanya deh, " sahut saya. Suami saya paham istrinya ini keras kepala. Hahaha
Tak lama kemudian, suami menelpon. "Ini ada, tapi daging babi. Nggak ada yang daging sapi! Katamu daging sapi kan?" katanya.
"Ah, nggak mau. Dulu itu waktu beli daging sapi kok. Coba tanya lagi, " sahut saya memohon supaya suami memastikan ke penjual.
Dan ternyata jawabannya tetap. Katanya tidak pernah menjual dendeng ragi daging sapi. Seketika harapan pupus namun heran, kok nggak ada ya?
Minggu berikutnya saya ketemu teman. Seperti biasa ngobrol ngalor-ngidul. Akhirnya sampai pada obrolan dendeng ragi. Saya ceritakan dengan berapi-api kelezatan dendeng ragi ini. Teman saya tersenyum.
"Ya jelas enak lah dendeng raginya. Itu daging celeng*!" katanya.
"Hahhhh??????" saya kaget luar biasa. "Celeng itu babi kan? kenapa kemarin dagingnya nggak lembut, dagingnya liat loh kemarin! Malah kayak daging kerbau kalau kataku, " sanggah saya.
"Ihhh, dibilangin, mana ada dendeng ragi daging sapi murah banget??? Itu celeng tauk!" kata teman saya.
"Hah? Mosok... tapi dagingnya berserat, " protes saya.
"Ya iyalah, celeng itu kan babi hutan. Dia bukan babi piaraan yang diam aja! Celeng lari-lari terus di hutan. Jadi dagingnya liat, " jelas teman saya.
Seketika saya langsung lemes. Ternyata saya makan daging babi hutan aka celeng!!!
Kalau tahu daging celeng pasti nggak beli. Hmmm... kadang ketidaktahuan itu memberi kenikmatan hakiki! Hahaha
Untungnya juga saya tidak dilarang makan daging celeng. Ngok... Â Ah, saya memang konyol sekali, gemar berasumsi sendiri!
Cikarang, Oktober 2021
*celeng : babi hutan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H