Kirana
Aku sedang menyelesaikan cerpenku ketika berita itu datang. Waktu itu tinggal sedikit lagi cerpenku akan tuntas. Tapi berita itu datang seolah seperti benda yang jatuh dari plafon atas kamarku.
"Brakkkkk...." Seketika aku terkejut tak percaya. Rasa kaget yang menusuk terlalu dalam.
"Papamu kawin lagi?" tanyaku pada Kirana, sahabatku yang menelponku.
Selanjutnya aku hanya mendengar isak tangisnya. Segera kuhibur dan kutenangkan. Dalam situasi seperti itu, rasanya tak pas jika aku mencecarnya untuk tahu cerita utuhnya.
Esoknya, aku berusaha untuk telpon dan bertanya ke Martha, sahabat Kirana yang temanku juga. Ternyata Martha cukup tahu cerita utuh keluarga Kirana.
"Jadi, mama Kirana sekarang mengasuh anak itu?" tanyaku kepada Martha
"Iya! Gila banget kan, Yu? Mau-maunya mamanya mengasuh bayi anak selingkuhan suaminya?" sahutnya.
Aku pun terheran-heran. Terbuat dari apakah hati mama Kirana? Sudah jelas suami berlaku serong hingga punya anak dari perempuan lain, kok masih mau menerima anak itu.
"Ya, mungkin benar juga, Tha... Bayi itu tak bersalah dan tetap harus dirawat, " kataku.
"Iya juga sih. Tapi kan bisa tuh ibu kandungnya sendiri yang ngasuh? Ini tuh, mama Kirana rawat bayinya. Lalu papa Kirana bebas dengan perempuan itu. Dayu, please deh... " sanggah Martha padaku.
Martha berapi-api menjelaskan duduk perkaranya. Mungkin ini yang membuat Kirana syok berat. Pikirannya kalut antara sedih, kecewa, marah, dan iba.
Aku pun tak habis pikir mengapa papa Kirans senekad itu, padahal Kirana baru saja menikah. Masa iya papa Kirana memacari perempuan seusia Kirana. Lebih muda malah!
"Martha, ini mungkin yang namanya tua-tua keladi? Makin tua malah makin jadi. Lupa diri!" kataku.
"Itu diaaaa... Harusnya papa Kirana itu nimang cucu dari Kirana, bukan malah bikin anak lagi! Huh"
Martha terdengar emosi di ujung telepon. Aku juga emosi mendengar cerita ini. Bagiku, kisah keluarga Kirana ini seperti fiksi. Tak ada yang menduga keluarga Kirana akan seperti ini. Ah, ketenangan seringkali menghanyutkan.
Percakapanku dengan Martha di telpon diakhiri dengan berita yang tak kalah mengejutkan. "Kirana sedang hamil juga, Dayu!"
Aku hanya bisa terdiam mendengarnya. Martha pun lirih sekali mengatakannya. Seketika aku dan Martha dirundung duka yang dalam. Rasanya tak sanggup menjadi seorang Kirana.
Lepas telpon dengan Martha, aku berdiri di dekat jendela kamarku. Rintik hujan membasahi sore. Suasana terasa sendu.
Kulihat laptop masih menyala di mejaku. Masih pada halaman yang sama dengan kemarin.
Aku kembali duduk di depan laptop. Kusimpan saja berkas cerpenku. Aku tak ingin melanjutkannya lagi. Kubiarkan cerita itu menggantung.
Bagiku tak semua cerita harus diakhiri. Ada banyak cerita di dunia ini yang tak selesai. Mungkin tak  akan pernah selesai.
"Ting..." layar handphoneku berkedip. Ada pesan dari Kirana. Aku masih termangu membacanya pesannya. Sungguh, sahabatku ini istimewa.
Cikarang, 17 September 2021
* Cerita ini fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan cerita  hanya kebetulan semata.
* Artikel ditulis untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa ijin penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H