"Iya juga sih. Tapi kan bisa tuh ibu kandungnya sendiri yang ngasuh? Ini tuh, mama Kirana rawat bayinya. Lalu papa Kirana bebas dengan perempuan itu. Dayu, please deh... " sanggah Martha padaku.
Martha berapi-api menjelaskan duduk perkaranya. Mungkin ini yang membuat Kirana syok berat. Pikirannya kalut antara sedih, kecewa, marah, dan iba.
Aku pun tak habis pikir mengapa papa Kirans senekad itu, padahal Kirana baru saja menikah. Masa iya papa Kirana memacari perempuan seusia Kirana. Lebih muda malah!
"Martha, ini mungkin yang namanya tua-tua keladi? Makin tua malah makin jadi. Lupa diri!" kataku.
"Itu diaaaa... Harusnya papa Kirana itu nimang cucu dari Kirana, bukan malah bikin anak lagi! Huh"
Martha terdengar emosi di ujung telepon. Aku juga emosi mendengar cerita ini. Bagiku, kisah keluarga Kirana ini seperti fiksi. Tak ada yang menduga keluarga Kirana akan seperti ini. Ah, ketenangan seringkali menghanyutkan.
Percakapanku dengan Martha di telpon diakhiri dengan berita yang tak kalah mengejutkan. "Kirana sedang hamil juga, Dayu!"
Aku hanya bisa terdiam mendengarnya. Martha pun lirih sekali mengatakannya. Seketika aku dan Martha dirundung duka yang dalam. Rasanya tak sanggup menjadi seorang Kirana.
Lepas telpon dengan Martha, aku berdiri di dekat jendela kamarku. Rintik hujan membasahi sore. Suasana terasa sendu.
Kulihat laptop masih menyala di mejaku. Masih pada halaman yang sama dengan kemarin.
Aku kembali duduk di depan laptop. Kusimpan saja berkas cerpenku. Aku tak ingin melanjutkannya lagi. Kubiarkan cerita itu menggantung.