kompasianer hore gitu! Hehe...
Saya bukan penulis produktif di Kompasiana. Ya iyalah,Namun, ada suatu saat saya ingin mencoba bagaimana supaya bisa konsisten menulis seperti maestro Kompasiana pak Tjiptadinata Effendi (boleh dong berupaya?). Sungguh hebat beliau ini karena selama bertahun-tahun konsisten menulis : one day one article!
Bagi kompasianer hore nan payah seperti saya, one day one article itu berat! Satu artikel saja lama nulisnya. Belum kelar, sudah ditinggal mengerjakan yang lain. Harus ini dan itu.
Sebenarnya bukan hanya masalah riset (ceilehhh...) isi artikelnya saja. Biasanya saya berulang kali mengedit apakah artikel saya ada manfaat, tidak terlalu mengumbar privasi, dan atau tidak merugikan orang lain. Mungkin ini karena saya overthinking terhadap segala sesuatu.
Yah, sejujurnya saya juga kapok karena pernah disomasi sama pihak tertentu hanya karena salah ejaan pada nama brand saja. Tapi ya sudahlah... lupakan!
Lalu, saya berpikir bagaimana caranya bisa menulis tiap hari. Ahayyy.... akhirnya saya berpikir kenapa tak menulis yang ringan, pendek, dan tak butuh waktu lama. Apalagi kalau bukan puisi? Hehehe... It was really great idea!
Puisi selain pendek, juga "aman" karena fiksi. Tapi jangan salah, yang pendek belum tentu mudah. Kecuali untuk suhu puisi di Kompasiana seperti mas Zaldy, mbak Ari Budiyanti, pak Pical Gadi, bu Fatmi, pak Ali Musri Syam, Ayah Tuah, dan berderet penulis puisi keren di Kompasiana. Bagi suhu puisi bisa jadi duduk sebentar pun sudah jadi puisi!
Lalu bagaimana dengan saya? Pertama menulis puisi, yang ada ya modal nekat saja. Itupun butuh waktu lama. Setelah jadi, saya malah tertawa. Semoga guru bahasa Indonesia saya tidak membaca atau tertawa di alam sana. Hihihi
Inilah puisi pertama saya : Satu Desember (klik disini).
Setelah menulis puisi, hmmm.. ternyata asyik juga. Puisi bagi saya juga menjadi media journaling. Ternyata banyak manfaatnya buat diri saya sendiri. Banyak hal dalam hidup keseharian yang penting untuk direfleksikan. Istilah menterengnya itu : "terkoneksi dengan diri sendiri."
Puisi tak melulu tentang kenangan dan cinta. Ada pagi yang selalu menyapa. Ada senja yang selalu setia. Tak ada salahnya mencoba.
Apalagi di masa pandemi ini, saya tak punya bahan untuk menulis wisata keluarga. Berpuisi lebih mudah di masa pandemi dengan segala gemuruh rasa yang ada (Uhukkk...). Tapi benar kok, daripada stres dan galau lebih baik menulis. Hehehe
Nah, manfaat lainnya khusus bagi penulis adalah lebih mampu mengeksplorasi diksi. Menurut saya penting supaya kedepan artikel yang kita tulis kaya makna dan tidak membosankan.
Tapi ada satu hal yang membuat saya bahagia saat menulis puisi. Hmmm... saya semakin rajin bisa "hore-hore" tiap hari. Bisa eksis gitu! Hahaha... Meski belum bisa one day one article, tapi setidaknya sudah ada perubahan.
Untuk para suhu puisi di Kompasiana, tenang saja saya hanyalah penggembira. Dengan menulis puisi, justru saya terbantu untuk bisa menikmati karya teman-teman. Dulu saya bingung baca puisi, ini maksudnya apa dan bagaimana.
Setelah menulis puisi sendiri, saya jadi tahu cara menikmati puisi. Saya salut dengan kekonsistenan mbak Ari, pak Ali, bu Fatmi, Ayah Tuah, pak Katedrarajawen yang kalau tidak salah hampir setiap hari menulis fiksi puisi.
Salam hormat saya untuk semuanya dari ibu-ibu kompasianer hore ini. Terimakasih banyak untuk teman-teman kompasianer yang sudah berkenan singgah di puisi-puisi "abal-abal" saya. Jujur, saya menjadi semangat untuk belajar menulis puisi. Sejuta cinta untuk teman-teman semua!
Salam hangat selalu,
MomAbel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H