Namun, jauh di lubuk hati terdalam ternyata ada pisau tajam yang lebih tajam untuk membunuh kehidupan : KETIDAK-ADILAN !!!
"Her, bagi keluarga kehilangan bang Roy itu pukulan besar. Tapi ketika fakta ditutup-tutupi dengan berbagai konspirasi itu sangat menyakitkan, " kata pak Satyo.
"Bisa dimengerti, Pak!" sahut Heri.
"Coba kamu bayangkan, jelas dari lukanya bang Roy dibunuh tapi dikatakan kecelakaan tunggal. Mobilnya menabrak pohon! Sandiwara bodoh! Tegaaa... aku sedih luar biasa waktu itu, "
"Sudah berupaya sana-sini untuk mengungkap fakta kasus itu, tapi kita bisa apa? Pada akhirnya lelah dan menyerah. Pasrah dalam ketakberdayaan... Ibaratnya, kita semua teriak-teriak. Tapi tak ada yang menolong dan mendengar. Kekuasaan itu berkuasa, Her! Apalagi saat itu masih jauh dari reformasi, "
"Pemerintah dan aparat semua menutup mata, Her... Orang baik pun takut untuk berbuat baik. Semua tak mau kehilangan nyawa, "
Heri tertegun mendengar semua penjelasan pak Satyo. Terdiam dalam udara sore yang hangat.
"Waktu mungkin bisa menyembuhkan untuk mengikhlaskan, Her... tapi luka tetaplah luka. Marty tak ingin anaknya berjodoh dengan PNS atau apapun yang berbau pemerintah. Akupun sama, Her.. cuma bedanya Marty lebih frontal membabi-buta. Harap dimaklumi, "
Heri hanya menunduk. Pak Satyo sudah lega. Ganjalan yang selama ini disimpan sudah tersampaikan. Pak Satyo tahu istrinya sering kebablasan.
Pak Satyo beranjak dari kursi rotan. Dia berdiri dan menepuk pundak Heri. "Her, kamu orang pilihan. Jodoh terbaik untuk Seika. Jaga dia ya? Bawalah Seika terbang tanpa membawa beban ini. Cukup sampai disini, "
"Baik, Pak... syukurnya sekarang sudah berbeda. Tapi saya mengerti, Pak!" sahut Heri.