Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Edelweis Agung (Bagian 3)

19 Juni 2021   06:45 Diperbarui: 19 Juni 2021   06:52 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Edelweis Agung (Gambar ilustrasi: pixabay.com/ivansamudra)

RISA

Kucium aroma bunga edelweis dari Agung. Kuperhatikan detil bunga yang konon adalah bunga abadi. Hmmmm....

Sebagai perempuan, bohong kalau kubilang aku biasa saja dengan perlakuan Agung. Dia baik dan romantis.

Cerita sebelumnya : 

Bagian satu (klik disini)

Bagian dua (klik disini)


Binar matanya sangat jelas berkata bahwa dia ada rasa untukku. Bagaimana dengan aku?

Aku masih ragu. Apalagi dia malah mengajakku olahraga di hari Minggu pagi. Mungkinkah ada jurang pemisah yang tak bisa dilawan? Aku seperti tertawan.

Di satu sisi, aku suka kesederhanaannya. Aku terbawa pada momen manis yang diberikan Agung. Jangan-jangan aku telah terseret arus cinta?

Minggu sore dia menjemputku. Berdua berolahraga sore di stadion. Lebih banyak istirahat dan nongkrongnya.

"Ris, minum dulu..." ucapnya menyodorkan botol minumnya.

Ah, Agung memang selalu baik. Dia satu tahun diatasku, namun aku merasa dia lebih dewasa dan matang.

"Aku paling suka kuliah sama bu Adiningsih, Ris... Besok aku ada kelas sama beliau, " katanya.

"Oh, aku pernah berpapasan di gedung pusat kapan hari. Mantap ya kalau ngajar?" sahutku.

"Kamu gimana, Ris? Sudah oke kan di jurusan?" tanyanya.

"Ya, lumayan. Agak merasa salah jurusan sih hehehe Pinginnya itu pindah jurusan psikologi atau apa kek gitu. Tapi kemarin ya itu pilihanku sendiri. Konsekuensi, jalani saja!" jawabku.

"Emang kenapa kok mau pindah?" katanya.

"Aku nggak betah dengan pergaulannya. Serius semua. Kayaknya susah diajak ketawa. Aku merasa semua temanku kayak robot jenius, " keluhku.

Sore berakhir bahagia. Agung menggandeng tanganku. Namun, sepertinya kita beda ya, Gung?

Edelweis terus mewangi
Mengikat rasa di sudut hati
Segumpal ragu menghentikan laju
Kupasrahkan pada waktu

***

AGUNG

Aku merasa Risa membuka hati padaku. Namun, kulihat dia mulai ragu dan mulai merapatkan pintu.

Malam ini kubaringkan tubuh dalam lamunan sendu. Aku ingin tetap memupuk asa untuk cintaku pada Risa. Pemilik senyum manis itu sudah mengobrak-abrik hatiku. Tak pernah aku merindu pada perempuan. Ini sungguh gila!

Kini hatiku penuh dengan kecamuk. Resah dan gelisah yang tak jelas. Ternyata aku dan Risa berbeda. Risa tak mungkin menerimaku. Dia sepertinya perempuan penuh logika. 

"Sudah jalani saja..." kata bang Roy padaku. Aku masih membisu.

"Gung, di dunia ini tak ada kisah yang sama. Apalagi dalam hal cinta. Semua tergantung bagaimana kamu memulainya, juga mengakhirinya, " lanjut bang Roy.

Kudengarkan nasihat bang Roy, seniorku itu. Aku tak menyahuti nasihatnya. Dia kemudian menepuk pundakku.

Sore ini aku ingin ketemu Risa. Sudah seminggu tak kulihat senyum menawan itu. Rindu menyiksa pikiranku.

Sampai di asramanya, ternyata dia ingin keluar membeli makan malam meskipun masih sore.

"Ya udah... kita makan bareng aja yuk!" ajakku padanya. Risa mengangguk.

"Kamu capek ya, Ris?" tanyaku. Sepanjang jalan Risa hanya diam. Biasanya selalu ada bahan omongan.

"Nggak juga... hari ini santai. Aku malah tidur siang lama tadi, " jawabnya.

Mungkinkah dia juga galau seperti hatiku saat ini? Hidup sering tidak adil. Waktu kadang tak punya hati dan menyakiti.

Sampai di rumah makan, Risa masih diam. Entah apa arti diamnya. Bukan marah, tapi seolah pasrah dan menyerah pada keadaan.

"Gung, IP-ku semester ini sepertinya parah..." katanya lirih.

"Kenapa? Ada masalah? Mau pindah jurusan?" tanyaku.

"Nggak tahu. Semuanya kacau, aku nggak bisa fokus belajar untuk UAS, " sahutnya.

Aku ikut merasa bersalah. Sebenarnya aku juga tidak fokus kuliah. Dosenku sudah komplain dengan perubahan sikapku. Sore ini aku ingin melepas semua kekacauan ini.

"Ini mau kemana? " tanya Risa ketika kulajukan motorku ke arah bukit.

"Dekat situ saja, " sahutku.

Sampai di perbukitan hijau, kugandeng Risa menuju ke atas. Ada sebuah bangku disana. Sesampainya disana, Risa senang sekali.

"Wah, bagus... Aku suka. Terimakasih ya!" katanya. Dia lantas duduk di kursi.

"Kamu suka senja ya, Ris?" tanyaku iseng. Risa diam sesaat sebelum menjawab. Anak rambutnya tertiup angin, menyibak kulit muka natural tanpa polesan itu.

"Betapa ingin aku mencintaimu, Risa! Namun, aku tak tahu akankah semesta mengijinkanku untuk itu, " kataku dalam hati yang penuh gemuruh. Entah, hanya makhluk cantik yang sekarang ini dihadapanku yang bisa membuatku begini. Ini sungguh gila!

"Gung, senjanya bagus banget ya? Kok kamu tahu spot ini?" tanyanya antusias.

"Iya, dulu bang Roy yang memberi tahuku. Nggak tahu kalau kamu suka. Bagus ya?" sahutku.

"Ini keren, Gung... aku penikmat senja, "

"Bikin rileks ya, Ris? Tapi kadang menyisakan sedih. Makanya, aku tak mau menikmati kayak kamu gitu, " Kulihat Risa dengan lembut menatap mentari yang sebentar lagi tenggelam.

"Kehidupan selalu begitu, Gung... Tak ada kebahagiaan yang 100%, pasti ada berapa persen kesedihan yang menyisip. Begitu juga kesedihan, akan selalu ada sukacita yang menyisip meskipun itu hanya sedikit, " Risa menghela nafas dalam.

"Tergantung bagaimana kita mau menyikapinya, " lanjutnya.

"Kali ini aku sedih, Ris... " ucapku terbata. Risa menggandeng tanganku erat.

"Hidup selalu ada pilihan. Kita sedih untuk kemudian bahagia, Gung... " katanya. Aku tertunduk. Risa tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Senja mengajarkanku tentang batas. Batas dimana sesuatu itu harus kuperjuangkan atau ternyata sesuatu yang dipaksakan, " lanjutnya.

Aku tak mau menjawabnya. Kurangkulkan tanganku ke badan mungilnya. Sungguh ini adalah kesedihan yang teramat dalam bagiku. Aku tak mampu berkata-kata lagi.

bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun