Saya sendiri mengakui bahwa selama pandemi ini, selaku orangtua saya pun "dipaksa" belajar dan beradaptasi dengan hal yang benar-benar baru. Tak ada tutorial bagaimana menjadi orangtua yang baik di masa pandemi, bukan?
Namun, pada akhirnya saya belajar untuk menjadi orangtua yang lebih realistis. Mengutip kalimat dari dr. Rosellina Lili yang kurang lebih begini; "Parenting is not a tecnique, but how you connect to yourself".
Jadi, parenting itu bukan teknik harus begini-begitu, caranya seperti ini dan itu, tapi bagaimana kita terhubung dengan diri kita. Dengan demikian, kita terhubung juga dengan anak kita.
Lalu, apa yang saya lakukan? Selama masa sekolah online ini, saya tak lagi menuntut anak harus mempunyai nilai sempurna. Yang terpenting anak-anak senang dan semangat untuk sekolah. Bagi saya, itu sudah indikator besar ada kemauan belajar. Selebihnya, hasil tak akan mengkhianati usaha.
Untuk apa ambisi nilai akademik bagus, tapi ternyata ada "nilai orangtua" disitu yang membantu mengerjakan? Atau ada nilai ketidakjujuran karena anak mencontek? So yah, biarkan anak-anak berproses.
Saya membayangkan ketika saya marah-marah, ada energi yang terbuang dan damai sejahtera yang hilang. Buat anak juga memberikan tekanan dan suasana tak nyaman belajar di rumah.
Apa jadinya kalau semua orang marah dan tensi tinggi? Inilah penyebab ibu rumah tangga mengalami burn-out karena tak mampu mengendalikan emosi.
Ketika kita terhubung dengan diri kita, pastinya kita akan bijak bersikap, menjadi ibu yang penuh welas asih, dan tetap bertanggung jawab. Kita tak lagi dipenuhi dengan tuntutan dan ambisi yang justru melemahkan dan melelahkan. It is okey not to be okey!
Sejauh ini, saya tak sampai mengalami burn-out di rumah. Masalah pasti ada, rasa bosan tentu ada, tapi bahagia juga tak kurang-kurang adanya.
Saya berupaya mensyukuri setiap hal kecil. Saya masih bisa memasak, menemani sekolah, anak-anak sehat, atau bahkan menulis artikel ini. Artinya, saya masih punya semangat dan pengharapan.