Dua minggu setelah melahirkan, saya sudah aktif antar-jemput sekolah dan les. Semua hanya karena saya tak ingin dia merasa diabaikan dan tidak diperhatikan lagi sejak kehadiran adiknya.
Masih banyak hal receh yang seolah saya perjuangkan supaya tak ada perbedaan perlakuan di antara anak-anak saya. Lama-lama saya lelah! Ya, syukurnya saya menyadarinya sekarang. Betapa ambisi saya sudah buta dan tidak logis.
Saya mengakui bahwa diperlakukan berbeda oleh orangtua itu tidak enak dan bahkan menyakitkan. Namun saya juga sadar bahwa saya tak perlu "ngoyo" atau membabi-buta untuk berlaku sama untuk anak-anak saya.
Kesadaran untuk menjadi bijak
Setelah saya renungkan, ternyata sebenarnya saya harus bijak. Tentu saya harus berlaku adil untuk anak-anak tanpa pembedaan.
Pembedaan yang dimaksud sejatinya adalah tentang perhatian, kasih sayang, pujian, pendampingan, dan komunikasi yang baik dalam keseharian. Bukan tentang materi yang sifatnya pun sesaat dan insidentil.
Sering saya merasa geli sendiri mengingat segala ambisi saya untuk berlaku sama tersebut. Di sini pun saya tertolong karena si sulung dan si bungsu berbeda jenis kelamin. Bayangkan jika sama, mungkin bisa heboh lagi!
Saya berpikir ulang, bukankah mereka sebenarnya pun tak mempermasalahkan? Mereka tak akan komplain tentang kapan dibuatkan paspor, kapan diajak jalan, dulu mainan apa, dan seterusnya?
Bukankah sebenarnya mereka berharap pada perlakuan, kasih sayang tak bersyarat, perhatian yang utuh? Ah, saya harus belajar lebih bijak lagi.
Komunikasi yang baik dengan anak
Jalan untuk berlaku adil kepada anak, sejauh ini yang menurut saya tepat adalah menjalin komunikasi efektif dengan mereka.